Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

PELUKLAH AKU JIKA AKU MATI NANTI

🇮🇩Beruang_Biru
--
chs / week
--
NOT RATINGS
16.1k
Views
Synopsis
SINOPSIS : Richi, seorang musisi jalanan yang selalu menghabiskan setiap detik waktunya bersama musik. Hidupnya monoton, hanya bertemankan sebuah gitar usang pemberian mendiang ayahnya. Hingga tiba saat di mana ia menemukan sebuah keajaiban. Di suatu hari di kala hujan turun, tanpa ampun ia diguyur derasnya hujan. Kedua kakinya berlari cepat ke halaman rumah seseorang untuk berteduh. Deras hujan yang tak kunjung henti akhirnya membuat dawai gitarnya berbunyi. Diiringi lantunan suaranya yang belia, musik ciptannya mulai terdengar dengan tenang. Namun ia terkesiap ketika pintu rumah itu terbuka pelan. Ia melihat seorang gadis belia berdiri dari celah pintu yang terbuka tanggung. Gadis belia bernama Chelsa. Seorang gadis buta yang merasa terlarut dalam lantunan syair musiknya. Hujan di hari itu meski terasa dingin, tapi juga menghangatkan. Bagaikan sebuah takdir, hujan di sore hari itu… berhasil mempertemukan dua orang dengan mimpi yang sama.
VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog

'Jika ada satu hal yang bisa kau perbaiki, hal apa yang akan kau perbaiki?'

'Jika ada satu hal yang bisa kau ulang, hal apa yang akan kau ulangi?'

'Jika ada satu hal yang bisa kau miliki, hal apa yang ingin kau miliki?'

'Jika ada satu kesempatan untuk meminta, hal apa yang akan kau pinta?'

'Jika ada satu hal yang harus kau hancurkan, hal apa yang ingin kau hancurkan?'

'Setiap hal tercipta dari ketidak-beradaan.'

'Setiap hal yang telah tercipta tentu akan lenyap dilekang oleh waktu.'

'Jika suatu hal tercipta dan tidak ada gunanya, lantas untuk apa hal itu diciptakan?'

'Jika suatu hal tercipta hanya untuk terbuang, lantas untuk apa hal itu diciptakan?'

'Bukankah lebih baik hal itu tidak pernah tercipta sama sekali?'

'Bukankah…'

"Hhhh."

Dengan menutup buku tulis lusuh itu, Richi mendengus pelan. Ia menyisakan kalimat rumpang yang tidak bisa ia selesaikan.

Ia menengok ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 23.40. Tidak terasa sudah sejam berlalu ia terpaku di depan buku lusuh itu hanya untuk menuliskan beberapa kata yang tidak begitu penting. Kata-kata yang tercipta dari keresahannya—kata-kata yang juga tercipta dari ketidak-sengajaannya.

Tulisan tangannya terlihat sangat baik. Jadi kata-kata itu terukir dengan cukup indah di dalam sana.

"Kau mau kemana, bu?" Richi merangkahkan tangannya dengan cepat saat ibunya mencoba bangkit dari posisi tidurnya. Selama ini ia memang terpaku menulis sembari menjaga ibunya yang tertidur pulas. Hal yang biasa ia lakukan setiap hari. Tidur larut sembari menulis, dan sembari membantu ibunya ketika terbangun di tengah malam.

"Ibu hanya ingin ke kamar kecil." tambahan senyumnya membalas.

Tongkat yang tersandar di dinding penuh retak, yang tidak jauh dari dipan itu diraih oleh Richi dengan sigap. "Sini biar ku bantu, bu." lalu dengan perlahan ia membantu ibunya yang hampir lumpuh itu.

Rumah petakan yang kapan saja siap runtuh itu menjadi satu-satunya naungan bagi keluarga kecil ini. Meski bukan sebuah istana megah yang mampu menyilaukan mata, setidaknya rumah ini menjadi satu-satunya tempat bagi Richi untuknya pulang.

Tempat yang paling indah baginya untuk pulang.