"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.
["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.
[kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.
'kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.
Selama Membaca ^-^
@ @ @ @ @
Langkahnya semakin tergesa ketika ia mendongak ke atas langit. Udara yang menjadi lebih dingin serta langit yang semakin terlihat gelap bagaikan seekor monster menakutkan bagi Richi. Ia harus melarikan diri segera. Ia harus bergegas pulang sebelum hujan turun lalu menahannya.
Ia harus lekas pulang untuk membawakan makanan yang baru saja ia beli. Ibunya pasti sudah cukup kelaparan saat ini.
Namun tak ada ampun, belum sempat ia meloloskan diri, awan hitam di atas sana dengan begitu kasar menumpahkan seluruh air dengan deras. Tak ada ruang terbuka yang terlewati sejengkal pun. Semuanya menjadi basah hanya dalam waktu hitungan detik.
"Ah. Hujan lagi." Richi tidak begitu mengerti tentang kapan musim hujan akan datang. Yang dia tahu bahwa akhir-akhir ini hujan selalu mengguyur di sore hari.
Tak ada kesempatan untuk melanjutkan perjalanan. Hujan sore hari ini tak mengenal ampun sama seperti hari kemarin. Siapapun yang berada di ruang terbuka pasti akan lari kocar-kacir seperti kucing yang takut kejatuhan air.
Bahkan tak ada pengecualian bagi Richi yang harus lekas pulang sekalipun.
Ia berlari cepat mencari sebuah tempat berteduh. Berlari di bahu jalan, melewati beberapa rumah sampai akhirnya langkahnya membelok memasuki pekarangan rumah yang tidak terpagar yang entah milik siapa. Richi berhasil menyelamatkan diri dari guyuran derasnya hujan.
Sekarang ia sudah aman.
Sebuah rumah minimalis berwarna krem berdiri kokoh tepat di belakang Richi. Saat ini ia sedang berdiri bersandar di dinding rumah itu tepat di bawah terusan atapnya. Rumah yang di desain sederhana namun terlihat sangat ramah bila dipandang. Bernuansa hijau dengan cukup banyak tanaman yang terpajang di halaman depan rumah. Tanaman dengan pot besar. Tanaman dengan pot kecil. Tanaman yang diletakkan di bawah. Tanaman yang sengaja digantung. Tanaman herbal. Tanaman bunga yang penuh dengan warna-warni. Semua itu membuat rumah ini terlihat lebih cantik dengan penataan yang sedemikian rupa. Rumah yang terlihat begitu terawat dan berestetika. Rumah yang tentunya juga telah menyelamatkan Richi beberapa kali dari guyuran hujan. Richi pun sadar kalau ia sering mampir ke sini untuk berteduh.
Dan hari ini, ia mampir lagi untuk berteduh.
Tik. Tik. Tik.
Pukul 16.30. Tak ada tanda-tanda kalau hujan akan reda. Dentuman air yang jatuh dari langit masih bersuara nyaring di telinga. Begitu superior hingga tak ada suara apapun lagi yang bisa terdengar.
Richi masih berdiri mematung menyandar di rumah itu dengan tatapan kosong. Tak ada hal apapun yang bisa ia lakukan kecuali termenung. Hanya menyaksikan pemandangan air hujan yang jatuh basahi apapun yang tergeletak di bawah sana. Menyaksikan tanaman ataupun dedaunan rimbun yang terlihat seperti menari diterjang oleh angin, terlihat menghijau seakan begitu bergembira setelah bermandikan air surga.
Dalam lamunannya, tentu ia juga berharap kalau semua ini akan berakhir tidak lama lagi. Ia bukan lelah menunggu. Hanya saja ada seseorang yang harus ia temui saat ini juga. Seorang perempuan yang dengan sangat bangga ia panggil dengan sebutan 'Ibu'. Richi harus segera pulang untuk menyuapi ibunya yang pasti saat ini sudah menunggu kepulangannya.
Meski hujan harus membuatnya untuk bersabar sedikit lebih lama lagi.
Tik. Tik. Tik.
Pukul 17.00. Hujan masih mengguyur dengan begitu deras. Sudah 30 menit langit menangis tanpa henti—bahkan berkata 'Tidak' hanya untuk memelankan tangisannya.
Ada keinginan di benak Richi untuk menerabas semua keadaan. Namun di benaknya yang sama selalu memperingati agar ia tidak melakukan itu—apalagi masih butuh waktu sekitar 20 menit lagi untuk sampai ke rumah dengan berjalan kaki. Ia bisa saja pulang dengan basah kuyup. Namun jika ia sampai sakit karena ulahnya sendiri, siapa yang akan mencari uang nanti? Sebagai seorang musisi jalanan—meski tidak banyak yang mengharapkan keberadaannya—ia tetap harus tampil dengan performa terbaik. Richi harus tetap menjaga kebugaran tubuhnya untuk berkeliling mengamen, dan menjaga suaranya untuk tetap merdu ketika bernyanyi. Pulang dengan hujan-hujanan tidak akan menjamin apapun. Benaknya sudah memastikan itu. Tetap menunggu dan berharap agar ibunya maklum dengan semua kondisi ini adalah pilihan terbaik untuknya.
Pilihan terbaik bagi keduanya.
~ Tak Terasa ~
~ Waktu Telah ~
Masih dengan posisi berdiri, Richi mengayunkan beberapa gerakan kecil pada badan gitarnya. Merapal beberapa gerakan di jari kanan sembari menekan senar gitarnya yang sudah menghitam. Dan ketika jari kirinya mulai mengayun di atas senar gitar,
~ Membawa Ku Menjadi Dewasa… ~
Ia mulai bernyanyi.
Richi mulai tertelan dengan suasana senja yang mendayu. Semilir angin yang berhembus, dan tetes hujan yang tak kunjung henti. Ada gejolak di dalam dirinya yang tak mampu ia ungkapkan. Dan tanpa sepenuhnya ia sadari, suara gitar miliknya kini menemani. Seolah hanya nada itulah yang paling mengerti seluruh perasaannya. Sebuah perasaan hangat yang hanya mampu Richi ekspresikan dengan bernyanyi.
Suaranya memang secantik suara penyanyi yang sering muncul di Televisi atau Radio. Dan ketika suara belianya diselimuti suara dawai gitar, irama musik yang menyentuh mulai terdengar di sekelilingnya. Melodi indah yang ia ciptakan dari sebuah ketulusan hati.
Setiap jengkal nada yang keluar murni dari dorongan kalbu di dalam hatinya. Richi bisa saja memilih untuk berhenti, karena tak ada hal yang memaksanya untuk terus bernyanyi. Namun semua ini terasa magis ketika ia merasa menjadi lebih baik saat melantunkan setiap syairnya dengan tulus. Semakin menyentuh hatinya ketika ia memejamkan mata. Membuat setiap jarinya tak bisa berhenti untuk mengayun, membuat setiap suara dari rongga mulutnya tak bisa berhenti untuk bernyanyi. Karena lagu yang ia mainkan saat ini,
Benar-benar terasa menghangatkan.
~ Ada Sebuah Cinta ~
~ Yang Tak Berhenti Bersemayam Di Hati ~
~ Cintamu Yang Kan Selalu ~
~ Ada Di Sini Untuk Menjaga Ku ~
~ Ada Sebuah Pelukan Hangat ~
~ Darimu… Tempat Bagiku Untuk Pulang ~
~ Yang Tak Akan Terganti ~
~ Karena Di Sini Adalah ~
~ Tempatku Yang Paling Indah ~
Reffrein lagu itu membuat lengking suaranya semakin meninggi. Seolah ia tak mau mengalah dengan suara hujan yang turun begitu deras. Seolah tak ada maaf bagi siapapun yang menyela senandungnya. Matanya yang tetap terpejam membuatnya yakin bahwa suaranya-lah yang akan menang dan melambung tinggi ke seluruh dunia. Menuntun dunia untuk mendengarkan suara di dalam hati kecilnya yang terasa hangat. Tentang sebuah lagu cinta yang ia ciptakan tanpa keraguan. Sebuah lagu yang membuatnya yakin,
Kalau di dalam hidupnya…
~ Karena Di Sini Adalah…~
*Clak—Krieet*
Terdengar suara pintu yang terbuka pelan. Namun frekuensi suara pintu yang terlalu rendah tidak cukup untuk membuat Richi tersadar. Ia masih terus bernyanyi tanpa menyadari bahwa ada segelintir skenario kecil kehidupan yang mulai berubah. Matanya yang tetap terpejam membuatnya yakin bahwa nada terakhir lagu itu harus terselesaikan, harus melambung tinggi ke seluruh dunia. Menuntun dunia untuk mendengarkan suara di dalam hati kecilnya yang terasa begitu hangat. Tentang sebuah lagu cinta yang ia ciptakan tanpa kepalsuan. Sebuah lagu yang membuatnya yakin,
Kalau di dalam hidupnya…
~ Karena Di Sini Adalah…~
Ia masih memiliki hal yang berharga.
Richi membuka matanya. Suara derit pintu yang melebar membuka matanya. Ia menengok dan melihat sesosok siluet seseorang dari celah pintu yang terbuka tanggung. Sosok itu semakin terlihat jelas ketika ia mulai berjalan keluar. Ya, Richi tahu itu adalah sosok seorang gadis belia.
~ Tempatku Yang Paling Indah.~
Seorang gadis buta.
Tak ada lagi suara dawai yang terdengar. Richi telah mengakhiri lantunan syair indah miliknya, lagunya telah selesai ia mainkan dengan sempurna. Dan sepertinya takdir mengizinkan untuk menjadikan gadis belia itu sebagai tokoh penutup di akhir lagu, benang takdir layaknya sebuah opera dengan akhir cerita yang bahagia.
Benarkah?
Tidak—bukan begitu. Ini semua hanyalah kepingan cerita di antara mereka yang terjadi atas nama ketidak-sengajaan. Bukan. Mungkin juga bukan begitu. Ini semua terjadi pasti karena Richi yang bernyanyi terlalu keras. Ya. Pasti karena itu.
"Ah," seakan baru habis terbangun dari mimpi indahnya, Richi mengerjap dan terkejut setengah mati ketika ia sudah benar-benar sadar kalau ada seseorang yang keluar dari rumah itu. Richi tahu pasti ia baru saja mengganggu pemilik rumah dengan bernyanyi terlalu keras. "Maaf, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengganggu, aku hanya kelepasan. Sekali lagi maaf. Aku akan pergi." Richi sangat tahu dimana letak kesalahannya. Sebelum ia dimaki atau semacamnya, ia sudah sadar diri terlebih dahulu dan tentu mengerti hal apa yang harus ia lakukan. Bahkan ia sudah berbalik badan untuk menerabas hujan.
"Tunggu. Jangan pergi," gadis itu berteriak pelan.
"Uh?"setidaknya itu mampu menghentikan langkah kaki Richi.
"Aku tahu di luar sana masih hujan. Setidaknya tetaplah berteduh di sini sampai hujannya berhenti."
"Itu—tidak apa, aku akan pergi. Aku tidak enak karena sudah mengganggu."
Gadis itu tersenyum. "Aku keluar bukan untuk memarahi mu," ia benar-benar menunjukan senyuman yang sangat cerah. "Aku keluar untuk menyapa mu."
Tongkat berwarna putih. Bando berwarna putih berkerlip. Setelan pakaian yang dominan putih. Ia adalah gadis buta yang tentu hanya melihat dunia dalam kegelapan. Namun, apa yang dikenakannya—tutur katanya—raut wajahnya—senyumannya,
Membuatnya terlihat bersinar begitu terang.
"Aku, Chelsa," tangannya mengulur dengan sedikit meraba. "Siapa namamu?" gadis ini mencoba memperkenalkan dirinya dengan begitu anggun. Tangan kanannya yang bergelang cantik mengulur dengan maksud menyambut kehadiran Richi di sana.
"Eh?" ah, wajar saja Richi terkejut. "Namaku?" ia tidak berpikir kalau gadis itu akan menyapanya dengan begitu lembut. Sejauh pengalaman buruknya, ia mengira kalau gadis itu malah akan berkata kasar untuk mengusirnya dari sana.
Pengalaman buruk telah menjadi teman kecil baginya sejak lama.
"Uh-huh. Siapa namamu?"
Richi dengan seksama memperhatikan uluran tangan gadis itu. Ini terasa sedikit aneh karena ia hampir tidak pernah diperlakukan demikian. Tapi Richi mulai menyadari kalau gadis itu memang sedang menyapanya. Ia tak boleh membuatnya menunggu lebih lama, ia harus membalasanya dengan cara yang sama. "Namaku, Richi. Senang berkenalan dengan mu, Mbak Chelsa." pada akhirnya dua orang yang tak saling mengenal ini berjabat tangan.
Sebuah cara sederhana yang akan membuat mereka saling mengenal.
"Hehe," Chelsa terkekeh pelan. "Panggil saja aku, Chelsa."
"Uh? Baik."
Kedua tangan itu pun saling melepas.
"Um," Chelsa bergumam, ada sebuah pertanyaan di hatinya yang ingin ia katakan. "Aku mendengar mu bernyanyi barusan,"
"Eh?" baginya kalimat tadi seperti sebuah sindiran. Richi sangat mengerti nyanyiannya tadi pasti sangat mengganggu. "Itu—pasti sangat mengganggu, ya? Aku minta maaf soal itu." bahkan belum selesai gadis itu bicara, Richi langsung memohon maaf dan memasang wajah kikuk penuh bersalah.
"Tidak, kok. Sama sekali tidak." Chelsa menegaskan bahwa Richi salah besar dengan melambaikan tangannya beberapa kali. Ada sesuatu di benaknya yang ingin ia sampaikan. "Aku malah sangat senang mendengarnya. Kau menyanyikan lagu itu dengan indah." sesuatu yang ingin ia ucapkan langsung padanya.
Hujan terdengar mereda.
Detak jantung Richi terasa berdegup tak karuan.
Kenapa, ya?
Mungkinkah kalimat gadis ini berhasil membuat langit memelankan tangisannya? Tidak. Pasti tidak. Kalimatnya pasti tidak akan sanggup melakukan itu. Tapi,
"Bolehkah aku mendengarnya sekali lagi?"
Kalimat hangatnya pasti yang membuat detak jantung Richi berdegup tak karuan.
"Ah," tanpa Richi sadari tingkahnya ikut menjadi tak karuan. Ia merasa tersipu. Memalingkan wajah seakan tak kuat dengan apa yang dirasakannya. Tentang perasaan baik yang menghampiri—sehingga membuatnya lupa untuk menjawab. "Itu—"
"Permintaanku merepotkan mu, ya?" dengan begitu saja Chelsa menimpali permintannya sendiri. Richi yang tak kunjung menjawab membuatnya sadar kalau mungkin permintaannya memang terlalu mengada-ada. "Hehe. Aku tahu pasti permintaanku merepotka—"
"Enggak—bukan begitu," mungkin Chelsa memang tidak melihatnya. Setiap ekspresi tersipu yang Richi tunjukkan hingga membuatnya terlambat untuk menjawab. Richi sama sekali tidak merasa permintaan gadis itu merepotkan, hanya saja ada beberapa hal yang harus Richi sadarkan. "Uh," anak laki-laki ini hanya mencoba untuk kembali bersikap sedia kala. "Dengan senang hati," ia mencoba menyadarkan kembali semua perasaannya yang sempat tercecer berantakan. "Aku akan menyanyikannya lagi." karena saat ini,
Ia merasa tak percaya bahwa musik miliknya telah menyentuh hati seseorang.
Ada yang mengatakan bahwa musik tidak akan mampu untuk berbohong. Seperti seorang anak kecil yang tak akan mampu untuk membohongi apa yang dirasakannya. Ketika ia sedih, ia akan menangis. Ketika ia sakit, ia akan meringis. Ketika ia takut, ia akan bersembunyi. Ketika ia kesal, ia akan berteriak. Ketika ia marah, ia akan kalut.
Lalu ketika ia bahagia, tentu ia akan tersenyum dan tertawa.
Musik adalah jelmaan seorang anak kecil yang polos dan lugu. Tidak akan membohongi perasaan sang penciptanya. Jika ia merasa sedih, ia akan menciptakan lagu yang sedih. Jika ia merasa senang, ia akan menciptakan lagu yang bahagia. Tercipta tanpa sebuah keterpaksaan. Sebuah hal yang tercipta dari dorongan dalam hati.
Bahkan tak terkadang orang yang hanya mendengar pun mampu untuk terjebak di dalam 'Kenyataan' alunan musik yang di dengarnya. Saat ia berusaha berbohong dengan mengatakan pada dirinya sendiri kalau ia bahagia, ia justru menangis ketika mendengar 'Kenyataan' alunan musik yang masuk ke telinganya dengan lembut. Seakan musik itu berbicara dengan hati kecil si pendengar, 'Menangislah, tak apa. Aku akan menemani mu di sini.��
Musik adalah sebuah ketulusan. Hal yang juga dianggap sebagai jelmaan dari perasaan terdalam hati seseorang. Karena itu…
Ia takkan pernah berbohong.
"Indahnya." Chelsa menepuk tangannya sekali. Lalu mendekatkan kedua tangannya hingga menyentuh dagu. Ada suatu perasaan di dalam hatinya yang keluar begitu saja ketika selesai mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Richi. "Aku belum pernah mendengar lagu itu sebelumnya. Lagu siapa yang baru saja kau nyanyikan?"
Richi tersenyum begitu lebar. "Hehe. Itu lagu ciptaanku sendiri."
"Wuaah~, kau hebat."
"Tidak—kau menganggapnya berlebihan," Richi tersipu malu lagi. "Tapi aku senang mendengarnya. Terima kasih sudah mau mendengarkan laguku."
"Uh-huh. Aku yang harusnya berterima kasih, Richi."
Untuk kesekian kalinya Richi tersipu malu lagi, "Terima kasih juga… Chelsa." dan lagi.
Richi adalah seorang musisi sejati. Ia cukup lihai dalam menciptakan nada—tentu ia tidak berbohong ketika mengatakan lagu yang dinyanyikannya tadi adalah lagu ciptaan miliknya. Meski demikian, Richi justru tidak berani menyanyikan lagu itu saat mengamen di taman kota, di jalan, di dalam bus, atau dimanapun. Seperti musisi jalanan kebanyakan, Richi memilih lagu milik band atau penyanyi terkenal untuk ia nyanyikan saat mengamen. Dan untuk pertama kali di dalam hidupnya, ia bernyanyi di hadapan seseorang dengan melantunkan lagu ciptaanya sendiri hari ini. Chelsa-lah orang pertama yang mendengarkan itu. Ada sedikit perasaan takut dan malu di dalam benaknya.
Namun semua perasaan itu seketika berubah menjadi sebuah kebahagiaan.
"Apa kau menyukai musik, Chelsa?" Richi bertanya.
"Uh. Aku sangat menyukai musik."
"Whoa." ia merasa senang karena bertemu dengan seseorang yang menyukai musik sepertinya. Richi senang karena hari ini ia bertemu dengan Chelsa yang juga menyukai musik sepertinya.
"Musik itu…" Chelsa bertutur. "Sangat hebat, bukan?"
"Huh?"
"Kondisiku berbeda dari yang lain. Aku tidak bisa menikmati dunia dengan cara yang sama seperti yang lainnya. Tapi musik menuntun ku untuk melihat bagaimana dunia ini. Meski apa yang ku lihat berbeda dengan yang orang lain lihat… aku bersyukur. Karena itu, aku sangat ingin bisa bermain musik." begitu lembut suaranya terdengar. "Suara piano adalah suara musik yang paling ku sukai. Aku memiliki mimpi menjadi seorang pianis. Tapi…" Chelsa menelan beberapa kalimat di lidahnya.
"Kenapa?"
"Hehe. Itu pasti mustahil. Aku hanya seorang perempuan buta. Mimpiku itu terlalu mengada-ada."
Deg.
Richi sangat mengerti makna perkataan yang keluar dari bibir gadis itu. Ia sangat tahu kalau Chelsa mengatakan itu semua tanpa kepura-puraan. Meski Chelsa mengatakannya dengan tersenyum,
Richi tahu kalau hati kecilnya pasti sangat bersedih.
"Itu bukan hal yang mustahil!" dengan sedikit lepas kendali Richi mencoba menyangkal.
"Uh-huh. Itu hal yang mustahil. Les piano itu pasti sangat mahal. Lagi pula tidak akan ada yang mau mengajari orang buta sepertiku bermain piano. Itu pasti hal yang sangat merepotkan. Hehe."
Baik Richi maupun Chelsa, keduanya adalah anak yang sama-sama mengerti apa itu keputusasaan. Mereka terlahir dengan mengemban cobaan sesuai porsi mereka masing-masing. Richi mengerti itu semua. Di hadapannya kini berdiri seorang gadis yang memiliki mimpi yang sama sepertinya. Dengan keputusasaan yang sama sepertinya. Ia tak ingin melihat orang itu menyerah akan semua mimpinya. Richi tak rela melihat Chelsa menguburkan semua mimpi-mimpinya. Karena bagi Richi…
Wajahnya tertunduk. "Bermain piano…"
Karena baginya, impian Chelsa bukanlah suatu hal yang mengada-ada.
"Aku akan mengajarkanmu bermain piano, Chelsa." dengan sorot mata yang tegas Richi menegapkan wajahnya. Meneguhkan hatinya. Mengatakannya dengan lantang. Mengatakannya penuh keseriusan.
Ada semilir angin sejuk yang tiba-tiba berhembus kencang.
Ada atmosfer hangat yang tiba-tiba menyelimuti perasaan Chelsa.
Kenapa, ya?
Mungkinkah kalimat anak laki-laki itu sanggup mendatangkan angin sejuk barusan? Tidak. Tidak mungkin. Kalimatnya tentu tidak akan sanggup melakukan itu. Tapi,
"Percayalah bahwa suatu hari nanti mimpimu akan terwujud."
Kalimat Richi-lah yang berhasil menyelimuti perasaannya hingga menjadi terasa hangat.
Saat ini ada sebuah kejujuran yang sedang menari-nari di dalam hati Chelsa. Yang membuatnya tidak bisa lagi berbohong kalau ia sungguh senang mendengar perkataan Richi. Namun di saat yang sama ia merasa tidak boleh membiarkan dirinya terlarut. Chelsa tidak ingin memanfaatkan kebaikan Richi. Ia tidak ingin memanfaatkan kebaikan orang lain. "Terima kasih, Richi. Aku sangat senang mendengar apa yang kau katakan barusan. Tapi, maaf. Aku ini tidak bisa diandalkan. Kau pasti akan menyesal dan kesulitan karena aku nantiny—"
"Tidak masalah. Aku tidak peduli tentang itu."
"Huh?"
"Aku memiliki mimpi yang sama sepertimu. Menjadi seorang pianis. Menjadi seorang pemusik yang hebat. Jadi, ayo kita wujudkan mimpi itu bersama-sama."
Hujan di hari ini. Meski terasa sedikit dingin, tapi juga terasa menghangatkan.
"Richi…" Chelsa kembali menempelkan kedua telapak tangannya dan mendekatkannya ke dagu. "Kau itu benar nyata, kan?" tanpa ia sadari air matanya mulai jatuh menetes basahi pipi. [Andai saja aku bisa melihatmu, Richi.]
Melihat seorang gadis menangis haru di depan matanya, Richi hanya bisa terkejut. "Uh. Kita tadi sempat bersalaman kan?" hanya sepenggal kalimat itu saja yang mampu ia ucapkan.
"Uh-huh. Tanganmu terasa hangat." bukan hanya itu. Chelsa ingat bahwa telapak tangan Richi jauh lebih besar dibanding telapak tangannya. Juga begitu kasar.
Tangan yang biasa dimiliki seorang pejuang.
Suara hujan dengan begitu setia masih menemani mereka berdua. Terdengar menjadi lebih pelan, namun masih merintik dengan cukup deras.
"O-oh, i-iya," ah, sial. Richi melupakan satu hal penting. "Ma-maaf se-sebelumnya, Chelsa," sembari menggaruk kepala bagian belakang ia mengucapkan itu semua dengan terbata. "A-aku hanya bisa bermain piano saja. T-tapi… a-aku sendiri tidak punya piano." hhh, di dalam benaknya Richi pasti sedang membodohi dirinya sendiri. Ia harusnya malu karena terlalu bersemangat tadi. Hingga lupa kalau banyak batasan yang membuntutinya.
Ada suara tawa yang sedikit terdengar melambung setelah ucapan tadi. "Jangan khawatirkan itu," dengan intonasinya yang berantakan, Chelsa tahu kalau Richi sedang kebingungan saat ini. "Aku punya sebuah piano di dalam. Memang hanya sebuah piano bekas. Tapi saat ku tekan tutsnya, suara dentingnya masih terdengar sangat indah."
"Sungguh?"
"Uh. Kakakku bilang pianonya berwarna putih. Aku tidak tahu bagaimana itu terlihat. Tapi, aku yakin piano itu pasti sangat indah. Seindah suaranya."
"Piano berwarna putih? Aku belum pernah melihatnya."
"Benarkah? Apa kau mau melihatnya?"
Ia senang ketika mendengar kalimat ajakan tadi. "Itu…" namun, ada sedikit kata yang tersendat untuk terucap. Richi sangat sadar kalau penampilannya yang lusuh ini sangat tidak sopan untuk bertamu ke rumah seseorang. Bahkan, Richi berpikir kalau mungkin saja ia akan diusir oleh salah satu keluarga Chelsa jika sampai berani masuk ke dalam. "Mungkin lain kali saja. Aku janji besok atau lusa aku akan datang lagi ke sini."
"Huh? Kenapa?"
"Aku janji akan datang lagi ke sini dengan memakai baju yang lebih bagus. Bajuku agak basah karena kehujanan. Lagi pula," jauh di dalam benak, Richi merasa kalau ia harus mengatakan apa yang sebenarnya. "Aku hanya seorang pengamen. Penampilanku sangat kumal. Pasti kau tidak akan menyukainya. Hehe." ia hanya ingin mengatakan tentang semua kebenaran.
Ia hanya tidak ingin membohongi Chelsa.
Chelsa melekukan garis bibirnya. "Musik tidak peduli bagaimana pakaian orang yang memainkannya. Musik hanya peduli pada kemampuan dan perasaan orang yang akan memainkannya. Jadi jangan cemaskan itu. Aku sangat dengan senang hati menyambut mu." lekukan di bibirnya adalah sebuah senyuman. Sebuah simbol kejujuran dan ketulusan. "Piano di rumahku selama ini hanya menjadi sebuah pajangan. Piano itu adalah milikku. Jadi aku yakin piano itu sangat senang didatangi seseorang sepertimu, Richi. Karena aku pun merasa begitu."
Ini…
Apa semua ini nyata? Benak Richi sekilas bertanya-tanya tentang itu. Jika semua ini hanya mimpi, ia berharap agar terlelap sedikit lebih lama lagi. Tapi jika semua ini nyata, ia berharap waktu segera berhenti saja. Semoga saja waktu berhenti berputar saat ini juga.
Agar ia terjebak di hari baik ini selama-lamanya.
"Masuklah, Richi." tangan gadis itu memanggil. Lambaian jemari mungilnya mengayun mempersilahkan Richi untuk masuk.
LANJUT KE BAB 1 BAGIAN 3.