Chereads / Arla (Awal Akhir Hidup Sekolahku) / Chapter 6 - Buat Klub Sastra! (3)

Chapter 6 - Buat Klub Sastra! (3)

Kami berdua membaca buku diruangan klub ini, duduk dibangku yang berseberangan dihalangi meja, dia membaca buku dengan serius sampai bel istirahat berbunyi.

"Kalo begitu aku duluan." Ucapnya yang meninggalkan ruangan lalu menutup pintu secara perlahan.

Aku memang orang yang suka sendiri, dan aku tidak tahan dengan kecanggungan yang terjadi tadi, jadi lebih baik aku yang terlambat kekelas daripada harus berjalan berduaan dengannya. Dengan cara seperti ini mungkin klub sastra tidak akan mendapatkan anggota lagi, aku harus memikirkan cara lain nanti jika klub ini terancam dibubarkan.

Aku yang masih duduk nyaman pun langsung terbangun setelah mendengar langkah kaki Yara tak terdengar lagi. Setelah digedung baru aku menuju kelas melalui lorong kosong dilantai dua, ini membuat ku benar-benar tenang, mendengar suara samar murid-murid yang sedang berbincang dikelas yang aku lalui. Ketenanganku terhenti saat perempuan berambut jingga panjang dan berwajah cantik ini tiba-tiba menghampiriku.

"Arlaaaa!" Ucap Iyana, yang suaranya mungkin terdengar sampai kekelas yang ada disamping ku.

"A-ada apa?" Ucapku datar.

"Hmmmm? Enggak." sembari tersenyum ia menatapku.

"Kalo begitu aku kekelas dulu." Aku yang berusaha menghindarinya dengan langkahku dengan cepat dihentikannya.

"Tunggu, nanti aku tunggu didepan gerbang sekolah ya. Ceritakan semuanya." Iyana yang terus mengemut permennya dihadapan ku. Bisa dibilang dia imut dan cantik.

"Aku harus hadir di klub sastra, jadi mungkin tidak bisa." Sepupuku ini memang sedikit gila, apa yang dia lihat dariku? Aku ini hanya murid biasa yang culun, jadi jangan terus dekati aku.

"Hah! Kamu ikut klub sastra? Kalo begitu aku juga ikut!" Ucapnya semangat seraya mengacungkan tangan dengan permen diatasnya.

"Kau serius? Kalo begitu nanti bawa formulir pendaftarannya, dan setelah bell pulang aku tunggu didepan kelasmu." Ucapku datar.

Dengan ini setidaknya aku bisa mengambil bagian dari klub dengan membantu menambah anggota klub yang kurang. Lagi pula Iyana adalah orang yang cepat bosan, ia pasti tidak akan datang disetiap pertemuan klub.

"Wow! Sudah lama aku tidak melihat Ardatar serius, kalo begitu aku juga semangat!" Iyana yang mengejekku dengan nama panggilanku yang dulu itu tersenyum lagi dan melompat dengan girang.

"Kalo begitu aku kekelas dulu." Ucapku datar. Ini kedua kalinya aku menghindar darinya dengan langkah kakiku, dan lagi-lagi dihentikannya.

"Bareng!" Iyana dengan semangat menyusulku dan berjalan seperti anak kecil yang kegirangan disampingku.

Aku yang tak bisa apa-apa hanya menurutinya dan terus berjalan tanpa bicara. Setelah aku berjalan dengannya tiba-tiba banyak mata yang melirik kearah kami berdua. Jujur aku benci jadi pusat perhatian, apalagi jadi gosip.

"Hmm? Kenapa?" Iyana yang heran melirik kearah kelas yang memperhatikan kami berdua.

"Enggak." Ucapku datar.

Iyana menurutku pintar, ia bisa berpikir cepat pada pelajaran menghitung, bahkan ia pernah memenangkan kejuaraan nasional disetiap cabang pelajaran menghitung, tapi sayangnya bakat ini dihalangi oleh sifat kekanak-kanakkannya ini.

Tepat sampai didepan pintu kelas yang digeser, Iyana yang juga ingin masuk tiba-tiba terhenti tanpa sebab atau mungkin setelah melihat pandangan murid dikelasku atau mungkin juga karena hal lainnya. Pokoknya aku tenang setelah ia tak jadi masuk kekelasku.

"Oooh begitu, yasudah aku kekelasku dulu. Aku tunggu Arla." Ucapan Iyana yang lumayan nyaring membuat para murid dikelas menatapku dengan tajam.

Tanpa bicara aku langsung duduk dibangku kesayanganku ini, bangku yang hanya bisa ditempati satu orang ini sangat cocok untukku. Setelah duduk dan perhatian murid kelas padaku mulai reda, Awan tiba-tiba melirik dari depan karna ia duduk dibelakangku dan juga Roy yang melirik dari samping mejaku.

"Arla!, ada urusan apa sama cewek tadi?" Awan yang mengatakan itu dengan pelan dan serius.

"Iya mas Arla, ada masalah apa sama dia?" Roy yang juga menyaut disampingku.

Ada apa ini? Kenapa mereka menanyakan Iyana dengan serius seperti ini. Aku tau dia mungkin akan menjadi pusat perhatian dengan cepat, tapi tak mungkin secepat ini.

"Gak ada, dia cuman sepupuku." Ucapku datar ditengah-tengah wajah serius mereka berdua.

"Pantesan. Tapi kau tidak tau? Tadi ada rumor, katanya dia melawan 10 orang laki-laki kelas sebelas, dan dia menang tanpa luka sedikitpun."

"Iya benar mas, tadi rame banget yang ngomongin, sampe tiba-tiba mas Arla datang sama yang diomongin."

Aku hampir lupa, dia pernah sampai ke final kejuaraan Pencak silat dan bahkan pernah mengalahkan gurunya sendiri. Tapi aku tidak menyangka dia membuat kerusuhan secepat ini.

"Itu mungkin saja, dia pernah masuk kefinal pencak silat nasional." ucapku datar.

"Apa?! Wanita kaya dia?" dengan memegang kepalanya, Awan terlihat pusing sendiri.

"Wah hebat juga ya? Saya juga suka silat, tapi belum pernah ikut kejuaraan kaya dia." Roy dengan wajah kaget mulai heran dengan Iyana.

Dan juga seperti aku merasa hawa tidak enak dari belakang, tempat duduk Yara. Sekitar tiga menit berlalu dan pak abu pun masuk kekelas seraya membawa kasur lantainya.

"Halo semua. Hari ini bapak ngantuk, jadi bapak akan kasih tugas dengan penjelasan yang tertulis dan harus kalian pahami sendiri. Dan kartu siswa kalian sudah jadi dan akan dibagikan oleh ketua kelas. Untuk sekretaris tolong tulis dipapan tulis soal ini, dan untuk ketua kelas tolong bagikan kartu siswa ini." pak Abu yang duduk menunjuk Naras yang duduk ditengah dan Hika yang duduk paling depan.

"Ba-baik pak!" ucapnya nyaring dan imut. Lalu mengambil kertas selembaran itu dan menulis dipapan tulis.

"Oke pak." Setelah Naras, Hika pun bangun dan mengambil tumpukan kartu itu.

"Yasudah, kalo begitu bapak tidur dulu." Dan setelah itu pak Abu pun tidur dikasur lantainya.

Tak ada tanggapan apapun dari murid yang berpengaruh seperti Bizard dan Ririri, mungkin mereka takut setelah kejadian waktu itu. Kartu dibagikan berurut sesuai absen, jadi ia harus memutar beberapa kali.

Kartunya berwarna biru muda dan tua dengan kombinasi yang keren menurutku. Terpampang foto kami dikartu itu dan disamping nya terdapat kode QR untuk masuk ke aplikasi sekolah.

Seperti yang diumumkan di poster waktu itu, pak Abu adalah guru matematika yang kadang menjadi guru pengganti semua pelajaran, Bisa dibilang pak Abu ini jenius.

Soalnya sangat mudah untukku, tapi belum tentu bagi yang lain. Seperti Awan yang daritadi melihat kearah soalku. Sayangnya jika melihatku kau akan mendapat nilai 50, karna aku menyukai angka lima, dan juga ini permulaan yang bagus supaya aku dianggap bodoh dikelas.

Saat semua murid selesai dan Awan yang paling lambat akhirnya selesai. Semua murid mengumpulkan bukunya kemeja paling depan supaya diambil sang ketua kelas dengan cepat. Beberapa detik sebelum bel, pak Abu bangun.

"Yasudah, nanti kumpulkan keruangan bapak soalnya. Oh iya, untuk kartu siswa kalian beruntung lho. Soalnya dulu kartunya warna coklat, karna yang desain pak kepala sekolah. Tapi yang sekarang bapak desain. Hoaaaam, semoga menyenangkan." Pak Abu pun keluar dengan kasur lantai yang ia seret.

Kartunya memang bagus dalam hal desain, bahkan foto kami mungkin sedikit diedit. Ada yang sampai kegirangan dan marah juga tertawa setelah melihat kartu siswanya. Awan didepanku terlihat marah setelah melihat foto mukanya pada kartu siswa itu, wajah Awan pada foto itu mungkin sengaja diedit agar terlihat mancung seperti pinokio. Dan fotoku dikartu itu juga diedit, kacamataku terlihat terlalu besar sampai menutupi sebagian wajahku. Dan Roy yang malah tertawa setelah melihat fotonya dengan telinga yang diedit seperti telinga gajah. Pak Abu, seberapa besar humormu?

Sebaiknya aku tidak membuang waktu. Setelah bell pulang sekolah, ada yang langsung pulang dan ada juga yang malah berbincang riang dengan teman-temannya. Aku bangun dari tempat dudukku setelah pamit pada Awan dan Roy, dan beranjak menuju kelas Iyana yang berada dikelas A, kelas paling ujung didekat tangga. Sebelum keluar kelas, aku berhenti disamping tempat duduk Yara.

"Aku mungkin akan membawa anggota baru, jadi bisa kau tunggu di ruang klub." Ucapku datar.

"I-iya, terimakasih bantuannya." Ucap Yara yang mungkin kaget mendengar ucapanku.

"Sama-sama."

**

Didepan kelas Iyana, yaitu kelas A yang pastinya akan ramai dengan orang-orang pintar didalamnya yang membicarakan poin sekolah. Setelah melihatku diluar pintu, iyana langsung pamit dengan teman-teman yang berada didekat mejanya dan berkemas lalu menuju pintu keluar.

Mungkin setelah merekrut Iyana aku akan menjaga jarak dengannya supaya aman dari perhatian banyak orang.

"Arlaaaaa udah nunggu?" Senyumnya seraya mengemut permen dibibirnya.

"Enggak, baru datang." Ucapku datar.

Sekilas aku melihat beberapa murid menatap tajam kami berdua saat berbincang.

"Kalo begitu ayoooo!" Semangat Iyana dengan menunjuk jalan yang akan dilalui dengan permen warna putih itu.

Sebenarnya aku sedikit penasaran dengan rumor yang ramai dikelas tadi. Tentang Iyana yang mengalahkan 10 orang laki-laki yang mungkin tubuhnya lebih besar darinya. Meskipun wanita ini sering kuhindari, tapi dia tetap keluargaku. Setidaknya aku ingin membantu sedikit masalahnya.

Setelah diluar gedung baru menuju gedung lama, aku pun bertanya tentang rumor itu.

"Iyana, apa benar rumor yang bilang bahwa kau melawan 10 orang?" tanyaku.

"Ohhhh. Memang benar aku yang mengalahkan mereka semua, tapi yang mulai juga mereka. Bahkan mereka ngatain aku lacur." Dengan wajah yang terlihat marah ia mengepalkan tangannya.

"Tapi kau tidak apa-apa akan? Bahkan ada yang bilang kau tidak terluka." Ucapku datar.

"Arla tenang aja, aku gak apa-apa kok. Jadi kamu khawatir ya?" Seraya tersenyum ia terus menatapku tanpa aku balas tatapannya.

"Itu wajar, lagi pula kau itu sepupuku." Ucapku datar.

"Hehehe, gitu." Semangatnya sepertinya kembali, dengan langkahnya yang seperti melompat-lompat, ia mendahuluiku dan berputar-putar dalam langkahnya.

Saat hampir sampai didepan gedung lama, ditempat yang terlihat sepi tiba-tiba dia berhenti dihadapanku.

"Arla!" Ucapnya tiba-tiba didepanku.

"A-apa?" kataku kaget.

Sambil menatap kearah ku, Iyana tiba-tiba mengambil kacamata ku dengan cepat setelah mengalihkan pandanganku. Dan angin yang tiba-tiba terhembus kencang membuat rambut yang menutupi bagian keningku terlihat. Mungkin sekarang dia telah melihat wajahku

tanpa kacamataku.

"Kamu itu tampan tauuu. Coba lepas kacamatanya dan pakai lensa kontak kaya aku." Iyana yang memerhatikan kacamataku dan malah memakainya setelah itu.

"Mungkin. Tapi aku lebih suka kau yang dulu dengan kacamatamu." Cara yang paling mudah mengalahkan Iyana adalah dengan perasaannya. Kadang ia tersipu malu tidak jelas dihadapanku setelah mengatakan hal-hal yang memuji dirinya.

"E-eh, ka-kalau begitu kacamata ini untukku aja." Ucapnya yang kini tersipu malu, lalu melanjutkan langkahnya yang terhenti sejenak.

"Kalau kau mau, tapi itu tidak sesuai dengan ukuran mata min mu kan?" Memang kacamata itu sudah aku pakai sejak di pesantren dulu, jadi mungkin aku akan membeli yang baru.

"Gapapa, aku suka kacamatanya."

Mungkin aku berikan saja kacamataku, lebih baik berguna daripada jadi kenangan.

**

Setelah sampai didepan ruangan klub sastra, Iyana membuka pintunya dengan semangat dan langsung kaget setelah tau ada orang didalamnya.

"A-arla, di-dia siapa?" tanya Iyana

"Dia Yara, ketua klub sastra."

"Oh, kukira siapa. Perkenalkan aku Iyana, hehe."

"Yara, salam kenal juga." Yara yang terlihat gugup.

"Mana formulir pendaftarannya?" tanyaku.

"Tenang, ini diaa!" Iyana mengeluarkan secarik kertas dari tas pink besarnya.

Yara pun membaca dan menandatangani formulir pendaftaran Iyana dengan hati-hati seperti sebuah artefak kuno yang mudah hancur. Sifat kaku nya yang membuat Iyana menahan tawa.

"Se-selamat bergabung ke klub sastra." Ucap Yara setelah menandatangani formulir itu.

"Te-terimakasih." Iyana yang daritadi menahan tawanya perlahan mengendalikan diri.

"Selamat datang ya." Ucapku.

"Terimakasih. Hehe."

Klub ini hanya membutuhkan 2 orang lagi untuk berjalan. Tapi apakah aku mengajak orang yang salah seperti Iyana kedalam klub seni padahal dia orang yang cepat bosan.

"Jadi kegiatan hari ini apa?" tanya Iyana dihadapan kami berdua yang sudah duduk.

"Belum ada kegiatan untuk saat ini, karena anggota klub nya belum lengkap." Terang Yara yang sejenak menyudahi membaca bukunya.

"Yahhh." keluh Iyana.

"Kegiatan biasa klub sastra kan membaca buku, bagaimana kalau kau coba membaca buku?." tawarku padanya.

"Boleh-boleh. Kalau buku yang kau baca itu apa?" Iyana semangat.

"Oh, ini sastra kuno, kalau kau mau pinjam silahkan." Ucapku. Lagi pula buku ini sudah aku baca selesai tiga kali, dan ceritanya benar-benar menarik.

"Kalau begitu aku pinjam." Dengan gesit ia mengambil buku yang aku pegang.

Untungnya aku selalu membawa dua buku, satu untuk dibaca dan satu untuk dinikmati. Buku untuk dibaca rata-rata adalah buku baru dan top teen, mungkin bagi banyak orang ceritanya menarik. Tapi isinya hanya cerita monoton menurut pendapatku.

"Tulisannya gak jelas, aku gak ngerti." Iyana memang orang yang cepat bosan. Ia lalu menghampiri Yara yang duduk dihadapan kami.

"Kalo Yara baca buku apa?" Iyana memerhatikan judul buku yang dibaca Yara.

"I-ini buku kisah tentang kerajaan kuno." Yara sepertinya sedikit canggung terhadap sesama wanita.

"Liat dong! Gantinya ini buku Arla yang gak jelas."

"Iya." Yara yang setuju lalu menukarkan bukunya dengan bukuku yang dipinjam Iyana.

Omongan Iyana menusuk perasaanku terhadap buku bagus itu. Meskipun hanya buku, buku tetaplah sebuah karya yang patut dihargai.

Mereka berdua melanjutkan membaca dengan serius. Apalagi Iyana yang sepertinya tertarik dengan cerita didalamnya. Membaca dengan kacamataku, Iyana tidak terlihat kesulitan, apalagi dia kan masih memakai lensa kontaknya.

Karena aku sudah ibadah, sepertinya tak apa-apa aku melanjutkan membaca diklub ini hingga jam empat sore. Apalagi melihat Iyana yang baru kali ini terlihat semangat membaca buku. Biasanya Iyana hanya tertarik dengan buku hitung-menghitung, tapi kali ini dia membaca buku yang lain seperti ini.

"Wahh seru, boleh aku bawa pulang?" Iyana memeluk buku itu setelah membaca hampir setengah dari buku itu.

"Boleh, tapi aku juga mau meminjam buku ini." Seraya menyodorkan buku itu Kepada Iyana.

"Oh boleh, jadi kita saling meminjam. Hehe." Iyana melakukan hal yang sama, yaitu menyodorkan bukunya.

"I-iya." Setelah menerima bukunya, Yara terlihat sedikit tersenyum.

Mereka berdua kembali duduk dan memasukan buku yang dipinjam ke tas mereka.

"Arla ayo pulang!" Ucap Iyana yang sepertinya sudah bosan terhadap suasana disini.

"Iya, kalo begitu aku duluan Yara." Ucapku didepannya yang sejenak terhenti dari keseriusan membacanya.

"Aku juga." Ucap Iyana setelahku.

"Iya, terimakasih telah hadir."

Ucapan Yara yang kini lebih sopan padaku setelah ada Iyana yang bergabung. Biasanya Sikap Yara sangat dingin dan tidak mempedulikan hal-hal disekitarnya. Tapi kali ini sepertinya ia mulai bersosialisasi dengan anggota wanita klub sastra.

"Sama-sama. Sampai jumpa besok." Ucap Iyana sebelum menutup pintu.

Tak ada apapun saat kami berdua menuju keluar dari sekolah. Dia hanya tersenyum dan berjalan dengan semangat seperti biasanya. Sampai tepat didepan gerbang sekolah, ia berhenti didepanku setelah melihat mobil jemputannya datang.

"Terimakasih Arla, hari ini benar-benar menyenangkan. Sampai jumpa besok."

"Sama-sama." Ucapku datar.

"Seperti biasa, mukamu selalu datar ya Ardatar."Setelah tersenyum dihadapanku ia berbalik dan masuk kemobil biru yang sudah menunggunya.

Dengan jendela mobil yang sedikit terbuka kebawah, aku bisa melihat sebagian wajahnya yang memakai kacamataku. Terlihat tersenyum ia menatapku sekali lagi dan berkata.

"Oh iya, terimakasih kacamatanya." Setelah mengatakan itu ia langsung fokus kearah jalan dan terlihat sedikit bersenandung. Mobil pun terlihat menjauh perlahan dariku dan dari sekolah, dan langsung menghilang kekeramaian jalan.

Aku harus membeli kacamata baru hari ini. Dengan uang tabunganku, sebenarnya aku bisa membeli kacamata dengan kualitas bagus. Tapi lebih baik membeli yang standar, apalagi aku tidak terlalu percaya dengan kualitas bagus dengan harga mahal. Jadi barang kualitas standar adalah barang terbaik menurutku.