JIAN POV
Dengan langkah yang berat Jian melangkahkan kaki menuju rumah. Tapi sontak saja Jian kaget ketika melihat mobil apa yang terparkir di depan rumahnya. Mobil pria tadi sekarang sudah berada disini. Jian langsung bergegas menuju ke dalam rumah. Tampak di ruang tamu pria itu sedang duduk sambil menyeruput teh di cangkir yang sudah disuguhkan bunda Jian. Sementara bunda tidak keliatan.
"Assalamualaikum... bunda," panggil Jian mengagetkan pria itu. Dia langsung berdiri dan terlihat gugup.
"Bunda ... bunda", teriak Jian masuk memanggil bunda tanpa mengacuhkan panggilan pria itu. Jian mencari bunda di dapur. Dan tampak bunda sedang memasak.
"Oh kamu sudah pulang sayang," bunda menyahut tanpa menoleh ke arahnya. Dia lebih memperhatikan panci sayur dibanding kedatangan Jian.
"Bun, itu siapa sih, cowo itu juga tadi ke kampus Zian dan sekarang malah datang ke rumah, dia penagih hutang kan?" tanya Jian nyerocos.
"Iya, tadi dia juga udah cerita, katanya dia malah ditinggal kabur sama kamu, dan apa tadi kamu bilang, penagih hutang?" tanya balik bundanya Jian.
"Iya kan?" tanya Jian memastikan juga.
"Lho, kata siapa dia penagih hutang, katanya dia pacar kamu, kok kamu pura pura begitu, sudah deh kamu ngaku sama bunda ga usah disembunyiin, bunda sudah tau kok kalau Yudis itu pacar kamu," kata bunda sambil tertawa.
Jian melongo.
"Memang dulu bunda pernah melarang kamu untuk pacaran dulu, tapi kali ini bunda bolehin kok, karena Yudis memang cocok buat kamu?" kata bunda sumringah.
Wah ada sandiwara apa nih yang dibuat pria itu. Yang mengaku bernama Yudis. Siapa dia sebenarnya yang sudah mengarang cerita pada bunda. Dan super aneh juga dia bisa tahu alamat rumah ini dan membuat cerita bohong ini sama bunda. Sejenak Jian terdiam untuk mencerna semua perkataan bunda dan menghubungkan kejadian tadi di kampus.
"Jian, boleh ngobrol sebentar!"tiba tiba suara pria itu mengagetkan. Dia sudah datang menghampiri ke dapur.
"Sana Ji, kamu temanin ngobrol dulu Mas Yudis, nanti sebentar lagi masakan ibu matang, kita makan sore bareng ya!" suruh bunda tanpa tau sebenarnya anaknya sedang bingung.
Dengan alasan Jian ingin mencari tahu apa sebenernya yang terjadi Jian memutuskan untuk bicara dengan pria itu. Toh Jian kalau belum tahu sebenarnya Jian tidak mungkin menceritakan kebenarannya. Karena takutnya bunda juga shock tiba tiba pria asing mengaku pacar anaknya.
"Siapa sebenernya Bapak, Om atau Abang ini tiba tiba datang terus bisa tahu namaku dan alamat rumahku?" tanya Jian sambil memandang pria itu dengan penuh curiga.
"Jian calon suami kamu, namaku Yudistira Lee ," jawabannya membuat seketika jantung Jian seakan melorot ke bawah. Ada perasaan aneh yang sulit dia artikan. Entah rasa kaget campur campur rasa yang lain. Terlalu aneh dan tidak masuk akal tiba-tiba ada seorang pria datang dan mengaku sebagai calon suami.
"Jangan becanda, tidak lucu, Jian tidak kenal sama kamu, Bapak ini, eh Om ini sebenernya siapa, kalau mau nagih hutang ayahku jangan pakai acara drama mengaku calon suami segala," jawab Jian sambil melipat kedua tangannya di perut. Jian pikir dengan begitu orang itu tidak akan tahu kelemahannya.
"Hee ...." pria itu tersenyum.
"Penagih hutang, jadi kamu lari kabur di kampus mengira aku seorang debt collector," lanjut pria itu sambil tertawa.
Jian mengernyitkan dahi mendengar jawaban pria itu. Kalau dia menyangkal terus dia siapa.
"Bapak, Om, kenapa kamu manggil saya dengan sebutan itu, kesannya aku tua banget gitu, Aku ini baru mau 30 tahun," kata dia sambil menahan kesal.
"Apa, baru mau 30 tahun, umur segitu gak mau dipanggil Bapak atau Om, kan sudah cocok tuh," ejek Jian. Kalau dia 30 tahun dan Jian 20 tahun. Cukup jauh juga selisih umurnya.
Pantas banget jika kupanggil dengan sebutan bapak atau om.
"Panggil Mas Yudis aja, itu baru enak dengernya, toh nanti kamu bisa panggil aku Bapak, kalau kamu sudah menjadi ibu dari anak anakku," sambungnya dengan nada humor tapi cukup membuat Jian tersentak.
"Apa kata Anda barusan, siapa juga yang mau menikah sama Anda, kenal juga enggak, mimpi juga enggak aku bakal menikah," jawab Jian emosi. Entah sandiwara apa yang dia buat. Jian jadi tak enak dan gelisah. Celingak celinguk liat di sekeliling rumah. Jangan jangan ada kamera merekam. Jian curiga ini acara alay reality show yang suka ngerjain orang atau nge-prank.
"Kenapa kamu celingukan?" tanya pria itu dengan wajah tanpa bersalah. Itu membuatku gemas.
"Ini lagi syuting reality show ya, mana kameranya, Jian udah tau ni acara yang suka nge prank orang kan"?tanya Jian malah membuat Yudis terpingkal pingkal.
"Tuh bener kan, ketawa berarti jelas. Sudah lah ini sepertinya udah kerjasama sama si Bunda, bundaaaa," teriakk Jian memanggil bunda. Dan seketika mulut Jian ditutup dengan tangan pria itu. Mata dia memberi kode supaya Jian tidak berteriak. Tapi Jian mencoba memberontak dengan melepaskan tangannya. Tapi dia semakin membekap mulutnya dengan kencang. Sontak perasaan takutnya datang. Dengan tangan masih membungkam mulut Jian, dia berkata.
"Ini bukan acara reality show alay itu, ini beneran sungguhan, Aku Yudistira Lee adalah calon suamimu, dan bunda mu itu sudah menyetujuinya. Adapun kenapa aku tiba- tiba datang mengejutkanmu aku ada alasan untuk itu. Maka dari itu aku minta kamu tenang dan jangan membuat bunda mu curiga kalau kamu teriak teriak begitu. Nanti dia pikir aku mau buat macam macam tak senonoh disini, paham!"tanya dia.
Jian mencoba menganggukkan kepalanya.
"Oke, bagus"jawabnya sambil melepaskan tangannya dari mulut Jian.
"Aku bakal telepon polisi, ada orang gila yang masuk ke rumah orang...sajshfhjffjfjft," tangan pria itu kemudian membekap mulut Jian lagi.
"Ternyata kamu jauh lebih menjengkelkan dari prediksiku," kata dia pelan sambil mendekatkan wajahnya ke depan wajah Jian. Jian terkejut pria itu mendekatkan wajahnya ke depannya. Semakin jelaslah wajah pria itu memang sangat tampan. Wajah putih mulus tanpa jerawat tanpa kumis dan sedikit jenggot tipis menghiasi dagu lancipnya. Aroma tubuh dan mulutnya wangi. Sepertinya dia bukan perokok. Dan apa apaan ini, Jian sedikit takjub dan terpesona. Jian mencoba menggoyahkan keterpesonaannya dengan sedikit melotot tajam. Mencoba melawan rasa terpesonanya dengan mencoba melepaskan tangannya kembali.
"Maksud Anda apa, Jian makin nggak ngerti, siapa sebenarnya Anda, dan apa maksudnya calon suami"tanya Jian beruntun.
"Itu yang mau Jian lakukan dari tadi, mencoba menjelaskan, tapi kamu malah berlebihan menyikapinya," Jawabnya dengan nada kesal.
"Apa sikapku berlebihan, orang mana yang tidak kaget dan shock dapat kejadian kayak gini, dan ... oke okelah tak usah basa basi, sekarang jelaskan!" pinta Jian akhirnya mencoba memahami situasinya sekarang yang tadinya dia pikir ini acara reality show.
Pria itu kemudian merapihkan jasnya terlebih dahulu sebelum mulai bicara.
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🦗🦗🦗🦗🦗
Malam ini Jian tidak bisa tidur. Jian hanya bolak balik kanan kiri di kasur. Sebentar bentar menghela napas panjang. Seolah menahan beban yang teramat berat. Sejak kejadian sore tadi, Jian semakin tak menentu. Gelisah resah bingung bercampur dengan rasa takut. Entah apa yang harus Jian lakukan setelah pria itu yang mengaku bernama Yudis dan memaksa Jian memanggilnya dengan panggilan Mas Yudis memberinya sebuah permintaan. Sebuah permintaan yang aneh dan membuat dirinya hampir frustasi memikirkan jalan keluar dan solusinya.
"Kakek ku ingin aku menikah denganmu, karena sikapnya yang terlalu setia kawan dan baik pada orang, dia menerima anak temannya menjadi cucu menantunya. Dan bahkan dia ingin segera menikahkanku denganmu. Tapi lucunya dia memintaku sendiri untuk melamarmu. Walau sedikitpun aku tidak setuju dengan niatnya itu. Tapi dia mengancamku dengan menghapuskan namaku jadi ahli warisnya." Perkataan pria sore tadi itu kembali terngiang ngiang di telinga Jian. Segenap mulutnya teriak namun tertahan. Bagaimana bisa ini terjadi padanya. Ini semacam skenario drama atau sinetron yang tiap hari bunda tonton di televisi.
"Kenapa kakek mu mau kita menikah, toh dia tidak kenal sama aku , dan aku juga tidak mengenal kakekmu," tanya Jian sore itu.
"Ayahmu Pak Jaya Mahesa kenal baik dengan kakek ku, dulu kan ayahmu pernah berbisnis dengan kakekku. Karena sering berbisnis dan mendapat keuntungan banyak bersama. Kakekku sudah menganggapnya keluarga. Maka dari itu, sejak Pak Jaya memutuskan untuk meninggalkan perusahaannya. Kakek ku hilang kontak dengannya. Dan dia baru tahu kalau Pak Jaya sudah meninggal. Dia tidak tahu kalau Pak Jaya mengalami kesusahan dan jatuh sakit. Dia sudah menganggapnya sebagai anaknya. Maka dari itu kakek ku merasa bersalah dan mempunyai keinginan ingin menikahkan cucunya dengan anak Pak Jaya sebagai bentuk balasan perasaan bersalahnya pada almarhum ayahmu," jawabnya panjang lebar.
"Aneh dan lucu, kenapa perasaan bersalah harus dibayar dengan pernikahan, sungguh sangat tidak normal," jawab Jian ketus.
"Ternyata kamu juga sepemikiran denganku kan, bagus sekali," jawabnya senang.
"Lah kalau begitu, kenapa kamu nggak nolak aja?" tanya Jian.
"Sudah kubilang kan tadi, kalau aku nolak dia mengancam akan menghapus namaku sebagai ahli warisnya." Mas Yudis menjelaskan lagi.
"Terus hubungannya dengan aku apa, itu semua sebenarnya masalah kamu, saya tidak mau ikut campur dalam masalah keluarga orang lain. Dan juga aku, tidak mau dijodohkan atau tidak mau menikah muda. Sudah jelas kan, pakai aja alasan itu supaya kamu bisa bebas," jawab Jian pintar. Meski ada perasaan seperti dapat undian hadiah tapi hadiah itu tidak layak Jian dapatkan dan harus dia ikhlaskan tidak dia ambil. Dalam posisi sepertinya, wanita mana yang mau menolak jodoh dan rezeki seperti itu. Tapi Jian tak mau hilang harga dirinya, karena pria itu juga sepertinya hanya ingin dapat warisan kakeknya tanpa mau tahu tentang perasaan harga diri seorang wanita.
"Sebelum kamu ngomong seperti itu pun, aku sudah mencoba bicara baik baik sama kakek ku, dan jawaban dia kamu tau seperti apa?"
"Dia tambah mengancam kalau aku tidak bisa menikahimu, dia akan mengambil semua yang aku punya sekarang, perusahaan, rumah, mobil bahkan rekening bank pun akan dibekukan," jawabnya.
"Haha, jadi menurut kamu, aku harus apa, kalau pernikahan itu hanya demi keuntungan dirimu, aku hanya mengalami kerugian banyak hal!"
"Itu yang aku mau katakan padamu sekarang,"jawab pria itu dengan ekspresi seperti gangster di film film.
Kemudian dia duduk di sebelahnya. Jian pun deg-deganeg an. Apa yang mau dia lakukan sekarang. Pria itu pun membisikkan sesuatu padanya dengan pelan. Ada perasaan geli dan aneh berkecamuk dalam dada ketika mendengar bisikannya.
"Kalau kamu setuju, semua hutang hutang ayahmu nanti aku selesaikan, tapi kamu harus mau menikah denganku dengan kontrak," bisiknya pelan namun seperti suara petir bagiku.
"Kontrak?" kata Jian kaget.
"Ya, kamu untung aku juga untung," jawab pria itu sambil senyum menyeringai.
"Kita menikah setahun paling lama, atau setelah kakek sudah memberikan hak warisnya atas namaku kita bisa bercerai dengan baik baik," sambungnya lagi seperti ringan dan tanpa beban bersalah kepada kakeknya.
"Pasti kakek mu bakal tersakiti dengan niatmu itu, apalagi kedua orangtuamu," kata Jian membuat dia sedikit terkejut.
"Kedua orangtuaku sudah meninggal, dan kakek adalah orangtuaku satu-satunya yang membesarkanku dari kecil."
"Apalagi itu, mungkin beliau tidak akan memaafkanmu, dan juga sekarang aku masih 20 tahun. Kalau sekarang menikah dan setahun kemudian bercerai. Jadi usia 21 tahun aku sudah menjadi janda. Apa kamu tidak memikirkan perasaan seorang wanita. Kok kamu gampang sekali mengucapkan kata kata tadi kawin kontrak hanya demi sebuah warisan," kata kata Jian cukup tajam membuat ekspresi wajahnya berubah pucat dan masam.
"Mungkin sebaiknya kamu pikirkan dulu tawaranku tadi," kata pria itu langsung berdiri dan memanggil bunda Jian.
"Bunda, saya pulang dulu karena ada urusan mendadak," ucap dia sambil menemui bunda Jian di dapur yang sedang memasak.
"Lho kok buru buru, bunda sudah masak buat kita makan bareng," kata bunda menyayangkan.
"Tenang saja bunda, lain waktu pasti kita bisa makam bareng, kan aku calon suami Jian, jadi aku bisa sering sering kesini," goda pria itu sok manis dan imut di depan bunda Jian. Padahal tadi setelah Jian komentari niatnya mukanya langsung pucat dan kurang enak.
*** ***
Jian kembali merubah rubah posisi tidurnya. Jian masih membayangkan percakapan sore tadi dengan pria itu. Mas Yudis . Pria yang hari ini sudah membuat dirinya pusing dan galau. Apa sebenarnya rencana dia dan kenapa pula Jian harus terseret dalam pusaran konflik warisan anak konglomerat. Apakah sebenarnya dulu nenek moyangnya itu seorang penghianat negara apa seorang penyelamat negara sehingga keturunannya Jian mendapat hadiah berasa musibah.
Siapa sebenarnya Mas Yudis itu. Apa dia orang jahat atau orang baik. Tapi kalau dia merencanakan pernikahan palsu itu berarti dia orang jahat yang tamak.
Ya Tuhan apa yang harus Jian lakukan sekarang. Haruskah Jian tolak atau terima tawarannya. Kalau Jian tolak apakah Jian akan baik baik saja. Tapi kalau Jian terima tawaran itu apakah ini akan adil untuk semuanya. Jian jadi bingung, apakah harus ditolak saja.
Ya, Jian merasa dirugikan sekali, setahun menikah lalu menjadi janda. Dan belum dipastikan akankah selama setahun menikah itu Jian bakal tahan dan tidak terjadi kontak fisik dengan Mas Yudis. Kalau sampai itu terjadi pasti itu menjadi kerugian terbesarnya. Sesuatu yang berharga yang seharusnya untuk orang yang dia cintai dan yang mencintainya telah terenggut oleh orang yang tak pantas.
Tapi kalau Jian tolak. Kemungkinan besar Jian dan bunda tak dapat melunasi hutang itu. Darimana mereka melunasi hutang ayah yang totalnya ratusan juta itu. Apakah ini kesempatan bagus supaya Jian bisa melunasi hutang itu. Tapi kalau Jian menerima tawaran itu, harga dirinya sebagai wanita bakal tercoreng dan cap wanita matrealistis akan nampak di keningnya. Dan pastinya Mas Yudis juga bakal memperlakukanku dengan buruk. Buktinya tadi juga dia sudah sembarangan padanya.
Aaaarrrrgg. Mumet sekali. Malam ini Jian tidak bisa tidur karena gara gara Mas Yudis sialan itu.