Jam menunjukkan pukul 2 nyaris 3 pagi. Dimas masih berada di rumah Lisa namun Kumala mempersilakan Dimas untuk duduk di ruang tamu. Lelaki beperawakan kurus itu kemudian duduk dan menyilakan kakinya. Sesekali mendongak menatap langit - langit rumah Lisa yang renta itu.
"Mau minum apa Dimas?" tanya Kumala lembut.
"Air putih saja tante, ngga usah repot - repot."
Sembari menunggu Kumala mengambilkan segelas air putih, Dimas terdiam sejenak dan menggelengkan kepalanya, memperhatikan seluruh sudut ruangan di rumah itu.
Rumah itu mungkin tidak besar namun juga tidak telalu kecil. Hanya saja sungguh tak terawat. Tembok - tembok yang mulai berjamur karena lembab. Lampu remang - remang termakan usia. Cat yang mengelupas akibat perubahan suhu cuaca yang ekstrem. Langit - langit rumah yang sudah terlalu banyak ditinggali oleh laba - laba, menyisakan sarang menjijikkan yang menggantung.
Andai saja seluruh penghasilan Lisa tidak dihambur - hamburkan untuk plesiran di kelab malam, mungkin rumah yang Lisa tinggali saat ini bersama dengan ibu dan adiknya jauh lebih layak huni pikir Dimas.
"Dimas," ucap Kumala lirih sembari meletakkan air dingin. "Ada yang ingin tante sampaikan." Wanita paruh baya itu menundukkan kepalanya sembari menyeka air mata.
Dimas mengambil gelas berisi air itu dan menyesapnya. Embun dari gelas itu mengalir dari balik gelas kaca membasahi celana hitam Dimas. Sebenarnya Dimas berencana untuk segera kembali ke kos namun ia tidak sampai hati meninggalkan ibu Lisa yang nampak kesepian ini.
"Tante ini kan sudah tua, tante juga punya penyakit diabetes akut, sudah pasti Tante tidak bisa bekerja lagi kan seperti dahulu?"
Dimas mengangguk, tangannya dikatupkan, mendengarkan Kumala dengan seksama.
"Sejak suami tante lari dan menikah dengan wanita lain, hidup tante jadi semakin sulit. Surat perceraian yang tante ajukan masih digantung hingga usia Lisa menginjak 25 tahun. Rumah yang tante huni ini adalah rumah yang tante beli ketika masih bersama mantan suami tante. Namun, semenjak suami tante pergi begitu saja, dan kesehatan tante semakin memburuk, tante sudah tidak sanggup menghidupi keluarga tante sendirian…" Kumala meneteskan air mata lagi, kali ini lumayan deras. Kesedihan Kumala sudah tidak terbendung lagi.
Dimas beranjak dari tempat ia duduk kemudian merangkul wanita paruh baya itu dengan simpati mendalam.
"Tante, tolong jangan bersedih lagi. Nanti tante sakit."
"Tidak apa - apa nak, tante memang harus curhat. Sudah terlalu lama tante simpan sendiri masalah ini. Seharusnya Lisa mampu membantu keadaan ekonomi keluarga kami terlebih ia sekarang bekerja di perusahaan telekomunikasi ternama di ibu kota bukan? Namun lihatlah Dimas, Lisa malah sibuk plesiran mabuk - mabukan."
"Sekali lagi maafkan saya tante," Dimas menggepalkan tangannya dan menahan rasa sedih di dalam dada. "Saya sudah selalu mencoba menghadang Lisa untuk tidak selalu mabuk, namun memang bebal sangat terkadang dirinya!"
"Dimas, jangan merasa bersalah… Kamu sudah melakukan yang terbaik. Pekerjaanmu memang menuntut kamu untuk demikian, jangan merasa melakukan tindakan yang salah nak. Ini salah tante, seandainya saja tante bisa mendidik Lisa dengan benar, tante yakin Lisa tidak akan seperti ini…"
"Tante… jangan bilang begitu…"
"Seandainya tante masih sehat, sudah pasti tante akan bekerja! Rumah ini boleh jadi buruk rupa, namun pajak bangunan ini setiap tahun semakin melonjak tinggi bagaimana nasib kami bertiga? Di mana kami akan tinggal? Belum lagi adik Lisa yang masih duduk di bangku kuliah… Hanya Lisa yang mampu membantu keadaan ekonomi keluarga kami. Aduh, tante sudah tidak tahu harus melakukan apa lagi…."
Wajah Dimas kian memelas, sungguh sangat perih mendengar penderitaan ibu Lisa yang ada di hadapannya saat ini.
"Coba kalau tante punya uang lebih, tante bisa sewa pengacara terbaik di ibu kota dan surat perceraian tante sudah bisa tante urus sehinga ayah Lisa tidak akan mengganggu tante dan anak - anak tante lagi."
Mata Dimas terbelalak mendengar hal itu dan bertanya, "Ayahnya Lisa kenapa menggangu tante?"
"Beliau masih sering ke rumah ini dan memukuli saya tanpa sebab. Namun saya tidak mampu berbuat apa - apa. Uang saja saya tidak punya, bagaimana tante bisa melaporkan ke polisi?"
"Tante tidak perlu khawatir lagi kali ini. Dimas akan coba bicara ke Lisa soal ini supaya Lisa tidak lagi sembarangan menghamburkan uang! Sekali lagi, maafkan Dimas yang sering gagal menghadang Lisa untuk tidak mabuk - mabukan."
"Dimas, kamu tidak perlu merasa bersalah. Tante cuma berharap agar Lisa sadar akan keadaan ekonomi keluarganya sedang tidak bagus…"
Dimas masih terduduk diam dan merenung. Dimas bingung bagaimana cara yang sopan untuk bergegas kembali ke kos. Hari sudah kelewat pagi pikirnya. Dimas masih harus membereskan kamar kos-nya yang berantakan.
"Baiklah tante, maafkan Dimas tapi Dimas harus segera pulang. Hari sudah nyaris subuh, saya masih ada urusan yang belum saya selesaikan." izin Dimas dengan sopan. Dimas kemudian beranjak dari kursinya dan bersalaman dengan Kumala.
"Saya akan coba bicara dengan Lisa besok tante, semoga ia paham!"
"Terima kasih nak, tante berhutang budi padamu."
Dimas pun bergegas ke mobil yang diparkirnya di luar rumah Lisa. Dengan kecepatan lambat ia meninggalkan rumah Lisa dan ibunya, Kumala.
"Hati - hati nak," ucap Kumala lirih dari balik pagar rumahnya.