Kami bangun pagi sekali, Mbak Nia, Leo, dan aku. Segala persiapan Mama Papa untuk berangkat ke tanah suci sudah tertata rapi.
"Mbak, siapa yang masakin kita nanti?" tanyaku pada Mbak Nia, anak tertua Papa Mama.
"Ya nanti kita gantian masak, dek," jawab Mbak Nia sembari membetulkan posisi kerudungnya di depan kaca.
"Atau.. kita bisa beli bakso.. atau beli ayam goreng.. atau.. pesen catering.." Aku berusaha mengingat semua makanan kesukaanku.
"Atau.. uang bulananmu akan cepet habis trus kamu kelaperan.. trus mati.. haha.." Mbak Nia menggodaku dengan sedikit keras namun aku pun tertawa mendengarnya.
"Tenang dek, kan ada Mak Cik. Mak Cik datang pagi, masakin anak-anak dulu nanti."
Bahuku ditepuk dari belakang oleh Mak Cik, pembantu rumah kami yang sudah bekerja sejak Mbak Nia masih kecil. Mak Cik lama menetap di Malaysia di masa mudanya, kemudian kembali ke Indonesia dan bekerja di rumah kami hingga kini usianya sekitar 50 tahun.
"Mak Cik tinggal di rumah ya, anak-anak ikut ngantar Mama Papa ke yayasan. Setelah prosesi pelepasan, kita mungkin akan ikut ke asrama haji. Jadi, sore kita sudah di rumah lagi kok." Tutur Mbak Nia pada Mak Cik.
Aku ijin tidak masuk sekolah di hari itu. Namun karena lelah, aku tidak ingat untuk mengirim pesan pada Mas Doni. Begitu sibuk sedari pagi dengan urusan keluarga, aku pun abai dengan ponselku.
***
Tiba kembali di rumah, setelah mengantarkan Mama Papa menuju asrama haji. Aku segera membersihkan diri dan mengambil piring untuk makan malam. Mbak Nia nampak menggendong Leo yang tertidur di mobil dalam perjalanan pulang. Perjalanan yang panjang dan melelahkan.
Aku merebahkan diri di kasur dengan sprei yang baru diganti oleh Mak Cik. Beberapa detik aku memejamkan mata, aku seketika terjaga dan tersadar. Mas Doni pasti mencariku, batinku.
Ku buka ponsel usangku, kudapati puluhan missed call dan beberapa pesan masuk, kesemuanya dari Mas Doni. Segera aku mengirim pesan padanya tanpa sempat membaca pesan masuknya terlebih dahulu.
SAYANG, MAAF. MIKA HABIS NGANTER MAMA PAPA SEHARIAN. INI BARU NYAMPE RUMAH. TELPON MIKA SEKARANG.
-Message Sent-
Kantukku hilang. Menit berlalu. Aku tetap terjaga hingga larut menunggu Mas Doni meneleponku. Berulang kali aku menatap layar ponsel. Gelisah pikiranku. Tak biasanya Mas Doni begitu lama membalas pesanku.
Sekali lagi aku mengirim pesan padanya. Berharap pesanku kali ini segera dibaca dan mendapat balasan.
SAYANG, MARAH KAH?
-Message Sent-
Tetap tak ada balasan. Aku tertidur lalu sebentar terbangun. Samar ku tatap layar ponsel. Pukul 1 malam, Mas Doni membalas pesanku.
SAYANG ISTIRAHAT AJA. AKU JEMPUT SEKOLAH YA. NITE LUV.
***
"Mikaaa... jemputanmu dataangg!" seru Mbak Nia memanggilku.
Aku berjalan menuju meja makan, dimana Mbak Nia dan Leo sedang sarapan hasil masakan Mak Cik. Hari pertama tanpa Mama Papa di rumah.
"Berangkat duluan ya Mbak..." Aku mencium pipi Mbak Nia dan mengusap rambut Leo.
"Tumben pagi banget, Mik."
"Tauk tuh, ojeknya lagi rajin."
Aku tertatih, berjalan sembari mengenakan sepatu hitamku yang kumal. Ku raih jaket jins ku yang juga kumal karena jarang dicuci. Rambut ku mulai memanjang sejak seleksi Paskibra beberapa bulan lalu. Tak sempat aku mengikatnya, hanya karet rambut milik Mbak Nia aku masukkan ke dalam saku seragamku. Segera ku sambut Mas Doni yang menungguku di kursi teras.
"Mas, maaf kemarin seharian gak ngabarin."
"Gak papa, santai aja. Ayo naik!"
"Mas, gak enak banget berangkat sekolah tapi gak pamitan ke Mama Papa."
"Tapi kan ada kakak dan adikmu, sayang. Sama aja toh."
"Ya tapi beda. Baru sehari, aku udah kangen sama Mama."
"Bisa telepon gak ke Mama?"
"Kata Mama, biar nunggu Mama aja yang telpon duluan kalo sudah nyampe di bandara King Abdul Aziz. Karena rangkaian acaranya bagaimana, Mama belum jelas."
"Ya udah berdoa aja, semoga perjalanannya lancar."
"Aku kangen Mama Papa, sayang..." ucapku lirih dengan menyandarkan kepalaku pada punggung Mas Doni.
Mas Doni menggenggam tanganku erat, meletakkan di pahanya. Tangan kanannya tetap memegang kemudi motor.
"Aku bakalan sering telpon kamu, sayang."
***
Di sekolah, aku sama sekali tidak bersemangat. Mas Doni terus menemaniku di bangku tempat dudukku sepanjang jam istirahat, dengan sementara mengusir June. Bahkan semangkok soto panas turut hadir menghibur kesedihanku hari itu. Soto panas yang mulai mendingin kuahnya.
"Aku suapin, ayo."
Aku menggeleng, menolak tangan Mas Doni yang memegang sesendok nasi soto. Rasanya aku hanya ingin makan masakan Mama. Tak ku pedulikan tingkah Mas Doni yang menggerakkan tangannya menyerupai laju pesawat, seolah sedang menyuapi bocah kecil.
"Ngeengg... Pesawat dataanggg... Aaakk.. Buka dulu mulutnya.."
Aku menoleh sejenak melihat upaya Mas Doni menghiburku. Akhirnya aku paksakan untuk memakan beberapa suapan nasi soto darinya. Hingga bel berbunyi tanda jam istirahat usai.
***
"Doni. Aku boleh pinjam catatan fisika mu, gak? Punyaku kurang lengkap."
"Wah, gak bawa deh. Di tas gak ada. Nanti aku anterin ke rumahmu gimana?"
"Boleh deh. Jam berapa ke rumah?"
"Segera. Aku anterin Mika pulang dulu. Terus aku ambil bukunya di rumah. Habis itu meluncur ke tempatmu."
"Ooh, gak bisa langsung aku ambil ke rumahmu aja? Aku buru-buru bimbel soalnya."
"Trus Mika gimana? Aku harus anterin dia dulu."
"Ya udah deh gak jadi. Aku pinjam temen lainnya aja kalo gitu."
***
Aku diam terpaku, berjarak beberapa meter dari Mas Doni dan teman perempuannya berbincang. Aku mengenalnya. Dan aku membencinya. Vivi, sang penggoda.
"Don.. Vivi tambah lama.. tambah cantik aja.. body nya... uhuy!"
Ku lihat Boy menepuk bahu Mas Doni setelah Vivi berlalu. Siswa lain berhamburan, beberapa menuju gerbang, dan yang lainnya memenuhi parkiran motor. Masing-masing ingin segera pulang ke rumah. Tapi tidak denganku. Tak ada yang akan menyambutku dari pulang sekolah hari ini.
"Gak pingin deketin Vivi lagi, Don?"
Boy terus saja berbicara pada Mas Doni. Namun Mas Doni hanya diam tak menanggapi. Mereka berdua berdiri tepat di depan pintu lab fisika, dan aku tetap diam di tempatku semula. Aku begitu jelas mendengar percakapan mereka.
"Don, iseng aja dulu kamu deketin Vivi lagi. Buat seru-seruan aja."
"Sialan kamu. Terus Mika gimana?"
"Kan seru-seruan aja. Deketin lagi."
"Iya, Vivi bibirnya semakin merah ku lihat."
"Makanya itu, Don. Siapa tau dapet Vivi beneran kamu. Oke nggak sih?"
"Vivi lebih bohay juga daripada Mika."
"Betul kamu, Don. Mumpung ada kesempatan. Hajar aja!"
"Dia tadi mau pinjam buku ku, sih. Mau ke rumahku katanya. Trus Mika gimana dong?"
"Gimana kalo aku aja yang anter Mika pulang?"
"OK. Aku sama Vivi ke rumahku dulu kalo gitu, ya?"
"Aku susulin Mika aja ke kelasnya. Kamu buruan cabut biar gak ketauan dia."
Tak terasa mataku mulai berlinangan airmata. Sebelum menetes, aku seka terlebih dahulu agar tak ada yang melihatku menangis. Aku langkahkan kaki mendekati Mas Doni dan Boy.
"Mas..," sapaku dari arah belakang Mas Doni.
Tanganku terkepal karena menahan marah. Aku menarik tali tas Mas Doni agar menjauhi Boy. Dengan kebingungan melihatku, Mas Doni hanya mampu pasrah.
"Loh, Sayang. Aku pikir kelas kamu belum selesai. Kok... udah..."
"Kita... Putus..!"
***