"Apa yang baru saja kamu katakan benar? Kamu mematahkan tangan Lika?" Wiga menganggukkan kepalanya pelan, berbohongpun percuma. Wiga tidak ada prinsip apapun untuk membohongi Sana.
Lagipun Sana sedang sakit, mengatakan kebohongan jika Wiga tidak mematahkannya pun terdengar sangat percuma jika mengingatnya.
"Iya, aku mematahkannya. Sejujurnya aku berniat untuk memutuskannya, berhubung Aldi datang terlalu cepat Wiga gagal melakukannya," jawab Wiga membuat Sana menelan ludahnya sukar. "Bagaimana keadaanmu? Apa sudah baik-baik saja?" tanya Wiga melihat tangan berbalut perban milik tunangannya yang terpasang rapi sejak kemarin. "Masih seperti ini,"
Wiga menghela nafasnya berat, jujur sekali dia sangat ketakutan saat dady Sana mengatakan untuk menjauhkan Sana darinya. Pikirannya kalap dan melupakan segalanya, jujur saja.