Jarak Denpasar ke Karangasem memakan waktu lebih satu jam. Selama bus membelah jalan, selama itu pula aku mendengar lagu favorit dari ponsel. Bli Wayan beberapa kali mengajak penghuni bus mengobrol. Kadang aku ikut tertawa ketika beberapa orang menyuarakan candaan.
Sampai satu perempuan ikut bergabung, memotong alur humor menjadi sebuah mitos.
"Bli, Anda bilang kita menginap di daerah Perasi. Kudengar disana ada pantai pasir putih yang jarang di datangi, apa benar?"
Bli Wayan mengangguk, "Hotel kita bahkan membelakangi pantainya,"katanya sambil tertawa renyah.
Perempuan itu menoleh ke sebelahnya, temannya mungkin. Ia kemudian menengok lagi, kali ini memelankan suara.
"Apa..apa disana ada sesuatu janggal?"
"Sejauh ini baik-baik saja. Selain ombak dan pasirnya yang memang berbeda dari biasanya, wajar saja," jawab Bli Wayan.
"Tidak ada kabut?"
"Kabut?"
Si perempuan melirik temannya lagi sebelum berkata-kata. "Kakak saya pernah tinggal di Karangasem. Dia bilang, Pantai Perasi sering berkabut."
"Nona, pantai berkabut itu wajar. Suhu di sana kan masih dingin murni. Apalagi setelah hujan. Jadi, jangan samakan dengan pantai lainnya," kali ini aku mendengar sahutan dari pria yang duduk disebelah Bli Wayan.
"Gus Rio, tidak apa-apa." Bli Wayan menepuk pundak pria berambut keriting itu. Ia berdiri, berjalan ke kursi yang bertanya tadi.
"Seperti kata Gus Rio, kabut itu wajar dan bukan masalah, selagi tidak tebal."
Perempuan itu ingin bersuara, namun teman disampingnya menarik lengannya, menggeleng.
"Baiklah kalau begitu, Bli." Ia tersenyum aneh dan mengangguk.
Bli Wayan kembali ke tempatnya, mengajak semua penumpang bus bercanda seperti sebelumnya.
Aku tidak lagi memperhatikan kelakar yang sudah mengisi suasana. Kulirik dari ujung mata, perempuan dan temannya. Mereka berdua mengobrol serius, sampai si perempuan itu akhirnya menghela napas panjang.
"Benar, mungkin hanya mitos," ucapnya yang terakhir kudengar.
Aku memalingkan pandangan keluar jendela, membuang rasa penasaran karena ucapan mereka. Sampai ponselku bergetar di genggaman, satu panggilan dari Bunda.
"Halo Bunda?"
'Kenapa kamu gak ada di apartemen?'
Aku menunduk sebentar lalu menatap jendela lagi.
"Rainy di Bali."
'Bali? Ada dinas kenapa gak bilang?'
"Bukan kerjaan, Bunda. Aku cuman liburan."
'Kamu ngejar kakakmu bulan madu kesana? Rainy, bunda udah bilang...'
"Enggak, aku memang mau liburan. Mana tahu dia kesini juga." Hampir saja kunaikkan nada bicaraku. Siapa juga yang mau mengejar mereka?
'Kapan kamu pergi?'
"Baru tadi pagi. Ini lagi jalan ke hotel."
Bunda tidak berkata-kata lebih banyak. Satu ucapan terakhir hanya ku jawab deheman 'mengerti' sebelum menutup panggilan.
Anggid di kawasan Denpasar. Dan Bali masih cukup luas dimana aku bisa berpijak tidak dekat dengan mereka.
Aku membuang napas pendek. Teringat lagi memori dengan kakak-ku itu. Dulu ia tidak begitu dingin. Perempuan itu memang lebih pendiam dariku, tapi tak pernah sampai memandang dengan mata melotot dan urat leher hampir terlihat.
Aku mengangkat kepala, menengok Bli Wayan yang mengumumkan kami sudah tiba.
Dan tahu-tahu, sampai di hotel, nuansa kayu-kayuan jati yang pertama kali menyambut pandangan mata.
Atau bisa kubilang tempat ini resort. Banyak pondok di bangun beberapa tempat cukup tinggi dan menghadap pantai. Setiap bangunan punya balkon sendiri. Tidak mewah, tapi menyenangkan sekaligus sedap di pandang. Aku merasa suasana-nya sengaja dibuat membaur dengan alam.
Ketika Bli Wayan menginstruksikan lagi karena hari ini istirahat dan bisa berjalan-jalan di sekitar pantai, ia memberi kunci kamar ke setiap rombongan turun.
Aku mengangguk ketika pemandu wisata lainnya mengarahkan dimana tempat yang kudiami. Ia tersenyum lebar, memberitahu kalau aku cukup beruntung karena berlokasi strategis melihat semua pemandangan Pantai Perasi.
Begitu malam tiba, ketika aku berniat kembali setelah makan malam, tak sengaja mataku menangkap satu lukisan di pondok lobi.
Aku berjalan mendekat, menaikkan satu alis. Lukisan yang tak mampu ku mengerti. Si pelukis memberi nuansa desa dengan seorang gadis kebaya putih dan daun kemangi berjatuhan yang melatarbelakangi.
Tidak ada coretan siapa pelaku melukisnya. Seolah itu dibuat, tidak diakui namun tetap dipajang.
"Lukisan itu punya Nini- nenek saya."
Suara nada mendalam mengejutkanku, membuat tubuh bergerak ke pemilik gumaman tadi.
Bli Wayan berdiri tanpa memalingkan mata. Kedua iris-nya berkaca-kaca, mungkin saja ingatannya terbawa jauh.
"Berarti sudah lama sekali, Bli. Padahal goresannya seperti baru." Ucapku kembali menatap lukisan tadi.
Dia terkekeh, "Pemilik hotel pertama di sini membeli-nya begitu lukisan ini selesai."
***