Aku mengangkat pandangan dari balik kacamata hitam. Topi bundar anyaman yang kupakai begitu panas di kepalaku. Tapi setidaknya melindungi sengatan panas matahari. Begitu semua orang turun dari bus, Bli Wayan mengarahkan ke daerah pusat souvenir.
"Bli Wayan," panggilku, melepas kacamata tadi dan mengantonginya.
Pria itu memalingkan wajah ke arahku. Sisa senyum tadi masih terlihat di air mukanya.
"Saya mau pergi sendiri."
Bli Wayan terlihat menolak, buru-buru kukatakan alasanku.
"Sahabat saya nitip oleh-oleh. Anda memangnya tahu berapa lama cewek pergi belanja?" ucapku mencoba bercanda.
Dia tetap menatapku tidak setuju. "Saya takut tidak bisa menjamin keamananmu disini kalau pergi sendiri, Geg."
"I'm promise will be back on time." Ucapku lagi. Tapi kali ini Bli Wayan menggeleng.
"She with me, don't worry."
Kutoleh mata ke belakang Bli Wayan. Rio dengan kamera tergantung di leher sudah memasang senyum lebar.
"Tidak, pergi jalan-jalan sama kamera bodohmu sana. Aku tetap sendiri."
Rio mengangkat satu alisnya, "Kau yakin? Kamera yang kau sebut bodoh ini bisa membuat foto instagramable loh."
Bli Wayan mengangguk. Ia menatap Rio sebelum kembali menoleh ke arahku.
"Kalau dengan Gus Rio, saya kira aman." Dia lalu pergi, meninggalkanku berdua dengan Rio yang masih dengan senyum menyebalkannya.
Rio mengangkat kamera hitam ke arahku, nyengir . Ia lalu menarik tanganku.
"Jangan cemberut gitu. Kau harusnya senang mendapat tukang foto gratisan," sahutnya mengabaikan wajah protesku.
Selama aku mencari pernak-pernik yang sekiranya menarik perhatia, Rio terus berceloteh. Sering pula ia mengambil foto candid-ku setiap berhenti di satu kios.
"Kau mencari apa memangnya?"
Aku meliriknya sebentar. "Bandul buat kalung."
Keningnya berkerut, "Kenapa tidak dengan rantainya?"
Aku menghentikan langkah, mengacuhkan pertanyaannya begitu mata menangkap kilauan hijau yang tergantung di salah satu kios. Segera kularikan kaki ke sana, dan seorang wanita berkebaya putih menyambut kedatanganku dengan senyum.
"Mbak, ini.."
Wanita itu mengangguk, mengambil mata kalung dari tanganku. "Kemangi. Apa Anda ingin menyatakan cinta, nona?"
"Aku hanya mau menyandingkannya dengan rantai ini," ku ambil rantai di saku celana yang kutemukan di pantai tadi, dan menunjukkan kepadanya .
Dia menatap agak lama kalung yang beruntai di tanganku. Melihatku lagi dengan raut wajah penasaran.
"Kau sudah bertemu dengannya?"
"Siapa?"
"Seseorang di kabut," terangnya. Aku menyatukan alis dan menyipit, sampai tak sadar mundur dan hampir kakiku saling menginjak kalau saja Rio tidak menahan dari belakang.
"Hei, perhatikan langkahmu." Dia merangkul bahuku.
"Ada apa?"
Aku menggeleng, menyingkirkan lengannya sebelum menoleh wanita tadi.
"Kau jadi mengambilnya? Aku bisa bantu pasangkan." Wajahnya kembali ramah walau matanya melirik Rio.
"Boleh, aku beli bandulnya."
Ia mengangguk, pergi ke sisi lain tokonya sedangkan aku dan Rio tetap di kasir.
"Wanita itu aneh sekali," komentarnya. Rio mengarahkan kamera ke toko, mengambil beberapa gambar.
Sedangkan aku memilih membisu. Kata-katanya masih menusuk telinga padahal jelas bukan komentar buruk.
Darimana dia tahu kejadian itu?
"Kau melamun lagi?"
Aku melirik Rio kesal. Laki-laki itu masih sibuk memotret tapi bahunya sejak tadi sengaja menyenggolku.
"Ini nona. Kalungmu terlihat cantik sekarang." Si wanita tadi kembali dan menyodorkan perhiasan itu. "Saya tebak. Dia pria Perancis?"
"Berapa jadinya, mbak?" kucoba tersenyum, menolak menjawab tanyanya,
Dia menyebut jumlahnya dan aku mengangguk, mengambil beberapa lembar uang dari dompet dan pergi. Rio kembali membuntutiku, wajahnya ingin bertanya namun berucap hal lain.
"Kau mau kupasangkan kalungnya?" gumamnya, menawarkan diri, Kupandangi sejenak tangannya yang terjulur, mengangguk dan menyerahkan kalung itu.
"Manik-manikmu ini indah. Sayang kalau dipakai sama pemilik berwajah mendung." Ia menepuk pundakku begitu menyelesaikan tugasnya.
Aku tidak menjawabnya lagi, berniat ke kios lain tapi Rio menahan lenganku.
"Ayo pergi. Kukira ombak perlu menyiram wajah jelekmu itu."
"Siapa yang kau panggil jelek?"
Rio menunjukku sembari tertawa. Dengan geram, ku cubit bahunya dan pergi, meninggalkan dia yang meringis di belakang.
Ombak dari laut berkali-kali menghantam karang besar dimana aku berdiri sekarang. Aku menjauh dari keramaian, menemukan satu tempat yang tidak begitu ramai. Rio sendiri entah kemana, mungkin keasikkan dengan kameranya, mengambil gambar semua objek.
Memandang laut saling mengejar, ku biarkan lagi sang angin menyapu leher, menambah esensi sejuk selain dari sebuah kalung yang baru terpasang.
Sembari memejamkan mata, indra penciumanku membaui aroma akrab, limau segar. Sampai akhirnya mundur beberapa langkah sebelum berjongkok dan mengeratkan jaket denim hitam begitu kurasa tubuh menggigil.
"What are you doing there?"
Aku tersentak, membuka mata, menjulurkan kepala di bawah karang sana.
Oh dia lagi
"Liburan, memangnya apa lagi selain itu?" ucapku kembali ke posisi semula.
Rasanya sudah dongkol hari ini bertemu pria itu dua kali. Daripada membuang waktu meladeninya, aku meluangkan diri menikmati alam setiap detik. Sebelum rumah yang tak bisa kusebut rumah sekarang, menantiku. Mempertemukan dengan Anggid dan suaminya.
Dan orangtuaku kembali membelanya,seperti dulu-dulu.
"If you say I'm stalking you again, I told everyone that you were here."
"Kau tak akan berani."
Mataku membulat, mendapati sosoknya sekarang di sampingku, duduk berselonjoran dengan kedua tangan bertopang ke belakang.
"I just hugged you and surpise..." Dia menoleh, menatap lurus ke arahku. Sedangkan aku mengabai kehadirannya, memberi perhatian ke sepanjang laut milik Tanah Lot.
"You get in trouble with me," lanjutnya.
Aku mendengus, "I'm worried then? Aku penasaran bagaimana reaksi media tahu kalau seorang idol percaya something weird like this morning."
Lucian melempar tatapan sinis, "Bukankah memang begitu?"
"But you here, sit with me."
"Aku hanya penasaran. Kau datang kemudian pergi dengan kabut."
"Itu bukan mauku," jawabku sekenanya. Tentu Lucian tidak percaya. Ia lagi-lagi melempar pandangan tak enak. Matanya kembali menajam, yes he's angry.
"So why you here? Where your misty?"
"Liburan! Not with stupid misty so stop say it again," geramku, lalu berdiri pergi mengacuhkan tatapan berkilat dari pemilik bola mata malam.
"Hei! Aku belum selesai!"
"And I'm done. Get to check your brain in psychiatric hospital."
Setengah berlari, ku bawa tubuhku mendekati keramaian. Khawatir kalau memang dia menyusul. Tapi tentu tidak mungkin. Dia memang bodoh menuduhku penyihir or something other shit.
Namun kukira akal sehatnya harusnya berjalan, tidak menyusul ke area pura sendiri.
"Hei, kau darimana saja?"
Rio menarikku ke dirinya dari kerumunan. Raut wajah laki-laki itu setengah pucat.
"Aku hanya berjalan-jalan. Kenapa?"
Ia menggeleng, mengacak rambut ikalnya sebelum kembali menatapku.
"I think you get lose."
"Aku bukan anak kecil kalau kau lupa," ucapku
. Ia menghembuskan napas pendek, "Ini Bali. Jangan samakan dengan lingkungan rumahmu."
"Sudahlah, kau terlalu overthingking ya." Kali ini aku yang menarik lengannya, mendekati pura dan menengok lagi ke Rio.
"Kau berjanji memberiku foto instagramable."
"Bukannya kau menolak?" katanya sambil tertawa.
"Cepatlah, kau foto atau aku tak mau berbicara denganmu lagi."
Rio buru-buru mengangguk, "Dasar cewek. Tadi sok nolak sekarang di tagih," keluhnya sembari mengarahkan lensa kamera.
Kulepas topi bundarku, menertawakannya dan membiarkan matahari menyiramku dengan cahaya terik.
Dia memang freak, tapi aku jahat sekali membuatnya khawatir
Sekembalinya dari pura, aku dan Rio kembali ke pelataran parkir bus. Dan kupikir sempat melihat-lihat lagi pernak-pernik di toko souvenir.
"Kau mau beli apa lagi memangnya?" tanya Rio. Dia sekali lagi menemaniku menelurusi kios-kios.
"Aku lupa beliin untuk teman."
Kios yang kami berdua lewati masih ramai dikunjungi walau hari semakin mendekati malam. Tadinya, aku ingin melihat sunset. Tetapi Rio mengatakan Bli Wayan ingin kami segera kembali. Apalagi suasana di sana tidak kondusif. Lucian Elfano membongkar kehadirannya. Dari sahutan beberapa cewek remaja lewat, ada yang tak sengaja berpapasan dengannya dan mengenali Lucian.
"Dia dengan kru noraknya. Siapa yang tak sadar?" Rio menggeleng heran. Aku disampingnya tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Ketika kami kembali di jalan sebelumnya lewati, keningku berkerut. Kios dimana ku beli bandul tadi tidak ada. Tempat itu malah ditempati pohon rindang.
"Kemana kios wanita tadi?"
Rio mengangkat kepalanya yang sejak tadi melihat gambar di kamera. Ia ikut mengerutkan kening.
"Kau yakin tadi beli disana?"
"Tak lihat sebrangnya kios yang sama?"
Kami saling berpandangan dan Rio akhirnya memilih mengabai.
"Lupakan saja. Cepat cari hadiahmu."
Aku mengangguk, ikut mencoba mengabaikan kios dan sang wanita.
Ada yang tidak benar disini
***