Hanya sekitar satu jam setelah aku benar-benar terlelap, aku sudah harus kembali menyiapkan tenaga untuk menjadi Anak Anggota.
Dengan malas ku buka kedua mata. Ku paksakan tubuhku untuk bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Ku sibakkan rambutku yang mulai panjang menutupi pipi.
Aku sedang berpikir untuk membolos di mata pelajaran yang akan ku hadapi, andai saja ini adalah sekolah formal.
"Bertahanlah sebentar lagi, hanya hingga gerhana bulan."
Kalimat Athan kembali terngiang di kepalaku. Segera saja aku membuka buku perbintangan yang pernah ku lihat di dalam laci.
Ku bongkar semua isi laci yang baru ku rapikan kemarin. Tidak ketemu, ku putuskan untuk membacanya setelah jadwal berlatih selesai.
Ku pandangi jam dinding yang telah menunjukkan waktu berlatih akan segera di mulai.
Ah aku membenci terburu-buru.
Setelah selesai bersiap aku langsung pergi ke dapur untuk meminta buah apel kepada Koki Lentik. Hanya buah itu yang dapat ku makan di saat sedang terburu-buru seperti sekarang ini.
Athan berbaris tepat di sampingku. Aku membenci momen ini, jantungku mendadak tidak dapat ku kendalikan ketika mengingat senyum indah pria itu tadi malam.
Pasukan hijau membagi tim menjadi lima sub tim untuk latihan kali ini. Aku, Sing, Kristo dan Athan menjadi satu kelompok yang akan memperebutkan kemenangan.
Bang Arlan bilang kalau kami tidak akan lagi berlatih di arena yang biasa. Alam bebas. Perkebunan, pedesaan, hutan, aliran sungai semuanya adalah arena berlatih kami untuk sepuluh hari kedepan.
Kami ditugaskan untuk menemukan tiga pedang emas yang disembunyikan oleh Pasukan Hijau di sekitaran Gedung Kuning. Kami harus membawanya ke gedung utama tepat di pukul dua belas siang di hari kesepuluh, lebih cepat lebih baik.
Aku sedikit mengernyitkan dahi, ini seperti permainan yang sering ku tonton di TV. Saling menyerang lalu menang dan mendapatkan hadiah ataupun naik pangkat. Sangat klasik.
"Tiga tim yang membawa pedang emas adalah pemenangnya. Tim yang paling sedikit terluka adalah pemenangnya. Tim yang paling banyak menyerang dan mengalahkan lawan adalah pemenangnya. Begitulah peraturannya!" suara lantang bang Arlan kembali ku dengar.
Mata elangnya menatap kami satu persatu dengan menyala-nyala.
Aku tidak begitu memahami perintah ketua pasukan hijau itu. Bagaimana bisa kami menang dengan tanpa terluka tetapi banyak mengalahkan musuh? Bukan sesuatu yang masuk akal bagiku.
Dengan dibekali senjata dan perlengkapan hidup di alam liar, kami dipersilahkan pergi per tim menuju tempat awal permainan kami.
Aku berjalan mengikuti langkah tiga pria berbadan bidang. Kami menuju sebuah desa yang berada di arah barat asrama. Ku rasa itu adalah desa tempat anak-anak tinggal karena malam itu bang Seta membawa mereka ke arah yang sama. Aku dapat bertemu dan menyapa mereka jika bertemu nanti.
Sesekali aku memandangi hamparan luas di belakang, tidak ada tanda-tanda tim lain sedang menyusul. Hanya hamparan rerumputan dan pepohonan yang sudah mulai tua.
Desa yang kami tuju masih sangat sederhana kehidupannya. Rumah mereka semuanya kayu, berbentuk sama dan berjejer rapi seperti permainan balok yang disusun.
Setiap halaman rumah memiliki taman kecil yang dipenuhi bunga-bunga cantik yang sangat indah dan harum, membuat pikiranku tenang untuk sesaat.
"Apa ini masih dalam kawasan Gedung Kuning?" tanya Sing memecah keheningan.
"Iya, kurasa. Kita tidak ada melewati pagar tinggi kan?" sahut Kristo lagi.
"Bukan," suara Athan membuat kami semua menoleh ke arahnya.
"Kita bahkan sejak awal tidak berada di kawasan Gedung Kuning."
Kami menghentikan langkah serentak setibanya di depan sebuah rumah yang paling besar dan kokoh.
"Maksudmu, asrama dan arena berlatih kita bukan di Gedung Kuning?" tanyaku yang juga penasaran.
Pria bermata indah itu menggeleng. "Mana mungkin gedung kenegaraan menjadi tempat berlatih pasukan keamanan?"
Ah benar juga, aku merasa malu dengan pertanyaanku yang sangat polos tadi. Lagipula, selama ini aku pun tidak melihat Gedung Kuning di dekat kami berlatih.
Athan memimpin langkah kami untuk masuk ke dalam rumah yang paling besar itu. Sangat luas, rapi dan sepi. Sing dan Kristo sibuk bertanya-tanya mengenai pemilik rumah dan menggerutu karena tidak mendapatkan sambutan hangat.
"Kita akan istirahat di tempat ini hingga senja. Saat matahari mulai tenggelam, kita menyerang."
Athan meletakkan pedang dan busur panahnya di atas meja di ruang depan penginapan.
"Kenapa tidak sekarang? Aku masih sangat bersemangat!" Sing sangat antusias.
"Itulah alasannya. Mereka pun masih sangat bersemangat, sehingga kita akan sulit mengalahkan mereka dengan sedikit luka," Athan menjelaskan.
"Bagaimana kalau mereka menemukan pedang emas sebelum kita?" pertanyaanku kali ini membuat Athan melirik tajam.
"Ya biarkan saja. Setelah mereka menemukannya, kita masih bisa merebut atau mencurinya kan?"
"Hah?" mataku membulat mendengar jawaban bang Athan.
"Itu adalah salah satu cara menang tanpa terluka," ujarnya dengan polos.
Sing dan Kristo sangat menyetujui kalimat ketua tim kami itu. Mereka berdua telah menyiapkan mental dan fisik untuk melawan musuh dengan cara halus.
Sementara aku, aku masih belum terpikir dengan apa yang akan ku lakukan nanti. Aku hanya memiliki keahlian mengambil barang milik orang lain tanpa ijin, kurasa.
Suara derat kayu tua saling bersentuhan dan berderat saat kami naik ke penginapan. Sama sekali tidak ada penjaga yang memandu kami. Kami pergi ke lantai atas dan mencari kamar untuk masing-masing. Para pria bergabung dalam satu kamar sementara aku sendiri, di kamar tepat di samping mereka.
Awalnya mereka meminta untuk bergabung agar kami dapat mengatur strategi bersama, tetapi aku tidak menyukai ada orang lain di kamarku. Aku hanya ikut berembuk mengenai strategi penyerangan lalu kembali ke kamar untuk beristirahat.
Baru saja aku merebahkan tubuh, terdengar suara ledakan yang sangat nyaring dari arah timur yang tidak begitu jauh.
Segera saja aku bangun dan keluar kamar. Ternyata ketiga temanku telah bersiap untuk berperang.
"Ku rasa kita tidak dapat berdiam di tempat ini," ujarku yang mulai berdegup karena merasa belum siap dengan perkelahian.
"Ikuti aku!" Athan kembali memimpin langkah kami.
Kali ini kami menuju ruangan yang berada di ujung lorong di bawah. Entah ada apa di luar sana, jantungku masih terus berdegup kencang merasa terancam dengan suara ledakan tadi.
Kami berjalan terus menyusuri lorong yang cukup panjang, menuruni puluhan anak tangga menuju ruang bawah tanah yang sangat gelap. Bukan hanya itu, kami bahkan harus turun ke ruangan lain melalui pintu besi berbentuk kotak yang bermotif sama dengan lantai.
Sebelumnya, Athan menginjak dan sedikit berlompat hampir di setiap kotak di lantai. Dia bilang dia pernah melihat seorang pembuat Lewine masuk ke ruangan itu.
***