"Dulu? Apa maksudnya?" tanya Ghirel.
Bunda menghela nafasnya kasar, dia terbawa emosi sehingga berbicara tentang sesuatu yang tidak seharusnya.
"Gak papa, bunda cuman kebawa emosi." kata Bunda sambil membuatkan anaknya teh hangat.
"Bunda menyembunyikan sesuatu?" tanya Ghirel. Gadis itu merasa ada sesuatu uang disembunyikan dari Afka dan Bundanya.
Bunda meletakkan teh hangat itu diatas meja lalu duduk disebelah Ghirel, "tidak. Baik Bunda maupun Afka tidak ada yang menyembunyikan sesuatu. Kamu sendiri yang menyembunyikannya Jie."
Ghirel semakin tidak mengerti, "aku? kenapa aku?"
Bunda hanya tersenyum, "suatu hari kakak akan tau dengan sendirinya. Tapi sebelum itu bunda mau kamu putus sama Afka."
"Kita sepakat bunda kasih waktu kakak satu bulan," kata Ghirel. Entah apa dirinya akan sanggup saat tenggat itu tiba untuk memutuskan hubungannya dengan Afka, yang jelas Ghirel ingin menikmati hari-harinya bersama laki-laki itu terlebih dahulu.
"Jie, jangan tersakiti lagi. Bunda mati-matian jagain kamu, hati bunda sakit waktu liat kamu luka karena seorang laki-laki," Bunda menasehati.
"Maaf Bunda," sesal Ghirel.
***
Keesokan harinya, Ghirel merasa gugup. Padahal dia tidak bersalah sedikitpun, sidang kasus akan dimulai pada jam istirahat setelah ulangan jam pertama. Hal ini membuat Ghirel semakin tidak nyaman. Banyak tatapan tidak enak dari anak-anak yang lainnya. Seperti tatapan kasihan, benci, bahkan jijik. Ghirel menghela nafasnya lesu, dia memilih menundukkan kepalanya sambil berjalan.
Sesampainya di kelas, Ghirel lebih memilih menemui Tzuwi di kelas sebelah daripada harus masuk di kelasnya.
"Juwiii, gue kangen."kata Ghirel sembari memeluk sahabatnya.
"Lo gugup kan?" tanya Tzuwi. Terlihat jelas di mata dan gerak-gerik Ghirel bahwa dia tengah gugup. Matanya menatap kosong dan gerak-geriknya jadi tak beraturan.
"Iya, banget malahan. Gimana gue ngerjain tesnya nanti kalau kepikiran terus?" Ghirel berpura-pura menangis.
"Udah santai aja, lo kan gak salah! Ada Afka juga yang bakal jagain lo sampai titik darah penghabisan," jelas Tzuwi.
"Gue jadi gak enak," Ghirel semakin lesu.
"Tegakin kepala lo, ini juga salah Afka karena asal terima cewek sesuka hatinya!" Tzuwi mencoba menguatkan Ghirel.
"Btw, Kristal emang gitu ya sifatnya?" tanya Ghirel.
Tzuwi berpikir sejenak,"yang gue tau sih dia terobsesi banget sama Afka. Dia gak main-main sama perasaannya buat Afka sampai bela-belain buat nyerang orang-orang yang Afka cinta."
"Kok gue baru tau dia ya," gumam Ghirel.
"Makannya bergaul dong sama yang lain, gibah kek sesekali sama anak kelas lain."tegur Tzuwi.
Ghirel tersenyum masam,"enggak deh. Gak mau nambah dosa, toh juga gak terlalu penting punya temen banyak tapi gak guna."
"Astaga anak polos ini," Tzuwi menepuk-nepuk kepala Ghirel layaknya seorang ibu kepada anaknya.
***
Dengan berat hati Ghirel duduk di kursi berwarna hitam yang terletak di tengah ruangan. Disampingnya terdapat Kristal yang duduk di kursi berwarna merah maroon dengan rahang angkuhnya. Ghirel semakin takut saat melihat Kristal yang begitu percaya diri.
Tentu saja Kristal percaya diri, orang tuanya adalah komite di sekolah ini. Sedangkan Ghirel? dia hanya anak seorang pekerja biasa yang bahkan Bunda tidak tau masalah ini ternyata tidak sesederhana itu.
Mata Ghirel menelisik mencari sosok Afka yang dinantikannya. Tidak mungkin bukan jika Afka akan meninggalkannya begitu saja? Tetapi Ghirel tidak bertemu Afka sejak pagi tadi. Apa Afka benar-benar meninggalkannya sendirian menghadapi masalah ini?
Apa yang harus Ghirel katakan kepada orang-orang penting itu? Mereka bahkan akan lebih mempercayai gadis di sampingnya daripada Ghirel.
Suara pintu terbuka, seseorang dengan jas hitam penuh wibawa masuk dengan langkah pasti. Orang-orang disana menyanjungnya dengan berlebihan. Bahkan ada yang sampai mencium tangannya, padahal terlihat sekali perbedaan usia diantara keduanya.
Ghirel sepertinya pernah melihat orang tersebut, tapi siapa? semakin lama memikirkannya membuat kepala Ghirel semakin sakit.
Kristal berdiri, menyambut dengan riang laki-laki paruh baya itu. "astaga Om, kenalkan saya Kristal. Anak perempuan satu-satunya dari keluarga Caramela."
"Memang sehebat apa keluarga Caramela?"gumam Ghirel.
"Iya, om tau banyak tentang kamu. Afka cerita banyak sekali tentang kamu kalau dirumah," kata orang tersebut.
"Afka? Omaygat! Dia papahnya Afka?" teriak Ghirel. Menyadari kebodohannya, Ghirel segera menutup mulutnya rapat-rapat meskipun percuma karena seisi ruangan sudah memperhatikannya.
***
Sidang dimulai dengan pengakuan Kristal yang sangat berbeda jauh dengan apa yang terjadi.
"Dia tidak senang dengan saya yang menjadi kekasih kesayangan Afka sampai-sampai menjambak rambut saja sampai sakit," kata Kristal.
Ghirel menatap sinis gadis dramaqueen di sampingnya yang sangat memuakkan.
"Bagaimana Ghirel? apa ada pembelaan?" tanya Bapak Kepala Sekolah. Terlihat satu gigi depannya hilang, pasti ulah Afka kemarin karena mencari keadilan untuk dirinya. Kemarin Bapak Kepala Sekolah nyaris mengeluarkan Ghirel dari sekolah karena insiden itu.
"Dia tiba-tiba menyiram saya menggunakan air putih, lalu mulai memaki saya dan menyiram saya menggunakan kuah seblak. Setelahnya, saya di serang olehnya." kata Ghirel.
"Ck! atas dasar apa anak saya menyerang kamu?" suara seorang wanita paruh baya memekakkan telinga Ghirel.
"Karena dia merasa tersaingi," jawab Ghirel lugas.
Wanita paruh baya itu ternyata Nyonya Caramela, ibu dari Kristal Caramela yang tengah tersenyum menang.
"Tersaingi? astaga anak saya yang cantik dan berkelas itu tidak mungkin merasa tersaingi oleh gadis sederhana seperti kamu." jelas Nyonya Caramela.
"Nyatanya seperti itu, dia merasa tersaingi karena aku lebih di spesial untuk Afka daripada dirinya." kata Ghirel.
"Kamu mengantuk atau bagaimana? tentu saja lebih spesial anak saya, mereka akan bertunangan setelah kelulusan nanti!" kata Nyonya Caramela.
Ghirel tertegun, dia mendengar sesuatu yang sangat menyakitkan untuk hatinya.