Chapter 8 - Pagi Menjelang

Hari sudah berganti. Sinar mentari mulai membasuh lembut jendela kamar Lisa yang mulai usang berkarat. Jalanan ibu kota yang tadinya tertidur pulas kini mulai bangun memulai lembaran baru di pagi hari yang baru pula.

Seharusnya Lisa sudah duduk di kursi kantornya dan bergelut dengan laporan - laporan keuangan yang tidak kunjung selesai dari minggu lalu. Lisa masih tertidur pulas akibat mabuk semalam. Kemarin merupakan hari di mana Lisa mabuk parah dibandingkan hari - hari lainnya ketika ia nongkrong di Sky Lounge. Kepalanya masih pening untuk beranjak dari tidur pulasnya.

"Lisa, sudah siang bangun! Bukannya kamu harus ngantor?" teriak Kumala dari luar kamar.

Kamar itu begitu hening, suara hiruk pikuk dari luar jendela pun dapat terdengar. Lisa tidak menggubris meski ia dapat mendengar suara ibunya secara samar - samar. Baginya, hari ini adalah hari Minggu. Lisa hanya ingin tidur sepanjang hari tidak memikirkan apapun. Bagaimana tidak, sisa soju dan vodka semalam masih nyaman tinggal di dalam tubuhnya.

Alarm handphone Lisa beberapa kali berbunyi. Ia menggapai handphone itu dan mematikannya. Lisa merasa kepalanya sangat pusing dan matanya berkunang - kunang saat mencoba beranjak dari tempat tidur.

Lisa terbangun dalam keadaan masih mengenakan pakaian kerjanya, blazer merah dan rok sepan ketat dengan warna senada. Sepatu hak tinggi hitamnya tergeletak di ambang pintu kamarnya dengan tidak rapi. Bahkan Lisa masih mengenakan riasan wajah yang mulai luntur terkena keringat.

Lisa mencoba beranjak dari tempat tidurnya, kepalanya terasa sangat berat. Ia menggapai handphone yang ada di laci dekat tempat tidurnya dan melihat jam berapa saat ini. Jam 9 pagi. Sesaat memori tentang semalam perlahan mulai terkumpul. Saat itu memori tentang Aditya terbesit di benaknya.

"Aditya brengsek!" teriak Lisa dari kamarnya. Seluruh isi pikirannya mendadak kacau. Semalam Lisa memang sengaja minum banyak alkohol demi melupakan kelakuan buruk mantan pacarnya, Aditya Satyadibrata. Namun Lisa tidak menyangka dirinya bakal jadi seberantakan ini.

"Sudah bangun Lisa?" suara seorang wanita paruh baya terdengar dari ambang pintu. Lisa langsung berbalik menghadap ke pemilik suara tersebut.

Kesadaran Lisa masih belum sepenuhnya pulih tetapi Lisa paham betul siapa sosok yang sedang berdiri di ambang pintunya. Ia kemudian menatap sosok wanita paruh baya itu dengan lesu. Matanya sedikit bengkak akibat kurang tidur.

"Ibu?" tanya Lisa dengan linglung. "Kok Ibu tidak membangunkan Lisa?"

Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya dengan wajah prihatin. Kumala tidak pernah paham mengapa putri sulungnya sudah berkali - kali berbuat tidak baik dan tidak sadar diri juga! Betapa hancur dan berantakan perasaan Kumala memandang putri sulungnya saat ini, nampak acak - acakan tergeletak di atas tempat tidur karena mabuk. Eyeshadow dan maskara yang meleleh dari kelopak matanya. Gincu merah menyala yang pudar dan tergores hingga ke pipi. Baju kantor yang lusuh. Pemandangan yang amat sangat menyedihkan!

"Nak, harusnya ibu yang tanya kenapa semalam kau mabuk lagi?"

Mendengar ucapan Kumala, mata Lisa terbelalak. Seketika ingatan Lisa kembali ke Sky Lounge tepat di mana ia mabuk berat semalam. Kelab malam tempat di mana ia menghabiskan malam terburuknya lepas putus cinta. Sudah berapa botol soju ia tenggak semalam?

"Maafkan Lisa bu," jawabnya lesu. Lisa merasa bersalah dan mengutuk dirinya. "Lisa baru saja putus dengan Aditya."

"Kamu rela menghabiskan uang tabunganmu yang sudah lama kau simpan hanya untuk menangisi seorang laki - laki yang bahkan tidak memperdulikanmu? Terlebih kau hamburkan itu tabungan untuk minum minuman keras! Kamu seharusnya sadar Lisa!"

Kumala geram dengan sikap Lisa itu. Ia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi agar putri sulungnya itu paham konsekuensi dari terlalu banyak minum alkohol. Wanita paruh baya itu menghela napas seraya mengelus dadanya.

"Lihatlah rumah kita Lisa! Pikirkan nasib Bella adikmu yang masih duduk di bangku kuliah, bagaimana jika Bella terpaksa putus sekolah karena Ibu tidak sanggup membiayai! Pikirkan nasib Ibu yang sudah tua dan tidak berdaya lagi! Siapa yang menurutmu sanggup bekerja kalau bukan dirimu? Seharusnya kamu paham hanya dirimu yang mampu membawa keluarga ini ke masa depan yang lebih baik!"

"Maafkan Lisa ibu, Lisa berjanji tidak mengulanginya lagi."

"Sudahlah, Ibu sudah tidak tahu harus menasehatimu seperti apa agar kamu sadar! Mungkin kamu baru akan sadar jika kita diusir dari rumah ini karena tidak sanggup membayar pajak rumah ini!"

"Ibu sudah tua dan sakit. Terserahlah Lis, buang - buang waktu saja Ibu menasehatimu."

"Tapi Ibu, Semalam siapa yang mengantar Lisa pulang? Apa yang Lisa laukan semalam?"

"Kamu tanya saja temanmu yang bartender itu!" Kumala memalingkan wajahnya dari Lisa dan beranjak dari abang pintu kamar Lisa. Wajahnya nampak sedih dan hatinya tersakiti.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 lebih. Lisa masih duduk terdiam di atas tempat tidurnya. Pikirannya masih kacau. Kesadarannya pun juga belum sepenuhnya pulih. Jadi semalam yang mengantar Lisa pulang adalah Dimas? Mengapa Ibunya menyuruhnya bertanya kepada Dimas?

Lisa menggapai handphone yang tergeletak di atas tempat tidurnya dan menelepon Dimas.

"Halo Dimas?" sapa Lisa, suaranya sedikit lemas.

"Hey butut, sudah hilang mabuknya?" tanya Dimas dari seberang. Suaranya terdengar mengejek dan kesal.

"Haha lucu Dim, serius aku mau tanya soal kemarin. Semalam aku ngapain aja?"

"Harusnya aku dong yang tanya kayak gitu. Kamu semalam kenapa sampai pesan soju nyaris empat botol dan satu sloki vodka?"

"Aduh Dimas maafkan aku tapi aku bener -bener hancur kemarin! Kamu ngga tahu rasanya di-" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Dimas langsung menyela Lisa.

"Hey! Aku sudah terlalu sering menghadangmu untuk tidak minum terlalu banyak, tapi jika aku tidak bekerja sebagai bartender aku sudah menyeretmu keluar dari Sky Lounge dan mengantarmu pulang ke Ibumu!"

"Tapi Dimas itu kan juga duitku sendiri yang kupakai buat mabuk - mabukan!"

"Ya kamu boleh lah merasa berduit sekarang Lis, tapi jangan mentang - mentang berduit kamu bisa seenak jidat memesan minuman keras!

"Tapi aku perlu mabuk kemarin Dimas!"

"Sudah semakin banyak pemabuk di Sky Lounge dan Reputasi Sky Lounge sudah jelek semenjak tempat itu digunakan para lelaki sewaan menjajakan diri. Sekarang kamu mau menambahkan predikat jelek untuk Sky Lounge? Oh, Sky Lounge kelab malam di ibu kota yang terkenal akan prostitusi terselubung dan pemabuk kelas atas. Aku tidak mau itu terjadi Lis!"

"Predikat jelek atau engga itu bukan urusanku!" tukas Lisa ketus.

"Oke kalau begitu baiklah aku juga tidak peduli kamu mau menghamburkan uangmu untuk mabuk. Tapi kamu tidak sadar akan keadaan keluargamu saat ini Lis?"

Dimas melanjutkan nasehatnya dengan berapi - api, "Ingatlah bahwa ayahmu sudah tidak bersama denganmu dan ibumu dan adikmu lagi! Ingat surat cerai ibumu yang hingga kini digantung oleh ayahmu? Itu semua gara - gara kamu Lis! Kalau saja uang tabunganmu kau gunakan untuk mengurus surat cerai itu, ibumu bisa lebih lega hidupnya!"

"Dim," potong Lisa. "Jangan seenaknya kamu menuduh uang tabunganku kuhabiskan seluruhnya untuk mabuk - mabukan!"

"Masih mau membantah lagi?"

"Kamu tidak tahu bagaimana uang tabunganku raib! Biarkan aku menjelaskan terlebih dahulu Dimas!" sergah Lisa dengan nada tinggi.

Dimas terdiam sesaat, ada sesuatu yang tidak beres pada Lisa. "Apa maksudmu?"

Lisa menghela napas panjang. Emosinya sudah di ambang batas, sebentar lagi akan meledak, namun ia berusaha menahan diri. Lisa terdiam beberapa saat kemudian berkata, "Aditya, dia . . ."