Tujuh pemuda itu bukanlah sebuah grup terkenal. Mereka hanyalah pemuda biasa yang memang berharap menjadi terkenal. Maka dari itu, perjuangan mereka dimulai dari mengisi berbagai acara di kafe-kafe. Walaupun mereka belum terlalu lama saling mengenal, tapi keakraban mereka sudah seperti hubungan adik-kakak.
Grup yang beranggotakan tujuh orang itu juga sering mengikuti berbagai audisi, namun selalu gagal. Bagi mereka itu tak apa, mereka percaya suatu saat pasti bisa mewujudkan impian mereka. Asalkan mereka kompak dan tak putus asa.
Seperti saat ini, setelah mereka tampil, mereka pasti akan berkumpul sebelum pulang. Entah itu untuk membicarakan hal penting atau hanya sekadar menongkrong.
"Bang Nanda", panggil Jamal pada Nanda yang sedang berfokus pada layar ponselnya yang berpendar. "Ajarkan aku berbicara bahasa Inggris" pintanya pada Nanda dengan mata melirik Dirga yang baru saja duduk.
"Memangnya kau minta diajarkan tentang apa?"
Jamal nampak menimbang sebelum menjawab. "Karena kita sedang di kafe, bagaimana kalau tentang makanan saja?". Nanda hanya mengangguk sebagai jawaban persetujuan. Tanpa basa-basi, Jamal langsung melontarkan sebuah pertanyaan. "Bang, apa bahasa inggris dari 'jeli'?"
"Jelly. J-e-l-l-y"
Saat ini, keduanya memang sedang melakukan les privat dadakan, tak ada keanehan yang dirasakan. Hingga pelayan datang membawakan pesanan mereka, Jamal yang tiba-tiba membuka buku rentetan makanan itu kembali. "Permisi, aku ingin memesan 'red jelly' satu", terdengar sebuah penekanan pada kata red jelly. Pelayan itu mencatat pesanan tambahan milik Jamal, membungkuk sopan sebelum pergi meninggalkan meja.
Suara dentingan piring yang beradu dengan sendok dan garpu mengisi keheningan diantara mereka. Asal kalian tahu, sejak Dirga kembali dari kamar mandi, ia sama sekali tak membuka ponselnya, dan itu membuat Jamal semakin bersemangat ingin menggodanya. "Lama sekali pesananku". Lantas Jamal memamerkan senyumannya sebelum berucap lebih jauh lagi. "Aku penasaran, seperti apa red jelly itu?" imbuhnya. Bahkan Dirga tetap tak merasa sedang digoda.
"Seperti puding yang bertekstur empuk" tutur Septian. Sebenarnya berniat untuk membuat lawakan, namun tak ada satupun temannya yang tertawa. Baiklah, Septian akhirnya memilih untuk diam saja.
"Memangnya kau belum pernah memakannya ?", tanya Tomi.
Jamal menyilangkan kedua tangannya didepan dada, sesekali melirik acak para temannya. "Aku belum pernah melihatnya", sontak teman-temannya semakin heran dibuatnya. Bukankah itu hanya jeli biasa yang berwarna merah? Bagaimana bisa Jamal belum pernah melihatnya?. "Seperti apa dia? Apakah tampilannya cantik? Rasanya manis?", lanjutnya dengan gaya layaknya seorang dektektif serta masih dengan senyum yang tak terartikan. Merasa tahu arah pembicaraan pria disebelah kirinya, tangan Dirga diam-diam menyentuh ponselnya, jantungnya mulai bertalu tak beraturan. Belum saja tombol kunci itu ia tekan, Jamal sudah menghadap ke arahnya. "Mungkin kau bisa menjelaskannya pada kami, Dirga?"
***
"Lihat saja, Chika tidak ingin bertemu Kak Dirga besok" omelnya pada ponsel yang menampilkan nama Dirga.
"Mengomel saja kerjaannya", sahut Johan—kakak Chika. "Ada Dirga dibawah, dia mencarimu"
Air muka Chika berubah seketika. Gadis itu bingung harus bagaimana sekarang. Baru saja dirinya mengomel tidak ingin bertemu Dirga karena pesan yang tak kunjung dibalas, malah sekarang Dirga datang ke rumahnya. "Dia membawa permen kesukaanmu", imbuh sang kakak yang kemudian dibuat kaget dan heran secara bersamaan karena Chika yang langsung lari ke lantai bawah. Mudah sekali disogok dengan makanan—batin Johan.
Beberapa anak tangga terakhir, Chika melihat Dirga yang sedang mengobrol dengan ayahnya. Chika suka itu. Jadi, jika gadis itu dengan Dirga sedang bertengkar−ralat, Chika yang kesal, biarkan saja Dirga mengobrol dengan anggota keluarganya yang lain. Niat hati ingin kembali ke kamar, Dirga sudah lebih dulu memanggil Chika. Secepat mungkin Chika mengubah raut wajahnya yang datar.
Sang ayah berlalu pergi meninggalkan putrinya dengan Dirga. Ayahnya tentu tidak khawatir meninggalkan Chika dengan Dirga hanya berduaan. Lagipula seorang ayah jelas akan mencari tahu seluk beluk laki-laki yang akan dekat dengan putrinya, kan?. Cukup untuk pria paruh baya itu mengenal Dirga dan keluarganya.
"Mau apa kesini?" tanya Chika langsung pada intinya.
"Ingin meminta maaf" ucapnya sedikit lesu. "Maafkan aku ya, bukannya aku tak mau membalas pesanmu. Aku tadi sehabis tampil berkumpul dulu dengan teman-teman" jelasnya.
Mendengar penjelasan pria itu, Chika jadi memakluminya. "Maafkan Chika, Kak. Chika tidak tau". Ini salah satu yang disuka Dirga dari Chika. Walau sifat kekanak-kanakannya lebih mendominasi, gadis itu tetep mempunyai sisi dewasa. "Eum.. kata Kak Johan, Kak Dirga membawa permen kesukaan Chika, benarkah?"
Baru saja hati Dirga menghangat mendengar Chika yang meminta maaf, sekarang malah dirinya hampir melepaskan tawanya mendengar kalimat barusan.
"Tidak" bantahnya dengan dahi yang mengernyit dan gelengan kepala. "Aku membawa kantung darah" imbuhnya sambil menyerahkan totebag ke atas paha putih Chika.
"Iiihh.. tidak mau. Chika tidak suka darah" tolaknya. Tangannya langsung memindahkan totebag itu kembali pada Dirga.
Dirga tertawa kecil. Senang sekali menggoda Chika. "Katanya menyukai warna merah, darah kan berwarna merah" totebag itu kembali ditaruh pada paha gadis itu. "Buka saja. Tidak usah komentar dulu"
"Tetap saja. Tidak ada orang yang menyukai darah" sembari membuka bungkusan yang ternyata benar berisi permen.
"Aku menyukainya" sahut Dirga.
Chika membuka bungkus itu. "Darah apa?"
Dirga yang sadar jika ia salah bicara, bingung harus menjawab apa. "E−itu.. eum.."
.
.
.
bersambung...