"Bunda mau kalian putus!"
Ghirel bertanya-tanya, tidak biasanya Bunda mengambil keputusan dengan gegabah. Hal ini juga membuat Ghirel menyesal, jika tau akan seperti ini ia tidak akan mempertemukan Afka dengan bundanya. Namun, mau bagaimana lagi? Menyesal bukan saat yang tepat untuk saat ini.
Ghirel masih terdiam beberapa saat sebelum akhirnya tersadar kembali oleh suara khas Bunda Raila yang sudah memanggilnya beberapa kali.
"Jie? Kamu denger bunda?" tanya Raila memastikan. Melihat Ghirel yang tiba-tiba terdiam membuat Raila merasa sedikit cemas sehingga timbul perasaan tidak enak hati dalam benaknya. Namun, sebelum semuanya terjadi Raila harus mencegah Ghirel untuk mengetahui semuanya. Semua masa kelamnya.
"Tapi kenapa Bunda?" tanya Ghirel terbata-bata. Bunda tidak menjawab, dia terus mendesak Ghirel untuk putus dengan Afka.
"Engga bun, Kakak gak mau dan kakak anggap,Bunda gak pernah ngomong gitu!" Ghirel tersenyum pahit sebelum meninggalkan kamar. Baru dua langkah kakinya berpijak, ucapan yang ia dengar membuat hatinya teriris seketika.
"Kakak gak pernah bantah ucapan bunda, apa cuman karena cowok kakak bakal ngelakuin itu?" tatapan mata Raila kosong saat mengatakannya. Raila tahu kebahagiaan Ghirel saat ini adalah Afka. Namun, kebahagiaan yang dirasakan Ghirel akan tandas begitu saja nantinya karena sesuatu hal. Dan Raila sebagai Bunda yang sangat menyayangi Ghirel harus mencegah semuanya.
"Kenapa bun? Apa alasannya?" Ghirel menoleh menatap Bunda Raila yang sudah membuang muka.
"Kita gak selevel sama mereka. Afka dan keluarganya jauh di atas kita Jie," ujar Bunda Raila. Raila memberanikan diri untuk memegang tangan Ghirel yang bergetar.
"Ini bukan sinetron atau novel yang putus cuman karena alasan itu!" balas Ghirel tegas. Tangan bundanya ia hempaskan begitu saja.
"Bunda gak mau kamu pada akhirnya harus berjuang sendiri dan dicaci-maki sama keluarga Afka nantinya,"
"Putus sebelum rasa sayang kamu itu semakin besar, bunda mohon," lanjut Raila. Sebelum mendengar isakan anaknya yang akan menambahkan pilu dihati, Raila memilih pergi terlebih dahulu meninggalkan Ghirel yang masih dengan perasaan bingungnya.
Lagi-lagi, Ghirel merasa kebahagiaannya terenggut begitu cepat. Saat Ghirel bertemu seseorang bernama Fed dimasa kecilnya, kebahagiaan itu terenggut karena kepindahan keluarga Fed waktu itu. Saat ia sedang sangat mencintai sosok ayahnya, ke bahagiaan itu juga terenggut dengan cepat karena sebuah kecelakaan tragis yang menewaskannya. Dan sekarang, kebahagiaannya harus terenggut karena restu orang tua.
***
"Afka,kamu pulang dulu aja,aku harus kerja!" ujar Ghirel dengan senyum yang dipaksakan. Ghirel memutuskan untuk diam dan tidak akan mengambil keputusan terlebih dahulu. Ia juga lebih memilih tidak akan memberi tahu Afka mengenai masalah ini. Takutnya, Afka akan berpaling dari dirinya.
Afka mengangguk lalu pergi meninggalkan Ghirel dengan motor kesayangannya. Pikirannya melayang jauh kepada sesuatu hal yang Ghirel dengan Ibundanya bicarakan. Yah, dia dengar semuanya dari awal meski samar dan masih belum mendengar jelas mengenai alasan Bunda. Afka tersenyum miris saat menyadari sesuatu hal yang ia yakini alasan kuat Bunda Ghirel menyuruh Ghirel putus dengannya.
Alasan yang hanya disadari orang-orang yang terjebak dengan masa lalu kedua keluarga tersebut. Kenangan mengenai awal pertemuannya dengan Bunda Ghirel melesak masuk kedalam otaknya saat ini dan sebuah percakapan Bunda Ghirel dengan ayahnya juga masuk kedalam otaknya sekarang.
"Aku menerima pekerjaan ini sebagai imbalan atas kematian suamiku. Di tempat kerja, kau adalah tuanku dan sisanya kau tidak mengenalku. Mengerti?" Afka yang saat itu tidak mendengar jelas semuanya masih awam dengan hal yang diucapkan Raila 3 tahun yang lalu.
Yang Afka tahu saat itu hanyalah Raila yang sangat baik kepadanya. Dan hubungan Raila dengan ayahnya yang terbilang cukup akrab membuat Afka nyaman tanpa mengetahui bahwa Raila adalah orang yang selama ini ia cari untuk menebus semuanya.
Tak terasa, hujan sedari tadi sudah turun dengan derasnya. Suara petir membuat Afka tersadar akan lamunannya. Jalanan yang licin, dengan Afka yang mengendarai motornya dengan kecepatan yang di atas rata-rata membuat pemuda itu tak bisa menyeimbangkan motornya sehingga tergelincir.
Bragh!
Kakinya terjepit motornya sendiri dengan luka akibat gesekan dengan aspal cukup parah di lengannya.
"Ya ampun mas, gak papa mas?" tanya salah satu warga yang sudah berusaha membangunkan motor Afka. Afka, dengan kesadaran yang masih tersisa membantu dengan semampunya.
"Kalo uhuk, gak papa ,anjir asin air ujannya!" setelah membantu, Afka memutuskan pasrah dengan motor yang masih setia menindih kakinya.
"Jangan ngomong dulu mas, ini lagi saya panggilin ambulan," ujar warga ke2. Entah darimana datangnya, warga 2 ini sudah berada di sebelah Afka dengan ponsel di dalam plastik yang ditempelkan ke telinganya.
"Lah wong ditanyain ya aku jawab," balas Afka lagi. Beberapa orang datang membantu warga satu untuk mengangkat motor Afka dan berhasil.
Afka menghela nafas lega saat kakinya terbebas. Dan sekarang, yang ia harapkan hanya satu. Ia harap, kakinya baik-baik saja tanpa cacat sedikitpun. Bagaimanapun juga, Afka masih ingin mengantar jemput Ghirel, berjalan bersama, atau melakukan banyak hal dengan gadis itu.
"Bu, tolong dong ambilin hp saya di tas!" mengingat Ghirel membuat Afka tergelitik seketika dan memutuskan akan menghubungi Ghirel. Afka meminta tolong dengan sangat sopan kepada salah satu ibu-ibu yang sibuk membersihkan barang barang Afka yang sempat tercecer.
"Dibilang jangan ngomong dulu!" ujar warga pertama. Mendengar itu akhirnya Afka menyodorkan telapak tangannya tanda meminta ponsel nya.
"Anak zaman sekarang yah, gak ada sopan santunnya banget. Minta apa? Udah ditolong malah ngelunjak!" protes ibu-ibu yang memegang tas Afka. Afka menghela nafas kasar lalu mulai menggumamkan segala mantera berharap ini hanyalah mimpi karena seumur hidup, ia tak pernah ingin terlibat dengan sejenis ibu-ibu.
'Lupa gue kalo mereka yang menjadi dewi jalanan' batin Afka.
"Terserah ya Allah, Afka lelah dengan semuanya," Afka mengusap rambutnya kasar lalu menyandarkan punggungnya ke pagar besi yang berada dibelakangnya ia sudah pasrah dengan semua keadaannya. Bahkan, rasa perihnya pun entah kemana.
"Loh dek, jangan kayak mau mati gitu dong dek," sayup-sayup, Afka mendengar ada seseorang yang mengatakan hal ini membuatnya melotot seketika.
"Amit-amit pak, jangan doain saya mati dong belum sempet pamitan nih!" sarkas Afka secepatnya.
Ibu-ibu yang sempat berdebat tadi mendatangi Afka,ternyata dia memegang ponsel Afka,"Dek, pesan terakhir!"
"Afka gak mau mati dulu bu!"balas Afka sembari tersenyum kecut.
"Bukan gitu, ini di hp kamu ada pesan terakhir dari busing," ujar ibu-ibu tadi membuat Afka berbinar seketika. Mendengarnya saja bisa mengobati segala rasa sakit dalam tubuhnya. Bagaimana jika melihatnya? Mungkin neraka pun tak terasa panas baginya.
"Bilang dong bu!" Afka meraih ponsel ditangan ibu-ibu tadi dengan antusias.
"Itu saya bilang," balas ibu-ibu itu.
Setelah 15menit lamanya Afka berdebat tidak jelas dengan para ibu-ibu, ambulance datang dan segera membawa Afka ke rumah sakit. Selama perjalanan, ia tidak merasakan sakit apapun sebenarnya, hanya sedikit perih saja. Namun, sebuah ide jahat terlintas di otaknya saat ini. Sepertinya, mengerjai Ghirel akan menyenangkan baginya.
Ia menelfon 'busing' yang tidak lain adalah BuSinga, yaitu Ghirel sananta kekasihnya. Namun, sebelumnya ia harus mengetes suaranya terlebih dahulu yang akhirnya membuat suster dalam ambulance tersebut terkekeh melihat aksi gila Afka. Setelah telfon diangkat, Afka bersandiwara menggunakan kemampuan akting sebisanya. Pikirnya, ia bisa menjadi tokoh utama dalam drama kemarin berarti untuk akting seperti ini saja kecil menurutnya.
"Jie, uhuk, aku ekhem, uhuk, aw, shh, Jie, aku abis kecelakaan. Trus uhuk! Lagi ke RS Bina Bakti," Setelahnya, telfon ia matikan. Dan Afka tertawa senang, ia yakin saat ini Ghirel tengah sibuk mencari tumpangan kesana-kemari hanya untuk menjenguknya saja.