Chereads / Arla (Awal Akhir Hidup Sekolahku) / Chapter 8 - Buat Klub Sastra (5 End)

Chapter 8 - Buat Klub Sastra (5 End)

Suara burung dan angin terdengar di alam bawah sadarku, itu suara alarm yang aku set. Mendengarnya aku langsung bangun dan memakai kacamataku lalu melihat Yara yang sedang membaca buku.

Lima menit lagi sebelum istirahat berakhir. Aku benar-benar ingin tidur kembali, setelah beradaptasi dengan keadaan ini aku bangkit meminta izin untuk kembali kekelas.

"Sekitar lima menit lagi istirahat berakhir, aku kembali kekelas." Ucapku Datar.

"Samaan aja, dan juga ada hal yang mau aku bicarakan." Yara yang bangkit dari duduknya setelah ucapanku.

Sebenarnya aku sedikit khawatir jika berjalan bersama wanita, tapi ini tidak akan terlalu menarik perhatian dengan wanita paras sederhana seperti Yara.

"Iya."

Mengunci pintu Klub, Yara berjalan berdampingan denganku seraya menyamai langkahnya denganku.

Ruang klub disekolah ini terbagi-bagi, ada yang digedung baru dan ada yang digedung lama. Perjalanan menuju kelasku yang berada di gedung baru pertama lumayan jauh, memakan waktu sekitar 6 menit. Diperjalanan seperti yang diperkirakan Yara hanya akan bicara ditempat sepi.

"Sepertinya iklan tidak terlalu efektif untuk mencari anggota. Apa kau punya ide lain?" Tanya Yara.

"Entahlah, aku tak yakin. Tapi aku punya calon yang mungkin mau mendaftar ke klub kita." Jelasku.

"Hmmm, pasti naras yang meminjam bukumu kan? Kurasa di tak cocok."

"Kenapa?"

"Dilihat dari minatnya saja dia mungkin hanya suka buku yang disukai orang lain seperti yang kau pinjamkan padanya."

"Aku rasa dia cocok, secara bertahap mungkin dia akan menyukai buku dengan keinginan dan sudut pandangnya sendiri. Potensi seseorang kadang bisa dilihat dari minatnya dan cara beradaptasi dengan apa yang ia minati."

"Bertahap ya? Buku di ruang klub rata-rata sudah dimakan rayap, mungkin dia tidak akan menemukan minatnya jika tak ada buku disana. Tapi tentang potensi mungkin kau benar."

Buku di ruangan yang disimpan di kardus dekat lemari hampir semuanya rusak. Rata-rata bolong-bolong, setelah aku melihatnya bahkan ini sudah tak layak baca lagi.

Potensi manusia tidak selalu bisa diliat dari kemampuannya, tapi dari keinginannya.

"Aku punya banyak buku bekas digudang, aku bisa mengambil beberapa dus untuk melengkapi buku yang sudah rusak."

"Te-terimakasih, kalau kau mau aku bisa bantu membawa bukunya."

"Tak usah, aku bisa sendiri."

"Iya, terimakasih sekali lagi."

"Sama-sama. Jangan terlalu formal terhadapku, aku juga anggota klub jadi biasa saja jika aku membantu."

"I-iya juga. Maaf."

Keheningan terjadi setelah kita sampai di halaman sekolah gedung baru pertama, banyak murid yang sepertinya ingin kekelas.

"Sepertinya aku juga punya calon untuk klub, dia temanku."

"Oh, baguslah. Sepertinya klub ini akan bertahan selama masih ada empat orang minimal anggota."

"Lima kan?"

"Iya, maksudku lima."

Aku sengaja tak ingin memasukkan Iyana, karena mungkin dia akan keluar setelah beberapa minggu.

Apa yang akan aku lakukan di grup ini hanya membaca dan sedikit menulis karya, dan sepertinya mengikuti aktivitas klub.

**

Setelah masuk kelas aku berpisah dengan Yara ketempat duduk yang sebenarnya tak terlalu memisahkan kita.

Aku berencana untuk memasukan Naras karena dia punya potensi yang mungkin melebihiku dalam hal menulis. Rencananya aku akan langsung pulang paling awal saat tes terakhir supaya Naras mengejarku dan memintanya untuk bergabung dengan klub sastra jika dia mau.

Pak Abu seperti biasa masuk dengan kasur lantai biru, tapi kali ini berbeda dia benar-benar mengajarkan kami dan memberi penjelasan yang mudah dipahami. Karena hari ini pelajaran matematika, aku yakin Pak Abu akan mengadakan tes sebelum pulang.

Setelah satu jam penjelasan yang rinci, kami diberi 24 soal dengan penjelasan yang diajarkan tadi, tapi dengan kesulitan yang berbeda. Satu jam tersisa untuk menyelesaikan tes ini, tapi sebelum tes dimulai Pak Abu berucap 'yang pertama selesai langsung boleh pulang.'

Aku hanya mengerjakan setengah dari soal yang mudah dengan jawaban salah, dan yang susah dengan jawaban benar. Hasilnya akan lima puluh dengan begini juga aku bisa langsung pulang paling awal.

Setelah merapikan alat tulisku, aku langsung berdiri dan menyerahkan lembar kertas jawaban dari bukuku ke meja pak Abu. Aku mengucapkan salam dan keluar.

Sepertinya banyak yang melirikku karena baru sekitar sepuluh menit aku langsung selesai, apalagi bizard de mish yang menatapku dengan tajam di meja paling depan barisan ke tiga.

Meninggalkan kelas, aku langsung memutuskan untuk tidur di kantin. Sembari menunggu Naras yang akan lewat setelah jam akhir sekolah, aku duduk diposisi dimana aku dengan mudah melihat anak yang keluar dari koridor.

Suasana kantin saat jam terakhir sangat sepi. Kantin yang berada di lantai satu disetiap gedung sekolah membuatku dengan mudah bisa tidur dengan tenang karena kelas dilantai satu masih kosong untuk saat ini. Itu pengandaianku sampai Iyana yang sedang asiknya memakan bakso dan dengan spontan melihat kearahku.

Anehnya kali ini dia tidak menyapaku dengan suaranya yang nyaring dan wajahnya yang ceria, setelah melihatku dia hanya diam dan menahan diri lalu melanjutkan memakan bakso.

Aku dengan terpaksa duduk di kedai disampingnya dan memesan satu gelas susu dan menghabiskan setengah dari susu putih itu, sekitar 35 menit lagi sampai bel sekolah berbunyi. Mengatur timer 20 menit dan aku terlelap lagi ditempat duduk kedai ini.

**

Aku mengatur nada dering musim panas yang sangat menenangkan, sampai-sampai membuat tubuhku rileks saat aku mendengarnya dan ternyata aku salah perkiraan.

Saat aku bangun sebelum membuka mata, hal aneh yang kurasakan pertama adalah posisi tidurku yang tadinya duduk berubah menjadi terlentang dengan sesuatu seperti bantal dibawah kepalaku. Dan saat aku membuka mata, wajah Iyana sudah sangat dekat dengan wajahku, aku menutup mataku dan perlahan bangun dari tidurku di paha Iyana.

"Eh, ada apa Arla? Bukannya lagi tidur?" Ucapan riang Iyana membuatku sedikit trauma di masalalu.

"Apa maksudmu? Buat apa kau melakukan ini?"

Aku duduk disampingnya dengan tasku diatas meja dan susu yang kini habis oleh Iyana.

"A-aku tadinya mau ngambil susu bekas kamu, dan yang tadi itu gak sengaja Arla, hehe."

Wajah Iyana yang sekarang gugup dan meminum gelas kosong dihadapannya lagi-lagi mengingatkanku dengan kejadian masa lalu itu.

"Untuk susu aku bisa maafkan, tapi untuk yang lainnya tidak."

"Aku minta maaf, ta-tadi aku ke bawa nafsu. Kau tau kaya di film-film romance."

"Aku belum bisa memaafkannya."

"A-Arlaaaa maaf." Bujuk Iyana dengan senyum manisnya.

"Gak."

"yahhh." Kali ini wajah sedihnya.

"Tapi kenapa juga kau sudah ada dikantin sebelum jam pulang sekolah."

"Hiks. Jadi ada tes matematika di kelasku. Pasti kau tau kelanjutannya kan?"

"Ya. Sebaiknya kau pulang daripada disini."

Iyana sangat berbakat dalam matematika, pantas saja ia langsung pulang paling awal.

"Apa kau tidak mau tanya? Te-tentang pacarku gitu?" Harapnya dengan malu-malu.

"Oh, memangnya siapa pacarmu?"

Aku yakin bahwa dia hanya membuat drama untuk membuat kesan padaku, supaya memperhatikan dirinya. Kali ini aku akan mengakhiri dengan cepat kesannya.

"Te-tentang pacarku itu, dia ada di kelasmu."

"Itu aku kan?"

Aku benar-benar sudah lelah dengan sikapnya, dengan ini aku akan menjauh darinya sementara ini.

"I-itu, mu-mungkin..." Wajahnya merona kali ini.

"Aku membencimu dan yang kau lakukan padaku di masa lalu. Jika kau ingin aku maafkan, jangan pernah lakukan hal seperti tadi lagi." Ucapku datar.

Matanya dan hatinya yang mungkin sudah terguncang dengan yang kukatakan, wajahnya seperti ingin menangis dihadapanku dan kini tak berani menatapku lagi.

"Ma-maaf." Suara Iyana terdengar lirih.

Bel berbunyi setelah ucapannya, suara murid yang bahagia pun keluar dari kelas mereka dengan ramai.

Suara langkah kaki keluar dari lorong panjang, para murid pun keluar satu persatu dari lorong. Sosok Naras pun terlihat berjalan sendiri sembari membawa buku.

"Aku pergi dulu."

"Tu-tunggu." Seperti menggapaiku dan hilang, tangannya kali ini hampa meraihku.

Aku pergi meninggalkan Iyana menuju Naras dengan rencanaku merekrutnya.

Menyamai langkahnya dengan Naras, aku perlahan mendekatinya dari belakang dan menepuk pundaknya.

"Eh." Naras menoleh.

"Ada yang mau aku bicarakan."

"Bo-boleh, oh iya ini bukumu." Naras menyodorkan bukunya padaku.

"Untukmu saja."

"Ta-tapi-" Aku menarik Naras supaya tidak menghalangi jalan.

"Mari bicara sambil berjalan."

Kerumunan murid membuat kami berjalan berdampingan.

"Apa kau mau bergabung ke klub sastra?"

"A-aku masih ragu..... kurasa aku juga cukup tertarik tentang buku-buku sastra. Tapi....."

"Kenapa?"

"Situasinya kurasa sangat mencolok, dengan kehadiran Iyana membuatku sedikit takut."

"Tenang, dia tak akan menyakitimu selama itu tidak berkaitan dengan perasaannya."

"Ummm.... "

"Tenang, ada anggota yang bisa kau tanya banyak hal tentang buku."

"Kurasa Aku akan menjawabnya besok, ma-maaf Arla."

"Tak apa, pikirkan baik-baik. Jika sudah yakin, datang keruang klub!"

"Ummu!" Angguknya padaku lalu berlari ringan menuju angkutan umum.

Aku heran ada laki-laki dengan sikap seperti wanita, wajah dan suaranya jika dibalik menjadi wanita mungkin aku sudah jatuh cinta.

**

Esok harinya setelah pulang sekolah aku menunggu di ruang klub yang masih setengah berantakan dengan Yara, kami duduk saling berhadapan kembali.

Dia kali ini membaca buku dengan sedikit khawatir, sekali-kali melihat pintu dan kembali fokus ke bukunya.

"Tentang murid yang kau rekrut menjadi anggota, apakah akan datang hari ini?" Mendengar ucapanku dia menatap kearah dadaku sepertinya.

Jujur aku juga tak pernah melihat wajah wanita secara langsung, tapi jika itu ketidak sengajaan Aku biarkan.

"Ya, katanya dia akan datang hari ini."

"Tok.... Tok.... Tok....."

Suara lembut ketukan pintu terdengar samar sampai Yara menyadarinya dan membuka pintu itu.

"Ma-ma-maaf A-aku terlambat."

Gadis yang Imut, wajahnya yg memakai kacamata rambut poninya dan tingkahnya yang malu-malu. Itu pandangan pertamaku padanya.

"Gapapa kok Lovi, ayo masuk."

Lovi masuk dan duduk dengan gugup.

"Salam kenal Aku Arla, Ananda Arla Aulia Rohman." Aku memberi salam dengan cara Islami.

"Sa-salam kenal juga, Aku Chintya Lovi Natya." Caranya salam sama denganku.

Membawa tas seukuran punggungnya, syal dilehernya dan kacamata bundar dimatanya dia tersenyum. Senyum indah yang bahagia.

"Aku juga, Iyana. Salam kenal!"

"I-iya."

Rambut jingga itu melesat didepanku. Iyana sudah berubah, sadarku saat itu tentang sikapnya yang kini tak lagi lari dari kenyataan. Aku ingin tahu bagaimana ia akan bereaksi padaku saat ini.

Iyana mengambil bangku dan duduk disamping kanan ku, melirikku dan tersenyum ia membaca bukunya dengan fokus.

Tiga puluh menit berlalu, Naras yang aku tunggu tak kunjung datang, khawatir kemungkinan dia tidak bergabung juga cukup tinggi.

Mereka bertiga berkumpul seperti wanita pada umumnya, yang membedakannya mereka membicarakan buku bukan orang lain. Dan lagi sepertinya Iyana kali ini bahagia, mungkin minta maaf adalah salah satu gerbang terbukanya komunikasiku lagi dengannya.

Selagi memikirkan tentang permintaan maaf, suara pintu terbuka tiba-tiba. Naras perlahan masuk lalu memperkenalkan diri dengan percaya diri.

"Namaku Naras, aku laki-laki. A-aku ingin bergabung ke klub ini."

"Kau diterima!" Iyana lantang dengan senyumnya.

"Baik, kau diterima. Bisa serahkan formulir pendaftarannya?" Yara yang mengkonfirmasinya setelah pernyataan Iyana.

"Ini."

Setelah itu kami semua duduk disana sampai pukul 4, mereka bertiga yang berbincang asik dengan pembukaan Iyana yang tepat dengan suasananya. Dan Aku dengan Naras yang berbagi rekomendasi buku.

"Semuanya terimakasih telah bergabung dengan klub ini, Aku benar-benar tidak tau lagi harus apa. Saat ini dan untuk nanti Aku berharap kita bisa berbagi dan saling membantu."

Yara mengatakan itu dengan penuh harap dimatanya, dan dengan yakin mengatakan itu untuk berterimakasih pada kami. Saat aku melihat senyumnya, aku tidak yakin apa yang ku lihat, paras yang berbeda darinya.

"I-itu berlebihan Yara, tapi aku juga berterimakasih." Lovi yang pertama bereaksi.

"Aku juga, Aku senang sudah diajak bergabung. Terimakasih!" Iyana semangat dengan cara sederhana.

"Sama, kami masuk dengan keinginan kami sendiri, jadi tanggung jawab juga pada kami sendiri. Terimakasih ketua." Aku mengatakannya dengan suara yang tidak terlalu keras jadi mungkin hanya Yara yang mendengarnya karna Iyana yang berisik.

"Aku juga. Terimakasih Arla, ketua klub Yara, Lovi, dan Iyana."

Naras tersenyum didekat wajahku membuatku sedikit merona, dan kurasa Iyana menatap Naras tajam sejak itu.

"Sekali lagi terimakasih teman-teman. Karna hari ini klub kita baru mendapat anggota yang cukup untuk kegiatan, jadi hari ini mari bubar."

Kami bubar dengan perlahan diawali dengan Yara dan Lovi secara bersamaan lalu diikuti Iyana yang pergi bersama mereka setelah memainkan handphone nya sebentar.

Terakhir Aku dan Naras yang berjalan berdampingan. Ruangan klub itu tertutup olehku dan meninggalkan suatu kisah disana, Aku berharap bisa melihat cercah cahaya senja itu sampai akhir sekolahku.

Klub yang selesai dibuat dengan anggota lima orang yang menjadi alurku, semoga alur hidupku nanti terbuka dengan indah disana.

Perlahan semuanya menjadi Akhir termakan waktu, tak ada yang tak indah meskipun akhir penghancur absolute segalanya. Aku sadar saat aku membangun banyak hal dengan duniaku, apa gunanya jika semua menjadi akhir. Namun pada akhirnya tak ada salahnya untuk menikmati hidup dengan cara apapun dengan bahagia dan bersyukur.