Tiba-tiba saja pagi ini Septian mengajak Yogi berbelanja ke pasar. Membeli bahan makanan yang sedikit lebih banyak dari biasanya. Bahkan juga membeli beberapa buah-buahan. Tumben sekali, bukan? Itu karena besok adalah hari terakhir Dirga ujian. Septian, Yogi, dan keempat lainnya sudah sepakat akan membuatkan pesta kecil untuknya. Dirga dimanjakan sekali oleh keenam kakaknya.
"Bagaimana jika dengan terong ini?" tanya Septian dengan dua terong ungu yang ia bawa. Dirinya berniat membuat sambal terong. "Pasti enak," imbuhnya.
Tunggu dulu, kita belum menyaksikan bagaimana reaksi Yogi. Reaksi laki-laki itu menjadikan Septian mengembalikan dua sayur yang sebelumnya ia ambil. "Hanya kau yang menyukainya. Ini pesta untuk Dirga, bukan untukmu," tandasnya.
Aneh bukan? Septian adalah yang tertua, tapi jika sudah mendengar cebikan dari Yogi, pasti akan menciut dengan sendirinya. Mulut Yogi itu terlalu pedas jika diajak berdiskusi hal yang tidak masuk akal. Tapi Goldie tetap membutuhkannya, lumayan untuk menuntaskan ucapan-ucapan orang lain yang tidak menyukai kehadiran Goldie.
Keduanya melanjutkan langkahnya menyusuri para pedagang yang lain. Melirik kanan-kiri, melihat apakah ada bahan lain yang cocok dimasak untuk pesta kecil mereka. Sampai Yogi tiba-tiba berhenti disalah satu penjual ikan pari, Septian yang dibelakangnya pun menabrak punggung Yogi.
"Ada apa? Kau ingin memasak ikan pari?" tanya Septian
Yogi menampilkan wajah datarnya menatap temannya itu. "Tidak," jedanya sembari menarik nafas. "Aku lelah berjalan," rintihnya.
"Tidak, ayo jalan lagi. Kita belum mendapatkan bahan untuk menu utamanya," ajak Septian seraya mendorong punggung Yogi.
"Maka dari itu, kita bahkan tidak tahu apa yang akan dimasak. Sedari tadi kita hanya memutari seisi pasar," sungut Yogi.
Septian maupun Yogi terdiam. Kedua hazel Septian melihat ke banyak arah untuk membantunya mencari ide. Tak lama, laki-laki berjaket coklat itu menemukan satu ide masakan untuk mereka masak. "Kalau begitubegitu, kita buat ayam bakar saja,"
Boleh tidak sih Yogi memaki seseorang yang lebih tua darinya? Iya, Yogi tahu itu perbuatan tidak baik dan berdosa. Tapi jika seseorang yang lebih tua ternyata seperti Septian ini, tidak bisakah dosanya dibagi dua? Yogi mendapat setengah dari dosanya, dan Septian juga mendapat setengah dari dosanya.
"Kalau berujung akan membuat ayam bakar, sudah berapa banyak penjual ayam yang tadi kau tolak?!" pekik Yogi.
Yang ditangkap kedua netranya, Septian hanya tertawa lirih—terkesan cengengesan. Jangan sampai diam-diam Yogi merencanakan pembunuhan melalui racun. Seperti film yang ditontonnya belakangan ini. Atau mungkin mendorong Septian di tangga apartemen, hingga laki-laki itu menggelinding sampai lantai bawah. Sayangnya, Yogi terlalu malas melakukan hal itu semua.
Langkah Yogi dan Septian kali ini harus terpisah. Septian yang akan membeli daging ayam, dan Yogi yang akan mencari bumbu yang akan digunakan untuk membuat ayam bakar, sekaligus mencari arang untuk pembakarannya. Itu semua ide Yogi untuk menyingkat waktu. Karena saat ini sudah terlalu siang untuk dikatakan pagi.
Tepat jam sebelas kurang sepuluh menit, keduanya bertemu dipintu utama pasar. Setelah dirasa semua keperluan tak ada yang kurang, mereka langsung pulang menuju apartemen dengan angkutan umum. Jika dilihat banyak orang karena laki-laki membawa banyak belanjaan, itu tidak menjadi beban untuk Septian maupun Yogi. Memangnya kenapa jika laki-laki berbelanja di pasar tradisional? Kecuali jika mereka membawa semua belanjaan ini dari hasil mencuri. Akan membuang banyak tenaga jika meladeni itu semua.
-
-
-
"Ma, Dirga berangkat dulu,"
Tepat jam tujuh pagi di hari terakhir ujiannya, Dirga pamit pada sang ibu dan mengabaikan sang kakak yang masih mengumpulkan nyawanya. Ibunya mengikuti Dirga hingga garasi, menunggu sampai Dirga benar-benar berangkat. Hingga presensi itu benar-benar hilang, barulah ibunya akan masuk ke dalam rumah. Sayangnya tangannya lebih dulu dicekal oleh orang, reflek wanita itu menoleh.
Sebenarnya terkejut, namun hanya sebentar, lantaran yang mencekal tangannya adalah salah satu saksi hidup yang melihat kejadian dua belas tahun lalu saat Dirga ulang tahun. "Septian," panggil ibunda Dirga.
Septian tersenyum sembari menyapa wanita itu, lantas dipersilakan untuk masuk. Lagi-lagi ibunya dikejutkan melihat putri pertamanya tertidur di sofa ruang tamu. Entah sejak kapan gadis itu berpindah. Mungkin bagi ibunya itu hal yang sedikit memalukan jika dilihat tamu, tapi bagi Septian itu adalah hal menggemaskan.
"Tidak apa-apa, tante. Tidak usah dibangunkan," pintanya saat melihat Dinda tengah dibangunkan oleh ibunya.
"Malu jika dilihat," sahut wanita itu.
"Tidak, kok," jedanya memperhatikan Dinda yang tertidur pulas. "Kasihan jika dibangunkan," tambahnya.
Septian menjelaskan maksud tujuannya ke rumah Dirga. Ia dan keenam lainnya akan mengadakan acara kecil-kecilan, hanya sekedar membantu Dirga melepaskan penatnya karena belajar sejak beberapa hari lalu. Saat ini dirinya juga tidak akan mampir terlalu lama, karena harus membantu Yogi mempersiapkan semua.
"Kenapa tidak memasak disini saja?" tanya ibunda Dirga.
Sebenarnya juga ingin memasak di sini, tapi mengingat bagaimana perilaku teman-temannya, Septian jadi ragu. Alih-alih ingin membuat pesta, malah menjadikan petaka. Maka, memilih memasak di apartemen, adalah pilihan yang benar. Jadi, nanti di rumah ini hanya akan meminjam peralatan makan saja, agar tidak terlalu menyusahkan.
Ibunya tersenyum hangat, membayangkan Dirga dikelilingi banyak orang yang menyayanginya. Tanpa sadar, sudah ada genangan yang menghiasi pelupuk matanya. Yang diinginkan sang ibu, Dirga sehat selalu. Agar ia bisa mengejar satu persatu semua keinginannya. Apapun yang membuatnya bahagia, ibunya selalu akan ada dibelakangnya.
Sepertinya ada baiknya jika mengundang Chika datang. Ya, sekalian saja membantu keenam teman-teman Dirga mempersiapkan semuanya. Secara Chika adalah kekasih Dirga. Pasti akan seru. Paruh baya itu berjalan menuju kamarnya, mengambil ponsel, mencari nama Chika dikontaknya. Meskipun ini masih terbilang pagi, Chika pasti sudah bangun dari tidurnya.
"Halo sayang, nanti datang ya ke rumah," ucapnya pada Chika yang sudah terhubung dengan panggilannya. Mendengar persetujuan dari Chika, cepat-cepat dirinya pergi untuk membersihkan diri—mandi. Chika akan datang sedikit lebih awal sebelum teman-teman Dirga datang.
Di tiga tempat yang berbeda, semua orang sedang menjalankan aktifitasnya yang akan berakhir di rumah Dirga. Chika yang tengah mempersiapkan diri untuk datang ke rumah sang kekasih, Dirga yang masih bertarung dengan soal-soal ujian dihari terakhir, serta para anggota Goldie yang sedang mempersiapkan semua makanan untuk acara nanti. Semua orang sedang sibuk.
Mungkin saat ini Chika sudah dalam perjalanan menuju rumah Dirga. Gadis itu akan membantu ibu dari kekasihnya menyiapkan peralatan makan. "Kenapa cuma peralatannya? Mama tidak memasak?" tanya Chika.
"Tidak, sayang. Makanannya nanti yang sudah jadi, kok," tuturnya yang dibalas anggukan oleh Chika.
Tanpa dirasa, waktu begitu cepat berlalu. Saat ini sudah pukul sembilan. Septian dan kelima temannya sudah mempersiapkan semua yang dibutuhkan. Bahkan Septian sampai meminjam mobil ayahnya untuk membawa itu semua.
Sesampainya di rumah Dirga, dua dari mereka dikejutkan karena adanya Chika disana. Jamal dan Tomi. "Wah, ada Red Jelly ternyata disini," ucap Jamal.
Chika yang memperhatikan seluruh teman Dirga sedikit bingung. Kenapa ibunda Dirga tidak mengatakan apapun tentang teman-teman Dirga.
"Kau tidak berniat mengajaknya berkencan, bukan?" tanya Yogi.
Jujur, Chika sedikit takut dengan presensi ini. Wajahnya terlihat sedikit garang saat bertanya tadi. Tentu saja Chika akan menggeleng jika diberi wajah garang seperti itu. Kan mengerikan.
"Baguslah, kau nanti hubungi Dirga saja suruh dia pulang, karena kau sedang berada di rumahnya," titah Yogi untuk Chika. Chika hanya dapat mengangguk lagi.
"Berkatalah sedikit lembut, kau menakutinya," sahut Septian.
Sembari menunggu, buru-buru mereka menyelesaikan semua sebelum waktunya kurang. Urusan makanan, tentu akan menjadi tanggung jawab Septian dan Yogi, untuk urusan membereskan barang-barang lainnya, itu urusan keempat sisanya.
Jika kalian masih bertanya Dinda bagaimana? Dia sudah dibangunkan oleh ibunya. Mustahil jika ibunya membiarkan Dinda dilihat banyak laki-laki seperti itu. Dinda juga ikut membantu, kok.
Oh iya, untuk rencana menjemput Dirga, itu dibatalkan. Tadi pagi, Septian melihat Dirga membawa motor sendiri. Akan terasa lucu jika yang dijemput membawa motor sedangkan penjemput membawa mobil berjalan beriringan.
Nanda melirik jam ditangannya, sembilan lebih tiga puluh lima menit. Pasti Dirga sudah pulang. Chika sudah mengirimkan pesan untuk Dirga. Semua orang hanya perlu menunggunya di ruang tamu.
Hampir dua puluh menit lamanya, terdengar suara motor baru saja dimatikan. Yang mereka yakini adalah milik Dirga. Terlihat presensi yang masih berseragam itu menenteng helm masuk ke dalam rumah. Wajahnya juga terlihat seperti orang yang tidak ingin ditangkap karena kesalahannya.
"Duduklah, untuk apa kau berdiri disana?" adalah Jamal yang bersuara. "Kami datang ke sini untuk menjemputmu kembali ke apartemen," imbuhnya. Ini skenario yang tak direncanakan sama sekali. Keluar begitu saja dari bibir Jamal.
Netra Dirga menangkap raut wajah Chika yang terdiam. Pikirnya, Chika pasti tak bisa melakukan apapun jika keenam temannya datang. Dia tak punya hak atas Dirga jika sudah menyangkut karir.
"Tapi, waktuku masih ada besok,"
"Kalian semua membuang waktu saja," sahut Dinda tiba-tiba. "Mereka datang kemari untuk merayakan ulang tahunmu yang sudah terlewat tahun lalu," sambungnya pada Dirga.
Jika kalian bisa lihat, Tomi mati-matian menahan tawanya. Sudut bibirnya susah sekali untuk dikontrol. Gagal sudah rencana ini karena lelucon Dinda. Setelah melewati drama tidak jelas ini, Dirga paham maksud dan tujuan teman-temannya berkumpul. Tentu saja, untuk menghiburnya. Membantu menghilangkan beban pikiran setelah melewati masa ujian.