Matahari menampak sinarnya, burung-burung cerek berterbangan di atas permukaan laut nan jernih, Desiran ombak menemani suasana sunyi pantai. Kaki mungil tak beralas berjalan diatas pasir putih, sesekali kaki itu menendang pasir, menghilangkan rasa bosannya. Manik hitam nya menatap lurus kedepan menatap beberapa kapal angkatan laut yang tengah berpatroli. Bibir nya mungil nya Bergumam, kapal itu seakan di lindungi oleh burung-burung cerek yang berterbangan di sekitarnya.
Tanpa dia sadari, dirinya mengabadikan momen tersebut melalui ponsel nya. Kapal dengan latar laut dan burung-burung cerek. Benar-benar sungguh indah di pandang.
Surai hitam Textured fringe di usap oleh seseorang dari arah belakang. dia menoleh dengan cepat, takut jika orang itu berniat jahat terhadap dirinya. Namun nyatanya, dia justru menemukan senyuman ramah dari sosok lelaki remaja, senyuman yang sangat ia yakini tidak mengancam nyawanya.
"Kenapa bocah seperti mu berkeliaran di sini?", tanya lelaki remaja itu dengan nada tegasnya. Manik hitamnya memandang lurus ke arah bocah di hadapannya.
Bocah itu mengernyit dahinya, " Memang nya kenapa? Apa tidak boleh? ",sahut bocah itu heran.
Tangan lelaki remaja itu terangkat, jari-jari nya mendekat kearah jidat bocah dihadapan nya dan menyentil jidat bocah tersebut cukup keras. Bahkan jidat bocah itu sedikit memerah.
Bocah itu menekuk bibir nya, manik hitam nya menatap galak kearah lelaki remaja di hadapan nya. Lelaki remaja itu justru tersenyum puas, tak ada rasa bersalah sama sekali.
Tangan nya mengusap sayang jidatnya yang memerah akibat mendapatkan serangan dadakan, " Sakit tau " omel nya.
Lelaki remaja itu menghilangkan senyuman nya, tangan nya kini beralih merogok saku celana hitam nya. Menyerahkan sebungkus permen kepada bocah di hadapan nya. Bocah itu terdiam, alisnya menekuk kebingungan dengan tingkah lelaki remaja tersebut.
Menghela nafas, tangan nya mulai sibuk membuka bungkus permen tersebut dan langsung memaksa bocah itu memakannya. Bocah itu terdiam, mengecap rasa permen yang ternyata memiliki rasa asam. Kedua matanya terpejam, dahinya mengerut tak suka dengan rasa asam dari permen tersebut.
" Aku ingin seperti mereka "
Tiba-tiba saja lelaki itu bersuara, manik hitam nya menatap lekat-lekat beberapa kapal yang tengah berlayar di atas laut. Ia dapat melihat ekpresi wajah kagum dari lelaki remaja di hadapan nya.
" Kenapa? ", sahut bocah itu penasaran.
" Ya, aku ingin mencoba menjaga keamanan wilayah laut Indonesia, seperti nya itu sangat menyenangkan ", jawabnya dengan nada santai nya. Tak tau jika bocah di hadapan nya itu merasa tidak suka dengan perkataan nya.
" Jadi kau pikir menjadi seorang tentara itu menyenangkan? tentu saja tidak. Karena kau akan jarang bertemu dengan keluargamu, bahkan keluarga mu tak kan tau apakah kau akan datang dengan selamat atau tidak! "
Bocah itu menjelaskan kepada lelaki di hadapan nya betapa tidak menyenangkan nya menjadi seorang tentara.
Namun, respon yang dia dapat kan jauh dari pemikiran nya. Lelaki itu malah tersenyum tanpa membalas perkataan nya. Senyuman yang mengingatkan dirinya pada seseorang yang dulu menemani masa kecilnya. Tanpa sadar dia justru menangis, dia tau jika dirinya tak memiliki hak untuk melarang lelaki remaja di hadapan nya.
" Eh, kenapa kamu menangis.? "heran lelaki di hadapan nya.
Bocah itu mengusap kasar air mata nya, diaa hanya diam tak menjawab pertanyaan dari lelaki di hadapan nya. Bocah itu berbalik, meninggalkan sosok lelaki remaja yang diam menatap punggung kecilnya yang perlahan menghilang dari pandangan nya. Lelaki itu tersenyum, manik hitam nya memandang langit yang sedikit tertutupi oleh awan.
Perlahan tubuh nya terbaring di atas pasir putih, Surai hitam Buzz cut sedikit kotor terkena pasir.
***
Abbiyya tengah memainkan jari-jari nya, pikirannya masih melayang kejadian pertemuan nya dengan sosok Nathan. Tak disangka sudah lama mereka tak bertemu dan akhirnya dipertemukan kembali di rumah sakit. Rasanya sangat canggung, dia tak berani untuk mengobrol banyak dengan Nathan. Mungkin dulu saat dirinya masih bocah , Nathan tak memiliki aura mengerikan seperti sekarang.
Kepalanya dia gelengkan dengan cepat, tangan nya memukul pelan sisi kepalanya berusaha menghilangkan wajah Nathan yang terbayang-bayang dipikirannya. Mengingat wajah Nathan yang kaku dengan mata tajam bak elang membuat seluruh tubuh Abbiyya merinding ketakutan.
Dr Emma baru saja bergabung dengan nya, duduk di seberangnya sambil membawa kotak bekal yang ia bawa dari rumah.
" Apa yang sedang kau pikirkan, Abbiyya? "
Abbiyya mengalihkan perhatian nya, menatap wajah Emma yang nampak sekali penasaran dengan tingkahnya barusan. Jari-jari mengetuk meja makan kantin dengan pelan. Manik hitamnya menatap kanan-kiri memastikan jika hanya mereka berdua saat ini.
" Aku bertemu dengan kak Nathan barusan "
Sontak Emma tersedak jus nya saking terkejut mendengar perkataan Abbiyya barusan. dia masih ingat dengan pria yang bernama Nathan. Dulu Nathan sering berkunjung saat Abbiyya masih kuliah kedokteran.
Manik hitam nya melotot, meminta penjelasan kepada sang narasumber. Abbiyya yang ditatap oleh Emma hanya bisa mendengus geli.
" Dia menjenguk salah satu pasien ku, kalau tidak salah namanya Intan. Katanya sih Intan itu rekan nya "
" Intan? Maksudmu Intan Pratama? Gadis songong itu ada di sini? "
" yak, yang kau sebut songong itu adalah pasienku! " " Tapi, kau mengenali si Intan? "
Emma menggebrak meja nya dengan kasar, dia lalu memasang wajah serius saat ini. Abbiyya hanya diam, menunggu kisah dari wanita dihadapannya. Emma beberapa kali menghela nafas lelah, sesekali dia meminum jus nya kembali. Katanya sih melakukan persiapan untuk bercerita.
Abbiyya sabar menunggu Emma yang masih melakukan persiapan yang entah mengapa menurut Abbiyya, Emma sengaja mengulur waktu. Saat dia mengalihkan pandangannya, rupanya ada dua tentara yang duduk di dekat mereka. Pantas saja Emma berusaha mengulur waktu dengan alasan melakukan persiapan.
Abbiyya mengenali dua tentara tersebut, mereka berdua rekan Gunthur Admiral Nathan. Abbiyya bisa menebak karena saat melakukan operasi yang ternyata seorang tentara, Mereka berada di depan ruang operasi.
Rumah Sakit Swasta Harapan sudah lama bekerja sama dengan Rumah Sakit militer. Mereka akan melayani mereka jika Rumah Sakit Militer kepenuhan pasien. Bisa dibilang Rumah Sakit Swatsa Harapan menjadi bagian Rumah Sakit Militer. Maklum saja, pengelola Rumah Sakit Swasta Harapan kan mempunyai suami tentara.
Biasanya pengelola Rumah Sakit akan datang kemari seminggu sekali untuk mengecek keadaan dirumah sakit. Sisanya, diserahkan kepada orang-orang kepercayaan nya.
" Emma, jangan bertingkah seperti itu. Kau kan dokter psikiater. Apa jadinya jika pasien mu melihat tingkah konyol mu itu? "
Emma cemberut, walau umurnya lebih tua dibandingkan dengan Abbiyya namun dirinya malah tak bisa bersikap dewasa seperti Abbiyya. Mungkin karena Abbiyya selalu mandiri?. Mungkin saja bukan.
Abbiyya bangkit dari kursinya, membawa mug yang berisikan teh hangat yang mulai dingin.
" Aku harus pulang, tugasku sudah selesaikan? "
" Ya, baiklah. Hati-hati dijalan "
Seharunya saat ini dia pulang kerumah, namun saat ingin menuju ketempat parkir tangannya diseret memasuki mobil yang sangat asing baginya.
Saat melihat si pelaku, rupanya Nathan yang menariknya dan membawanya ke sebuah Cafe. Kalau tidak salah nama Cafe nya adalah Sweet. Nama yang begitu manis.
Para pelayan yang ada di Cafe sangat tampan, mereka mempunyai karismanya masing-masing. Membuat para gadis remaja maupun wanita betah untuk berlama-lama berada di Cafe. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 22:00 malam. Tetap saja Cafe ini masih ramai pengunjung.
Pastry pesanan Abbiyya dan Cappuccino pesanan Nathan telah tersaji di meja makan. Pria berwajah manis dengan warna rambut yang terbilang cukup unik mengantar pesanan mereka. Senyuman lebar masih terpasang di wajah manisnya.
Abbiyya meringis ngeri melihat senyuman manis dari pria di sampingnya. Nathan yang melihat sahabatnya langsung menegur pria manis tersebut.
" kau menakuti nya "
Pria manis itu seketika menghilangkan senyuman lebarnya, digantikan dengan kekehan kecil yang keluar dari mulutnya. Sifat jahilnya kambuh lagi rupanya. Nathan yang memang sudah tau tingkah nya itu hanya bisa menghela nafas.
" Lama tidak bertemu kak Nathan, bagaimana kabar kak Satria? Apa iblis itu masih hidup atau sudah.... "
".... yang kau sebut iblis itu kakak mu loh. "
" Abbiyya, kenalkan. Dia Dewa Eka Prayoga adik Serda Satria Prayoga sekaligus pemilik cafe ini "
Abbiyya menganggukan kepalanya,
" Ku kira cafe ini pemiliknya seorang wanita. Habisnya nama cafenya begitu manis di dengar "
Dewa tersenyum konyol di hadapan Abbiyya juga Nathan. Tangan nya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal pelan. Sebenarnya dirinya menamai cafe dengan asal-asalan karena saat itu sang kakak tak mau membantu nya.
Dewa benar-benar tak menyukai sifat kakaknya yang selalu bersikap tak perduli pada dirinya. Nathan selalu mengingatkan jika Satria masih memperdulikan Dewa. Namun namanya juga Dewa yang memiliki sifat keras kepala akut membuat Nathan jadi kalah debat. Sedangkan Abbiyya hanya menyimak perdebatan mereka berdua. Berharap waktu cepat berlalu.
***
Kirana keluar dari mobil hitam milik Abbiyya. Kaki kecilnya berlari menuju tepi pantai, berlari menjauhi ombak jika datang dan mendekat jika ombak mulai mundur kebelakang. Pak Arul tersenyum senang melihat tingkah Kirana yang begitu menggemaskan, ia mempotret momen tersebut menggunakan ponsel pemberian dari Abbiyya.
Abbiyya bersandar di mobil hitamnya, memandang pak Arul dan juga Kirana yang tengah bermain pasir. Menumpukkan pasir putih menjadi sebuah gunung pasir.
Pikirannya kembali melayang kejadian masa lalunya. Awal pertemuannya dengan sosok Gunthur Admiral Nathan yang dulunya masih berpangkat Sertu. Dulu dirinya suka merenung di pantai ini, menatap kapal-kapal yang menghiasi lautan. Berharap rasa rindunya dengan sosok ayah nya terobati.
" Papa, ayo kesini ~" teriakkan ceria dari Kirana membuat Abbiyya kembali kesadarannya.
Kakinya melangkah menuju Pak Arul dan juga Kirana yang masih sibuk menumpukkan pasir setinggi mungkin. Ia lalu duduk tak jauh dari kirana, pandangannya menuju kedepan. Kehamparan luasnya lautan.
" Kau merindukan ayah mu? " tanya Pak Arul yang kini duduk di samping cucunya tersebut. Manik hitamnya juga ikut memandang hamparan laut.
Abbiyya menganggukan kepalanya pelan. Jujur, ia tak bisa melupakan sosok papanya yang sudah meninggalkannya terlebih dahulu. Padahal saat itu Abbiyya masih duduk dibangku SD.
Berita kematian papanya membuat ibu nya menjadi depresi. Tanpa sosok papanya, mamanya sangat lemah. Apalagi saat itu mamanya tengah mengandung dan akhirnya keguguran akibat tidak memperhatikan kandungannya.
Abbiyaa semakin terpukul saat dirinya tengah melakukan persiapan Ujian, mamanya justru meninggalkan nya. Menyusul sang papa yang terlebih dahulu meninggalkannya. Saat itulah Abbiyya akhirnya tinggal bersama dengan kakeknya.
" Kakek, terima kasih sudah membesarkan Abbiyya hingga sekarang." Kata sederhana namun memiliki makna yang begitu dalam bagi Pak Arul.
" Terima kasih juga sudah menjaga kakek "
Abbiyya menganggukan kepalanya. dia lalu memandang pak Arul yang rupanya menangis dalam diam, tanpa suara isakkan.
Abbiyya selalu berdoa agar sang kakek selalu memiliki umur panjang. Kalau bisa sampai Kirana sudah besar dan menjadi anak yang membanggakan mereka.
" Papa~, Kakek ~, kenapa Kirana malah main pasir sendiri sih "
Kirana nampaknya kesepian main sendiri. Abbiyya dan juga Pak Arul tersenyum melihat tingkah Kirana yang kini menatap mereka berdua. Berjalan kearah Kirana dan melanjutkan cara tumpuk-menumpuk pasir.
Tak terasa, mereka sudah bermain di pantai selama sejam. Pak Arul mengajak Abbiyya dan juga Kirana untuk mengunjungi rumah lama nya yang dekat dengan pantai.
Rumah sederhana yang memiliki halam kecil, dua kamar tidur serta dapur kecil.
Kirana duduk di kursi kayu, menatap beberapa foto yang terpajang di dinding kayu. Foto papa nya dengan dua orang dewasa, yang satunya gagah, yang satu nya lagi cantik menawan.
" Papa, mereka siapa? " tanya Kirana penasaran.
Abbiyya yang sudah duduk di samping kirana sambil membawa cemilan memandang salah satu foto yang ditunjul oleh kirana. Foto dirinya waktu SD bersama dengan kedua orangtua nya.
papanya begitu gagah dengan baju loreng serta baret ungu yang menghiasi kepala nya, sedangkan mamanya begitu cantik dengan baju hijau muda seragam ibu persit.
" Dia papa dan mama ku "
" Jadi mereka juga kakek dan nenek Kirana dong "
Abbiyya menganggukan kepalanya pelan. Mengelus surai hitam Kirana dengan senyuman menawan nya. Pak Arul yang baru saja dari kamar mandi mendengar percakapan mereka, manik hitamnya bisa melihat pancaran kesedihan dari manik Abbiyya.
Sinar jingga mulai lenyap, digantikan oleh gelapnya malam. Malam ini tak ada sinar rembulan maupun bintang yang menghiasi langit malam. Nampaknya malam ini akan turun hujan.
Abbiyya baru saja datang kerumah pak Arul dulu di dekat pantai sambil membawa sebungkus lilin dan beberapa cemilan. Biasanya jika musim hujan akan ada pemadaman, Berbeda dengan di kota.
Kirana membantu Abbiyya untuk membawakan sebungkus lilin dan juga beberapa cemilan untuk malam ini. Abbiyya mendudukan dirinya di kursi kayu diluar. Memandang langit malam yang memperlihatkan cahaya kilat.
" Eh, kukira tidak ada orang disini "
Abbiyya menoleh kesamping, rupanya salah satu tentara yang tengah berjaga di area pantai tengah berteduh di rumah mereka. Hujan cukup deras malam ini, membuat hawa dingin begitu terasa. Angin bertiup dengan kencang hingga membuat pohon-pohon yang berdiri kokoh bergoyang mengikuti irama angin malam.
Abbiyya menyuruh tentara tersebut untuk masuk kedalam rumah, menghangatkan diri menggunakan beberapa sarung dengan merek yang cukup terkenal. Lilin menyala di tengah meja ruang tamu. Secangkir teh hangat tersaji dihadapannya saat ini.
" Saya dapat tugas jaga malam ini, biasanya sih saya akan pergi ke pos jaga kalau hujan lebat begini. Ngumpul-ngumpul bersama rekan-rekan saya. "
" Emang om kerja jadi apa? " tanya kirana sambil memakan keripik singkong pembeliaan Abbiyya.
Pria berbaju loreng itu tersenyum, " Om kerja jadi tentara. Marinir kata orang, tugas Om jaga lautan agar tetap aman "
" He, Ternyata laut juga harus dijaga ya om? "
" iya,dong ! "
" Keren, kalau sudah besar. Kirana mau jadi tentara seperti Om " kata Kirana.
Abbiyya yang duduk di samping pria loreng itu hanya terdiam mendengar perkataan polos dari Kirana. Sama seperti dirinya dulu saat melihat sosok papanya. Sekarang dia justru memilih menjadi seorang dokter.
Tangan besar Abbiyya mengelus surai rambut Kirana lembut membuat Kirana tersenyum senang. " Papa, bolehkan jika Kirana jadi tentara? " kata Kirana yang kini menghampiri Abbiyya lalu memeluk Abbiyya.
Abbiyya membalas pelukkan kirana,
Tak membalas perkataan Kirana karena dirinya tahu jika Kirana hanya asal berbicara. Bukankah anak usia seperti Kirana suka bergonta-ganti cita-cita? Tapi, kita tidak akan tahu kedepannya bukan.
***
Kirana hanya bisa duduk diam dengan manik hitam menatap teman sekelasnya yang asik tengah berbincang. Bisa dibilang hanya kirana lah yang tidak memiliki teman di sekolah. Entahlah, Kirana juga tidak tahu alasan teman-temannya menjauhi dirinya. Namun akhir-akhir ini teman-temannya mengetahui jika dirinya bukanlah anak dari dokter jenius rumah sakit swasta harapan. Entah dapat dari mana info tersebut sehingga Kirana semakin dikucilkan. Apalagi saat orang-orang disekolah selalu membully nya.
Ingin rasanya dia teriak sekarang juga, menjawab perkataan kasar orang-orang yang selalu menjelek-jelekkan dirinya. Namun, Kirana hanyalah gadis kecil yang pendiam dan tidak memiliki nyali untuk melawan.
" Kirana, belikan kami minuman di kantin ya?"
Senyuman getir menghiasi wajah Kirana, dia menganggukan kepalanya tak dapat menolak. Jika menolak, sudah pasti akan terkena pukulan. Apalagi yang menyuruh nya saat ini adalah preman sekolah.
Sepanjang perjalanan menuju kantin, Kirana selalu menghela nafas berat. Naik turun tangga bukanlah sesuatu hal yang menyenangkan bagi nya. Apalagi membawa beberapa cangkir pesanan teman sekelasnya.
Langkahnya terhenti, manik hitam nya melihat sepatu hitam yang ada di hadapannya. Perlahan ia mendongak, sosok pria berbaju loreng dengan baret ungu kini berdiri di hadapannya.
Pria itu menatap kirana, kerutan di dahinya terlihat seperti mengingat-ingat sesuatu. Tiba-tiba saja pria itu menunjuk kirana.
" Kau Navy Kirana kan? Anak bocah itu? "
Kirana memiringkan kepalanya, kata bocah tak dipahami oleh kirana. Pria itu menepuk jidatnya, tentu gadis kecil dihadapannya tidak tau siapa si bocah yang ia maksud.
"Maksud Om, Navy Abbiyya dia ayahmu kan? "
"Iya" Jawab Kirana dengan raut wajah kebingungan, sekali lagi dia memastikan penampilan pria dihadapannya. " Om siapa? ".
" Ah, nama Om Gunthur Admiral Nathan, bisanya ayah mu memanggil Om dengan sebutan Kak Nathan. "
" Om kenal sama papa? Om temannya papa, ya? "
" iya, Om kenal dengan ayah mu. Hm.. Kami bisa dibilang sahabat baik "
" Keren~Ternyata papa Kirana mempunyai sahabat ya. Apalagi seorang tentara "
" Ngomong-ngomong kenapa banyak sekali kamu beli minuman "
" Oh, ini minuman teman-teman Kirana. Kirana gak beli minum "
Nathan mengernyit heran, apakah Kirana tak memiliki uang jajan karena Abbiyya terlalu sibuk?. Namun pertanyaan yang ada dipikiran terjawab saat mendengar teriakan salah satu murid di kelas yang tengah meneriakkan nama Kirana, menyuruh Kirana untuk secepatnya membawakan pesanan mereka.
Kirana pamit kepada Nathan, lekas-lekas ia melangkahkan kaki mungilnya masuk ke dalam kelas. Nathan sekilas menatap Kirana yang di marahi beberapa murid di dalam kelas melalui jendela lalu melanjutkan tujuannya menuju ruang guru.
" Duh, anak mama lama banget
sih " kata Bu Ifit saat melihat Nathan baru memasuki ruang guru. Membawakan tas selempangnya yang berisikan beberapa berkas penting.
Nathan hanya bisa meminta maaf atas keterlambatan nya. Lagi pula ia baru saja habis latihan di barak. Bu Ifit memaklumi kebiasaan anaknya, ia tahu jika pekerjaan anaknya sungguh berat.
***
Abbiyya baru saja sampai di tempat parkiran rumah sakit, hari ini dia harus bekerja. Tempat parkir rumah sakit bisa dibilang di bawah rumah sakit, semacam parkir bawah tanah. Di sana sudah disediakan fasilitas life agar para dokter tak perlu lagi kembali keluar untuk masuk ke rumah sakit.
Saat Abbiyya ingin memencet tombol life, manik hitamnya melihat beberapa orang mengenakan setelan jas hitam keluar dari mobil. Salah satu dari mereka beradu tatapan dengan Abbiyya hingga pintu lift tertutup sepenuh nya. Abbiyya bersandar, pikirannya terus memutar ulang kejadian barusan. Salah satu dari mereka menyeringai kearahnya, Seakan-akan ada sesuatu yang akan terjadi di rumah sakit nantinya.
Pintu lift terbuka, Abbiyya bergegas menuju kepala perawat. Meminta data pasien yang akan dia periksa. Tak lama Emma keluar dari ruangannya dan menghampiri Abbiyya.
Manik Emma tak sengaja melihat nama yang tertera di data pasien.
Intania Pratama, rupanya Abbiyya akan kembali memeriksa keadaan tentara wanita yang ada di rumah sakit harapan. Emma meminta data pasien nya kepada kepala perawat, melakukan hal yang sama seperti Abbiyya.
Abbiyya menoleh menatap Emma, " Ah, kau akan memeriksa pasien yang sama dengan ku ya " kata Abbiyya.
" He? " Emma nampak kebingungan, dia tak bisa fokus membaca data pasien.
Abbiyya memperlihatkan nama yang akan mereka periksa, rupanya Emma akan melakukan pemeriksaan mental.
" Karena dia korban tikaman, maka kau harus memeriksa mentalnya. Siapa tau saja ada gangguan kejiwaan " gumam Abbiyya.
Emma mendengus geli, " Dia dari lahir sudah gila, jadi buat apa melakukan pemeriksaan " omel Emma.
Abbiyya tidak tahu masalah Emma dengan Intan, namun mereka disini harus profesional. Menarik pergelangan tangan Emma, membawanya kelantai 4 dimana ruang pasien dirawat ada di lantai 4.
Pintu ruang pasien mereka geser sehingga mengalihkan perhatian penghuni ruang dengan nomor ruang 51. Wanita yang duduk di atas kasur itu tersenyum lebar menyambut kehadiran Emma dan juga Abbiyya.
" Oh, Emma~ lama tak berjumpa~ "
Emma menatap jijik Intan, apalagi dengan nada yang dibuat seperti di drama-drama kerajaan. Ck, kalau begini seharusnya dia menolak ajakan Abbiyya.
Abbiyya menggantikan infus Intan dengan yang baru, membuang infus kosong tersebut kekeranjang dorong yang mereka bawa.
" Aku kangen sama kamu, Emma " rengek Intan sambil merentangkan kedua tangannya, berharap Emma memeluknya saat ini.
Namun yang dia dapat justru malah pukulan di kepalanya. Merintih kesakitan lalu mendelik kesal kearah si pelaku pemukul. Rupanya Satria Prayoga pelaku pemukulan barusan.
" Eh, kenapa kamu memukul ku " teriak Intan sambil menunjuk wajah Satria yang hanya memandangnya dengan wajah datar.
" Padahalkan aku ingin mendapatkan pelukkan kasih sayang dari, neng Emma " lanjut intan.
Emma hanya diam di samping Abbiyya yang tengah sibuk memeriksa Intan. Tak ada niat untuk mendekati intan saat ini.
" kau sangat menjijikan, Intan " jawab Nathan judes.
Abbiyya baru sadar jika Nathan berada di ruang pasien. Tengah duduk sambil membaca sebuah buku yang entah buku apa itu.
" Aku setuju dengan perkataan nya, kau sangat menjijikan " kata Emma sambil menunjuk kearah intan. " Hilangkan sifat aneh mu itu, padahal kau seorang tentara. apa kau mesogok mereka? " tanya Emma.
" Astagfirullah, aku berusaha dengan kemampuan ku sendiri loh neng Emma " kata Intan sambil memajukan bibirnya.
Emma mengetuk-ngetuk bibir Intan menggunakan pulpen nya. " Kau harus banyak istirahat agar cepat-cepat enyah dari hadapan ku "
Intan malah memeluk Emma dengan erat membuat Emma memberontak dalam pelukannya. Intan justru malah memasang ekpresi wajah bahagia, apalagi mereka sudah lama tak bertemu.