"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.
["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.
[kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.
'kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.
Selama Membaca ^-^
@ @ @ @ @
"Masuklah, Richi." tangan gadis itu memanggil. Lambaian jemari mungilnya mengayun mempersilahkan Richi untuk masuk.
Richi yang saat ini berdiri tepat di hadapan Chelsa hanya bisa mematung. Ada perasaan segan di benaknya ketika mendengar sambutan Chelsa—di dalam kepalanya masih ada sebuah ketakutan jika keberadaannya sampai tidak diterima. Di sisi lain, ketakutan itu perlahan mulai memudar, banyak perasaan yang membaik di hatinya ketika ia mengingat tutur hangat yang telah gadis itu ucapkan—hingga ia mampu untuk mengenyahkan rasa takut di dalam hatinya sendiri.
Dan membuatnya meyakini akan satu hal.
*
Richi adalah seorang anak yang tidak pandai bersosialisasi. Ia tidak memiliki teman. Selama ini ia hanya bersandar pada ikatan kedua orang tuanya saja. Baginya itu sudah lebih dari cukup.
Dan ia merasa tidak perlu siapapun lagi di dunia ini.
Selama ia bernyanyi untuk orang-orang, selama itu juga selalu ada ayahnya yang menemani di sepanjang waktu. Mereka berdua adalah musisi hebat yang tak tergantikan. Richi mengakui itu. Harmoni indah yang keluar di setiap syair dan nada yang mereka mainkan adalah bukti kalau mereka adalah duet terhebat sepanjang zaman. Richi juga mengakui itu. Meski setiap syair dan nada yang terlantun tidak mampu membawa mereka kepada nasib baik, bagi Richi semua itu tidak masalah. Ia tidak perlu apapun. Selama ada ayahnya yang menemaninya bernyanyi, itu sudah cukup. Selama ada ibunya yang selalu menyapa di setiap kepulangannya, itu sudah cukup. Richi tidak perlu apa-apa lagi. Yang ia butuhkan hanyalah kedua orang tuanya.
Tempat terindah baginya untuk pulang.
Hingga setahun yang lalu…
Ayahnya meninggal dunia.
Sayang takdir mengetahui rahasia lubang di dalam hati Richi. Hingga tanpa ampun, ketakutan terbesarnya dicatat dan bergulir menjadi sebuah kenyataan.
Harta terbesarnya lekang ditelan waktu. Kehilangan ayahnya membuatnya mati rasa. Richi menjadi begitu rapuh. Bahkan mungkin hatinya akan remuk jika sampai tersentuh. Richi di kala itu,
Benar-benar telah kehilangan cahayanya.
Semuanya tak lagi sama. Meski mencoba terbiasa, ia tahu kalau satu hal baik di hidupnya telah hilang. Kini bernyanyi di depan orang banyak tidak lagi menyenangkan seperti dulu. Baginya, suaranya kini terdengar menjadi biasa saja. Baginya, setiap syair dan nada yang terlantun kini terdengar menjadi biasa saja. Tanpa Richi sadari, ia sudah tidak lagi menganggap bahwa dirinya adalah musisi hebat. Kini ia sudah menjadi lebih dewasa.
Dan ia sudah berhenti untuk membodohi dirinya sendiri.
Meski mulai terbiasa dengan kepergian ayahnya, lubang di dalam hatinya kian membesar. Sebagai seorang anak yang tidak pandai bergaul, ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk bercerita. Tidak memiliki banyak kesempatan untuk berbagi. Hanya ibunya saja yang mampu untuk menutupi lubang hati itu. Menutupi sebagian lubang di dalam hati itu.
Dan sebagian lainnya masih terbuka begitu lebar.
Sial, Richi terlahir sebagai seorang perasa. Ia anak yang peka. Dan hatinya begitu lemah tercipta. Di usianya yang masih belia, ia sudah begitu paham kalau kehidupannya tidak baik-baik saja. Ia sangat mengerti kalau keberadaannya tidak begitu diinginkan oleh dunia—tapi ia mencoba untuk tidak peduli akan hal itu. Dua matahari menyinarinya begitu terang. Ayah dan ibunya. Mereka berdua menyelimutinya dengan cahaya yang begitu terang. Sehingga membuatnya kembali percaya kalau hidupnya baik-baik saja.
Hingga tiba saatnya waktu perpisahan mereka menjemput.
Hingga waktu yang cepat berlalu terasa begitu kejam.
Takdir telah berhasil membolak-balikkan hatinya. Kepergian ayahnya kembali meyakini kalau hidupnya memang tidak baik-baik saja. Kehidupannya tidak lagi berarti. Keberadaanya tidak lagi berharga.
Richi kembali mempercayai itu.
Beruntung baginya masih memiliki seorang ibu. Sehebatnya seorang ibu, sehebat pula ia menjadi seorang mentor bagi anaknya. Luka yang tertancap begitu dalam harus ditahan demi membuat sang anak percaya kalau semuanya akan baik-baik saja. Richi mempercayai itu. Hingga perlahan ia mampu untuk menata kembali kepingan kepercayaan di dalam hatinya sendiri.
Meski kepedihan tidak mampu ia hapuskan dengan sempurna.
Di dalam kesedihan ia menciptakan sebuah lagu. Sebuah lagu cinta untuk mengenang seorang pria berjanggut tipis, berkulit kusam, bersuara merdu, dan murah senyum. Seorang pria yang selalu ia panggil dengan 'Ayah'. Matahari yang selalu menyinarinya selama bertahun-tahun.
Matahari yang pada akhirnya pun padam.
Tidak memiliki teman. Tidak pernah dianggap berharga oleh dunia. Kehilangan ayahnya tercinta. Richi hampir saja membusuk. Tapi di hari ini,
Ia merasa mendapatkan semuanya kembali.
Kini ia menemukan teman pertamanya. Kini ia dianggap berharga oleh seseorang. Ia menemukan kembali satu cahaya pengganti. Richi begitu bahagia. Karena di hari ini,
Kehadiran Chelsa di sana memberikan semuanya.
Hujan mempertemukan mereka. Lagu itu mempertemukannya dengan Chelsa.
Ia merasa baik karena itu. Ia meyakini hal baik itu. Dan mungkin saja,
Lubang di dalam hatinya sudah tertutup kembali.
*
Richi mulai melangkahkan kaki. Ia hanya melihat bahu gadis itu yang terhentak pelan setiap kali melangkah sembari meraba dengan tongkatnya. Perasaannya sedikit berdebar ketika mencoba masuk ke dalam rumah Chelsa. Ya, sudah beberapa langkah kakinya meninggalkan tempatnya berdiri.
Melangkah masuk untuk menjemput hari baiknya.
Kehidupan akan selalu menghadirkan kebahagiaan yang tak terduga. Di saat itulah kisah hidup akan terlihat seperi sebuah cerita dongeng semata. Melewati lautan penderitaan tak berujung sampai akhirnya terlupa ketika diselamatkan oleh hari baik. Cerita bahagia yang sebelumnya penuh dengan fiktif belaka, berubah menjadi sebuah kisah nyata yang bahagia.
Lagi.
Ada sebuah rasa terkesan ketika Richi melihat sekeliling rumah sesampainya ia di dalam. Rumah itu memang lebih kecil dibanding dengan rumah Kakek Dio. Namun dengan interior rumah dan tata letak barang yang sedemikian rupa membuat suasananya menjadi lebih nyaman.
Lebih sederhana, tetapi terasa lebih berwarna.
Mereka sudah sampai di ruang tengah. Chelsa mencoba meraba beberapa barang. Hingga terdengar satu suara dentingan yang tinggi. "Ini pianonya. Bagaimana menurutmu?"
Sekelebat pikiran terlintas saat Richi melihat sebuah grand piano berwarna putih di hadapannya. Ia pun mendekat dan mengelus sisi badan piano itu. "Piano ini terlihat seperti merpati."
"Merpati?"
"Ya. Seperti burung merpati putih."
Chelsa terkekeh pelan, "Kau orang pertama yang memberi julukan pada piano ini."
"Huh? Itu terlalu aneh, ya?"
"Uh-huh. Aku justru menyukainya. Aku tidak tahu merpati itu seperti apa, tapi kedengarannya dia makhluk yang cantik."
Richi menatap lurus. Ia tersentak. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang masih menyisakan senyum indah di wajahnya. "Uh. Memang sangat cantik."
Mendengar jawaban itu membuat satu senyuman yang lain mengembang cerah di bibir Chelsa. "Wuaah. Pasti sangat indah, bukan?" meski ia sendiri mengerti bahwa perasaan di hatinya berkata lain. Jemarinya meraba, hingga 4 sampai 5 denting suara piano berbunyi kemudian. "Andai aku bisa melihatnya sekali saja." ia bergumam pelan, sangat pelan. Hingga senyum yang cerah itu berubah menjadi senyum kesedihan.
Melihat perubahan ekspresi serta gumaman tidak jelas dari Chelsa membuat Richi pun bertanya, "Huh? Ada apa?"
"Uh-huh. Tidak apa-apa," ia mengelak. Baginya kata 'Indah' dan 'Cantik' seperti hal yang membius. Suatu hal yang hanya bisa ia maknai layaknya sebuah alunan suara yang mengalun lembut di telinganya. Seperti suara kepakan sayap burung, denting piano, dawai gitar ataupun suara seseorang—meski ia tidak tahu bagaimana semua itu terlihat. "Duduklah di sini, Richi?"
Ia mengerti arti dari gerakan tangan Chelsa yang menepuk bantalan kursi di depan piano itu. Richi pun menghampiri. "Uh. Aku akan memainkan sebuah lagu." lalu ia pun terduduk. Dan sudah bersiap untuk memulai permainannya.
Lagu apa yang akan Richi mainkan, ya?
Dengan semua keadaan di sekitarnya, apa ia akan baik-baik saja?
Adanya seseorang yang memintanya untuk bermain, bukankah ia akan salah tingkah karena itu?
Apa jemarinya mampu menari dengan indah di atas sana?
Apa musik miliknya mampu terselimuti dengan baik?
Apa ia mampu mengendalikan diri dan permainannya?
Ya…
Dia mampu.
[Ada apa ini? Jemariku terasa dirasuki oleh sesuatu. Setiap gerakan jemari ini terasa ringan, namun suara piano yang terdengar di telingaku terasa begitu lembut. Aku merasa bisa memainkan lagu ini dengan sempurna. Hanya dengan memejamkan mata seperti ini saja, aku merasa mampu menyelesaikan lagu ini dengan sempurna sampai akhir. Ini sangat aneh, padahal aku tidak melihat partitur musiknya sama sekali. Bagaimana bisa? Apa usahaku selama ini membuahkan hasil? Tapi, apa benar aku bisa bermain piano sebaik ini? Apa benar ini adalah diriku sendiri? Sudahlah. Mungkin itu hanya perasaanku saja.]
Richi berbicara di dalam hati. Ia bertanya tentang suatu hal. Mencari sebuah alasan atas perasaan aneh yang menghinggapinya saat ini. Mencari sebuah alasan mengapa permainan pianonya menjadi begitu sempurna. Dengan mata yang terpejam, ia terus begumam di dalam hatinya untuk menemukan sebuah jawaban. Hingga ia mulai terkenang akan sebuah ingatan manis. Kenangan yang mungkin menjadi penyebab atas semua keanehan yang ia rasakan saat ini.
[Ada yang sedang mengenggam tanganku lalu menuntun ku ke sebuah tempat. Kemanakah aku akan dibawa pergi? Genggaman yang hangat. Cuaca yang hangat. Suara yang hangat. Ah, aku ingat. Bukankah ini adalah bukit kecil di tepi laut itu? Aku melihat sebuah pohon besar di sana. Telapak tangan yang besar. Mentari sore yang bersinar terang. Suara debur ombak yang menabrak dinding tebing. Ini…perasaan nyaman apa ini? Inikah hal yang merasuki ku? Uh. Tidak apa. Jangan pergi. Teruslah seperti ini—setidaknya sampai aku menyelesaikan lagu ini, ayah. Aku tahu pasti itu dirimu. Terima kasih telah memberikan perasaan hangat dan lembut ini. Aku bersyurkur mendapatkan banyak hal hebat di hari biak ini. Jadi, tetaplah di sini sedikit lebih lama lagi.]
[Lihat dan temani aku sedikit lebih lama lagi.]
Ruang tengah rumah itu dibanjiri dentingan piano yang membumbung haru. Seakan bermanifestasi menjadi butiran bola cahaya yang berkeliling menerangi seluruh ruang. Yang bahkan mampu untuk menerobos masuk ke dalam ruang hati. Menembus ruang hatinya. Ruang hati Richi. Juga ruang di dalam hati Chelsa.
Lagu apa yang sedang Chelsa dengarkan, ya?
Dengan semua keadaan di sekitarnya, apa ia akan baik-baik saja?
Adanya seseorang yang mau mengabulkan permintaannya, bukankah ia akan tersipu malu?
Apa telinganya mampu menahan suara indah yang tercipta di sana?
Apa musik yang ia dengarkan mampu menyelimuti perasaannya dengan baik?
Apa Chelsa akan tersentuh dengan musik yang dimainkan anak itu?
Ya…
Dia Tersentuh.
[Aku selalu menutupi ketakutanku dengan senyuman. Selalu membohongi diri dengan tersenyum. Selalu berkata kalau aku baik-baik saja. Uh, aku selalu seperti itu. Padahal, semuanya terasa menyakitkan. Aku terluka, tapi aku tidak tahu cara lain untuk mengungkapkannya selain tersenyum. Kondisiku seperti ini. Kehadiran ku saja pasti sudah merepotkan orang lain. Jadi aku sadar kalau aku tidak boleh mengeluh ataupun menangis, atau semua orang akan membenci ku. Itu semua yang membuatku lupa bagaimana cara untuk menangis. Aku selalu mencoba menutupinya dengan berpura-pura. Bahkan saat aku ingin menangis, yang ku lakukan hanyalah tersenyum.]
Bagai dongeng sebelum tidur dengan akhir kisah yang bahagia, Chelsa membiarkan dirinya dihujani denting indah piano di sana. Suara yang membuatnya terdiam. Denting yang membuatnya tak bergeming. Nada yang hanya mampu membuatnya membatin.
Dan membuatnya meyakini akan suatu hal.
[Ah. Tapi apa yang aku takutkan selama ini? Uh-huh. Aku tahu persis apa yang aku takutkan. Aku hanya seorang gadis yang tidak bisa diandalkan, selalu merepotkan. Bahkan aku sendiri tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin menjadi warna pelangi bagi orang lain—meski aku tahu hanya warna monoton yang mampu untuk ku lukiskan. Itu menyebalkan. Rasanya seperti ingin berteriak lalu menangis. Tapi, hidup itu bukankah memang seperti pergantian musim? Musim kemarau yang panas terik, silih berganti dengan musim hujan yang sejuk. Aku lupa kalau akan ada hari baik di setiap kisah hidup seseorang. Aku lupa kalau aku selalu memintanya. Dan aku percaya kalau aku akan menemukannya suatu hari nanti. Dan hari ini, pasti doaku telah didengar.]
Permainan piano yang terbungkus rapih bagaikan sebuah kado teruntuk seseorang. Merangkak, mendekat, lalu mendekap begitu erat. Memeluk tubuh mungil Chelsa yang duduk tepat di sampingnya. Menggenggam erat kedua tangan gadis itu untuk membuatnya tetap percaya kalau ia akan baik-baik saja. Membuatnya tetap percaya pada semua impian besarnya. Setiap nada yang tercipta terasa seperti itu bagi Chelsa.
Terasa melindunginya dari sebuah keputusasaan.
[Aku hanya bisa melihat sesuatu dari mata hati. Aku mampu merasakan dan memahami setiap perasaan orang lain atau bagaimana mereka melalui mata hati. Nada bicara, desah nafas, genggaman tangan, pelukan, maupun perasaan yang tersampaikan melalui musik. Aku tahu banyak hal tentang orang lain dari tingkah sederhana itu. Dan Richi, musiknya terasa begitu menghangatkan. Aku tahu ia sedang mencoba menyampaikan sesuatu lewat permainan pianonya. Aku meyakini itu. Oh, iya. Merpati? Bukankah ia adalah burung pengantar surat? Kalau begitu, Richi saat ini pasti sedang mencoba memberikan perintah pada piano yang ia mainkan, untuk mengirimkan suratnya kepada seseorang, layaknya seekor merpati. Uh, aku menyukai julukan itu. Terima kasih banyak atas permainan indah ini. Banyak hal yang tiba-tiba melintas di benakku. Suara indah ini membuat perasaanku menjadi lebih baik. Tapi ini berlebihan. Kau keterlaluan. Kau berhasil membuat ku tersenyum. Uh-huh. Kau berhasil membuat ku menangis.]
[Kau menyelamatkan ku.]
Ini terasa seperti perjalanan waktu. Chelsa mengingat satu ingatan. Empat bulan yang lalu ia pernah merasakan hal yang sama. Kala ia mendengar permainan piano seorang Kakek di taman kota. Permainan yang membulatkan tekadnya untuk menjadi seorang pianis. Dan untuk pertama kalinya lagi setelah hari itu, ia mendengar kembali permainan indah seseorang secara langsung. Tidak. Bukan hanya tentang itu. Banyak ingatan tentang perasaan yang kini menghampirinya. Hingga tanpa sadar, air matanya telah jatuh menetes.
Chelsa tidak lagi lupa bagaimana cara untuk menangis.
Seisi ruang masih dipenuh suara denting piano tanpa henti. Permainannya terus menggema. Lantang namun terdengar lembut. Tak ada keinginan di dalam hatinya untuk mengakhiri semua ini. Tak ingin melepas semua perasaan baiknya yang kini sedang melekat. Tapi Richi tahu kalau ia tak bisa egois. Ia harus segera mengakhiri nada-nada yang tersisa.
Karena memang semuanya akan segera berakhir.
[Terima kasih atas semuanya.] Richi berkata dalam hati.
[Terima kasih untuk segalanya.] Chelsa pun berkata dalam hati.
Ada sebuah pesan dari masing-masing mereka yang hanya mampu tersampaikan lewat bisikan kalbu.
[Ayah. Ibu. Hidup itu menyakitkan, bukan? Terima kasih atas lindunganmu dari semua itu selama ini.] Bisik kalbu Richi terus berbisik pelan.
[Kakak. Aku ini adik yang sangat merepotkan, bukan? Maafkan aku. Terima kasih selalu peduli dan mengkhawatirkan ku.] Bisik kalbu Chelsa pun terus berbisik pelan.
[Dan kau.] Mereka berdua mengatakan hal yang sama di dalam hati mereka. [Terima kasih banyak telah hadir untukku hari ini.]
Banyak hal yang tak pernah mampu untuk diungkapkan. Perasaan yang terlahir dan menjadi sebuah misteri yang mungkin tak akan pernah tersampaikan. Berharap burung merpati datang untuk menyampaikan semua pesan yang tak pernah mampu untuk terucap.
[Ku mohon.] Richi membatin. [Teruslah ada di sini untuk membuatku merasa baik seperti ini.]
[Ku mohon.] Chelsa membatin. [Tetaplah di sini untuk terus menuntun dan menyelamatkan ku.]
[Karena…]
Mereka berdua,
[Kehadiran mu adalah hal terbaik dan terhebat untukku.]
Membisikan hal yang sama.
Cahaya silau lampu membuat mata Richi mengernyit saat kepalanya mendongak ke langit-langit. Di sampingnya ada Chelsa yang sedang terduduk, menyeka air matanya yang jatuh. Permainan indah itu telah berakhir. Piano itu sudah menyelesaikan tugasnya. Suara denting indahnya telah menembus cakrawala sembari membawa sepucuk pesan. Pesan yang berisi alunan melodi indah yang memaksa mereka untuk mengungkapkan perasaan di dalam hati. Orang lain mungkin tak akan pernah mengerti, karena pesan itu terkirim hanya teruntuk mereka berdua. Hanya teruntuk Richi dan Chelsa. Lalu merelakan itu semua memudar secara perlahan.
Membiarkannya terbang ke atas langit dan menjadi sebuah cahaya.
Membiarkannya terbang ke atas langit agar menjadi sebuah harapan.
Dan hanya mereka saja yang mampu untuk mengerti semua itu.
Richi sudah menunjukkan permainan yang luar biasa saat di rumah Kakek Dio. Dan barusan saja, ia mampu menampilkan permainan piano yang berkali-kali lipat lebih baik. Tidak. Itu adalah permainan sempurna miliknya. Permainan terindahnya. Menghunus dan bersemayam di suatu tempat. Dengan memainkan lagu yang sama, musik milik Chopin yang berhasil ia taklukan hari ini, semua perasaannya ikut mengalir keluar lalu menyelimuti permainan pianonya—permainan yang tersaji dengan sepenuh hati. Dengan semua perasaan baiknya, ia membumbui permainannya menjadi lebih halus dan menyentuh. Menghiraukan partitur yang ada di hadapannya, memberikan kesempatan kepada kenangannya untuk merasuk lalu mengambil alih seluruh tubuh, membiarkannya menjadi seorang penuntun. Hingga terciptalah sebuah permainan yang maha dahsyat.
Begitulah seorang pemusik. Seorang pemusik begitu mudah terpengaruh oleh hal-hal kecil di sekelilingnya. Tidak. Setiap manusia pasti mudah terpengaruh oleh hal-hal kecil di sekelilingnya. Senyuman akan membuat seseorang merasa berharga. Penghargaan itu akan membuat seseorang bahagia. Tersentuh, nyaman lalu merasa baik. Begitu pun sebaliknya.
Sebagai seorang pemusik—dan tentu juga sebagai seorang manusia, Richi tentu begitu rentan terhadap apapun yang ada di sekelilingnya. Permainan musiknya akan selalu bergantung pada cahaya di dalam hati. Jika cahaya itu sampai hilang, musik miliknya tak akan pernah mampu menyentuh apapun. Memang sedikit klise, tapi ini bukanlah sebuah mitos. Percayalah, bilamana cahaya itu sampai muncul, musik miliknya akan mampu untuk menembus apapun—menembus hingga menyentuh hati seseorang. Dan syukurlah bahwa hari ini...
Cahaya di hatinya bersinar begitu terang.
Di luar rumah, hujan mulai menetes dengan tenang. Langit yang sebelumnya menangis begitu kencang, kini ia mau untuk memelankan tangisannya. Hanya gerimis kecil yang tersisa. Hanya suara gemercik kecil air yang kini terdengar.
Setelah konser pribadi tadi berakhir, obrolan kecil mereka berdua kini yang memenuhi ruang tengah. Hanya obrolan yang sederhana, mengenai musik, musisi favorit, lagu favorit dan bagaimana masing-masing dari mereka bisa sampai menyukai musik. Apa ya disebutnya? Fase perkenalan? Atau fase memberi kesan? Mungkin tidak sampai sejauh itu—mereka berdua tidak pernah berpikir sampai sejauh itu.
Sebagai seseorang yang memiliki impian yang sama, obrolan tentang semua itu menjadi sesuatu yang lumrah. Percakapan yang akan mengalir begitu saja dengan intesitas yang tinggi. Tanpa dibuat-buat atau kepura-puraan. Memang ada sedikit kecanggungan di antara mereka ketika permainan Richi telah usai. Ketika mereka mulai kembali tersadar lalu bingung harus mengatakan apa untuk membuka percakapan. Richi memang tidak mampu berekspresi seperti itu, sampai saat ketika Chelsa memuji permainannya, dan meminta maaf jika ia terlihat aneh karena air matanya yang tak berhenti menetes. Melihatnya mengatakan semua itu memang membuat Richi menjadi salah tingkah. Tapi tak bisa dipungkiri,
Kalau ia juga senang mendengarnya.
Terasa membeku. Dingin. Mungkin juga membosankan. Itulah yang dirasakan Richi beberapa menit yang lalu—saat ia menunggu hujan mereda. Bagaikan sebuah Roller Coaster, ketika petuah kehidupan telah memberikan titah, menulis ulang lembaran takdir, maka semuanya pun akan ikut berubah. Membolak-balikan keadaan tanpa disangka, membolak-balikan suasana hati tanpa diminta. Segelintir skenario kecil kehidupannya berubah. Kini terasa mencair. Begitu sejuk. Dan berkesan. Ya, Richi sekarang merasakan itu. Lalu apa yang membuatnya merasa demikian? Soal itu… pasti karena obrolan kecil di antara mereka.
Pasti hal sederhana itu yang membuatnya merasa demikian.
Pukul 18.00.
Richi melirik sekejap jam dinding yang tidak jauh dari sana. Matanya lalu menyapu sekitar dan berhenti di sebuah jendela bagian samping rumah—yang tepat ada di belakangnya. Ia hanya ingin memastikan kalau hujan di luar telah reda. Langit memang sudah terlihat gelap. Tapi sekarang ia sudah bisa pamit untuk pulang.
"Um," Richi beranjak dari kursinya. "Aku ingin pamit pulang dulu, ya."
"Oh, hujannya sudah berhenti, ya? Kau mau pulang?"
"Ya, hujannya sudah berhenti. Lagi pula ini sudah mau malam. Aku harus segera pulang. Ibuku pasti sudah menunggu. Hehe."
"Begitu, ya? Uh." Chelsa pun beranjak dari kursinya.
Mereka pun berdiri berhadapan.
"Oh, iya. Terima kasih sebelumnya. Terima kasih karena memperbolehkan ku untuk berteduh di sini. Terima kasih juga mau mendengarkan lagu dan permainan pianoku."
"Uh-huh. Aku yang seharusnya berterima kasih."
Saling berucap, tutur kata yang saling membalas beriringan.
"Dan tentang berlatih piano, aku akan datang ke sini setiap sore. Apa kau keberatan?"
"Sama sekali tidak. Aku akan dengan senang hati menantikannya, Richi."
Berbalas ucapan yang terasa sedikit canggung.
"Tapi, aku mungkin tidak akan bisa mengajarimu dengan baik. Mimpimu untuk menjadi pianis hebat, beri aku waktu untuk mengajarimu sampai kau mewujudkannya."
"Hehe. Aku sudah sangat senang kau mau mengajari ku. Bagi ku itu sudah lebih dari cukup. Tapi… uh, ayo kita wujudkan mimpi itu bersama."
Percakapan yang pada akhirnya melahirkan sebuah janji.
Tidak begitu rela. Tapi harus rela. Tidak ingin berakhir. Tapi harus berakhir. Wajah mereka terus saling bertemu. Akan tetapi pertemuan mereka hari ini hampir sampai di ujung kisah. Hanya tinggal menunggu beberapa saat sampai pertemuan ini berakhir.
Hingga bahu mereka nanti akan saling membelakangi.
"Kalau begitu," Richi baru saja melingkarkan gitar usang itu ke tubuhnya. "Aku pamit dulu, ya." lalu mengambil sekantung plastik berisi makanan yang sudah ia beli.
"Uh. Hati-hati, ya." lambaian kecil tangan Chelsa pun ikut mengantar kepulangannya.
Kemudian suara derap langkah terdengar jelas mulai menjauh perlahan. Chelsa tahu kalau Richi sudah mulai melangkah pergi. Dan ia hanya menyisakan sebuah senyuman di bibirnya tipisnya.
Tidak begitu rela. Tapi harus rela. Tidak ingin berakhir. Tapi harus berakhir. Sebelum melangkah lebih jauh, ada perasaan aneh yang menghampiri benaknya. Entah kenapa rasanya Richi ingin sekali menoleh ke belakang. Memaksakan kehendak, memberhentikan sejenak langkahnya dan mencari sebuah alasan. Lalu Richi pun berhenti tepat di ujung pintu. "Dah~." ia hanya ingin menatap wajah itu sekali lagi.
Saling menoleh. Saling melambaikan tangan. Saling tersenyum. Wajah mereka pun saling bertemu sekali lagi.
"Dah~."
Wajah yang saling bertemu…
Untuk yang terakhir kali.
BERSAMBUNG.