Chereads / Meeting On a Misty Beach / Chapter 4 - MOAMB - 4

Chapter 4 - MOAMB - 4

Goresan kanvas sebelah lukisan kemangi menarik perhatianku. Aku yakin pihak resort menambah koleksi mereka, memajangnya bersisian dengan lain.

Kali ini nuansa yang pertama kali ku tangkap di lukisan itu bahagia. Sepasang kekasih tampak lepas, menaruh segala perasaan sekelilingnya. Melupakan sang waktu. Mengizinkan langit malam menemani mereka.

Begitu bahagia sampai aku mengulang pikiranku. Yang terlihat tidak seperti kejadian sebenarnya.

Alasan keduanya mengacuhkan si waktu. Juga mereka bersama bulan dan bukan matahari.

Aku memahaminya. Ada satu keadaan menekan keduanya. Dan dia ada di lukisan.

Tapi apa?

Kedua mataku mencari-cari, mungkin orang ketiga bisa saja bersembunyi. Tanganku sudah terlipat di dada, tubuhku pula hampir nunduk, sejajarkan kepala dengan bagian bawah hasil seni itu.

"Tampaknya kau tertarik dengan seni, nona."

Aku menoleh, mendapati pemilik suara  dari seseorang yang ku tahu bernama Rio. Dia tampak berbeda terakhir kali terlihat.

"Tidak terlalu."

Laki-laki itu tertawa ringan. Alih-alih melanjutkan ucapannya, ia ikut menatap dua kanvas di dinding.

"Apa kau kira..," kata-katanya berhenti. Sampai ku lirik dari ujung mata karena penasaran.

Satu tangannya mengurut dagu, kedua matanya menyipit sampai akhirnya ia mengangkat bahu.

"Keduanya berkaitan," lanjutnya, meratakan kalimat yang kukira bertanya.

Aku menaikkan satu alis, kembali memperhatikan keduanya.

Lukisan si gadis dan kemangi memberi banyak kesan. Ia bisa di sisi gelap, tapi bisa dibilang punya sisi terang.

Beda dengan lukisan dua anak manusia yang menikmati dunia mereka. Aku tak melihat hal baik di keduanya.

Kalau dikaitkan, ya gak selaras.

Kecuali, sang perempuan di antara daun kemangi, pasangan sebenarnya laki-laki yang menari dengan wanita lain.

Atau sang perempuan sendiri si keadaan sampai keduanya menjalin hubungan di belakang.

Aku mengerang. Rasanya otak dipaksa bekerja di hari biasa.

Sampai tawa kekeh mengisi pendengaran. Aku menoleh mendapati Rio dengan sirat jahil di binar mata.

Loh? Dia iseng?

Telunjuknya terangkat, menekan dahiku yang baru kusadari berkerut.

"Kau ini terlalu serius. Itu cuman lukisan."

Berdecak kesal, ku tepis tangannya dan berbalik, berniat kembali ke pondok.

Belum beberapa langkah keluar dari halaman lobi, Rio berseru keras. Sukses mengundang tanya orang-orang sekitarku.

"Jumpa ketemu di bus nanti."

Aku berbalik sebentar. Raut wajah kesalku tidak berubah. Dan Rio malah melambaikan tangan dengan cengiran di wajah.

Di pondok, ku rebahkan tubuh ke kasur. Merentangkan tangan menyalurkan perasaan capai. Berpikir kembali melanjutkan tidur, tapi getaran ponsel di nakas membuyarkan niatku.

"Di keadaan malas gini, kenala pakai acara ada nelpon?" Keluhku sembari menyeret badan mendekati benda bergetar sejak tadi

Nana is calling...

"Hm..alamat bergosip namanya." Ku geser tombol hijau, membuat speaker selagi memeluk guling.

"Halo Nana."

'Rainyyyy...'

Aku memejamkan mata, menutup pendengaran guna menyelamatkan gendang telinga.

"Kau ini kenapa? Teriak di telpon."

'Bodo amat. Dengar, kau sudah tau Lucian di Bali hari ini sampai seminggu ke depan?'

"Kukira begitu. Memangnya penting yeah?"

'Iya bego! Dia itu Lucian tahu! Lucian Elvan. Oh my god, lucky banget sih Ra, sepulau sama dia.'

Aku mendengus. Sepulau apanya? Baru aja nyasar ketemu dia. Bukan pula lucky, sial yang ada!

"Dan?"

'Dan? Kau kenapa cuek gini Ra? Terakhir diskusiin aktor Romero, kau begitu heboh.'

"Itu Romero. Bukan Lucian-mu bak patung es berkeliaran." Aku terkekeh dan semakin keras begitu mendengar sahutan pedas Nana.

'Dia itu cool. Diberkahi tampan gitu wajar aja dia ngirit ngomong.'

"Ngirit apa pelit?" Kupeluk semakin erat guling, menjauhkan ponsel sebelum Nana sadar aku menertawakannya.

'Whatever. Pokoknya sabtu nanti aku ke Bali.'

Aku mengerutkan kening. Sisa tawa-ku benar-benar hilang. "Gimana dengan deadline jurnal-mu, Na? Pak Rizal mana mungkin ngasih liburan kalau kerjaan terlantar."

'Justru itu! Dia mindahin jadwal dinas luar Dian ke aku. Wakilin buat menuhin undangan perusahaan.'

"Dian kenapa lagi?"

'Biasa, ditahan Pak Rizal. Mereka kan udah mau jadi orang tua. Mana tega biarin istri hamil muda sendirian.'

Aku mengangguk, tersenyum sumringah. Akhirnya dua pasangan terheboh di kantor punya anggota keluarga tambahan.

"Kirimkan salam ke mereka berdua, Na."

Nana bergumam mengiyakan. Berbicara sebentar tentang idolanya -lagi, ia menutup panggilan. Bersamaan itu pula ada pesan masuk dari Bli Wayan.

Oh sudah mau siap-siap ke Tanah Lot rupanya.

***