Chereads / Hari Itu di Depan Toko Buku / Chapter 2 - Chaper II Hadiah untuk Ayah

Chapter 2 - Chaper II Hadiah untuk Ayah

Di sebuah ladang milik keluarga sederhana, seorang gadis berkulit sawo matang yang tampak manis dibalut kemben dan dengan wajah berbentuk oval berambut hitam panjang diikat sedang mengairi sawah milik keluarganya dari aliran irigasi dengan membuka kutup di irigasi yang langsung menyambung ke sawahnya saat matahari sedang berada di tangah jalan menuju titik puncaknya.

Sistem irigasi sederhana yang dibuat oleh Raja Banyu itu menyambung dari Sungai Besar Permata. Diantara sungai dengan aliran tersebut dihubungkan dengan sebuah pintu besi yang dapat membuka-tutup secara manual. Sejak pembangunan irigasi, hasil panen dari sawah-sawah yang ada semakin meningkat dan tidak perlu khawatir bila sedang musim kemarau. Untuk menjaga pintu besi, Raja Banyu memerintahkan penjagaan sepanjang hari kepada pasukan kerajaan. Siapapun dapat memanfaatkan sistem irigasi secara cuma-cuma.

"Pertiwi, kemari. Istirahat dahulu," panggil seorang pria tua yang terlihat sudah memasuki kepala enam di jalan depan sawah Pertiwi.

"Iya ayah. Nanti Pertiwi kesana," sahut Pertiwi kepada pria tua yang dia panggil ayah itu yang dibalas senyuman.

Setelah memastikan air yang menggenangi di sawahnya cukup, Pertiwi segera menghampiri ayahnya yang telah menunggu di dangau milik mereka.

"Ini makan dulu, kamu sedari pagi belum makan kan?" ucap sang ayah sambil menyodorkan singkong rebus dan pisang yang dibawanya.

"Terima kasih ayah," unjarnya sembari menaiki dangau lalu duduk dengan menekuk kakinya yang dibalut oleh kain batik murahan berwana coklat kedepan.

"Ayo habiskan, ibumu sedang masak banyak hari ini,"

"Benarkah? Asyik," dengan raut muka senang ia pun mengambil satu singkong rebus lalu memasukkan singkong itu secara perlahan ke mulutnya. Rasa singkong rebus hangat yang lembut dan nikmat langsung merasuki rongga mulutnya.

"Makasih ya kamu mau bantuin ayah untuk ngurus sawah," ucap ayahnya sembari membuka kulit pisang.

"Tidak apa-apa kok yah. Kan aku dari kecil memang suka main disawah, hehehe" balasnya sembari tertawa kecil melebarkan bibirnya membentuk sebuah senyum manis ala kembang desa.

Saat ayah dan anak itu menikmati santapan, beberapa gadis yang berjalan bersama menghampiri dangau Pertiwi,

"Pertiwi," teriak seorang gadis diantara kawanan gadis-gadis berjumlah tiga orang.

"Hai teman-teman," balas Pertiwi.

"Salam om Marhein," rombongan gadis-gadis itu memberi salam ke ayah Pertiwi.

"Salam juga, pada habis dari mana?"

"Kami habis membantu orang tua kami masing-masing," unjar salah seorang diantara mereka.

"Oh bagus-bagus. Ada perlu apa?" om Marhein kembali bertanya.

"Kami ingin mengajak Pertiwi jalan-jalan ke kota om,"

"Oh iya aku lupa. Maaf ya teman-teman," Pertiwi pun menyahut sambil tersendak kaget teringat sesuatu, "maaf ya Maya, Daryati, Emilia,"

"Kamu gimana sih Wi, kamu tidak bilang kalau ada janji sama teman-temanmu," kata sang ayah memarahi, "ya sudah pergi main sana, biar sawah ayah yang jaga,"

��Baik ayah, Pertiwi pamit dulu. Salam," ucap Pertiwi sambil mencium punggung tangan ayahnya itu, "ayo teman-teman aku mau ganti baju dulu, tunggu saja di depan rumah nanti," tambah Pertiwi sembari berjalan agak cepat pulang kerumahnya.

Sehabis mengganti kemben yang ia kenakan untuk menyawah menjadi kemben yang bersih, Pertiwi bersama ketiga temannya itu berjalan menuju kota Demak yang dekat kampungnya.

"Jadi bagaimana, mau beri hadiah apa ke ayahmu, Wi?" tanya Maya yang menggenakan kemben merah dari atas hingga bawah.

"hmm, aku belum kepikiran mau memberikan apa,"

"eh, belum dipikirkan?" protes Maya

"Ah bukan begitu, maksudku terpikir satu barang," ucap Pertiwi dengan tawa kecil berusaha mengelak protes Maya, "tapi kan, di kota pasti ada banyak barang, jadi akan banyak barang-barang yang bagus sebagai hadiah hehehe,"

"Hahaha, oke deh,"

Perjalanan menuju kota Demak yang memalui jalan utama yang lebar. Cukup lebar untuk mengantar hasil panen dan perjalanan rombongan berkuda, mereka jalani dengan saling berbincang dan diselingi suara tawa.

Setelah 30 menit berjalan dan bercengkrama, mereka sampai di depan gerbang kota Demak yang dijaga oleh dua orang prajurit bertombak dan bertameng, gerbang kota yang berbentuk benteng dari batu bata merah dari tanah setinggi satu setengah orang dewasa dengan hanya satu pintu utama yang cukup besar menjaga 30 ribu hektar luas kota.

Memasuki pintu utama kota yang berada di sebelah timur itu, Pertiwi, Maya, Daryati, dan Emilia langsung menuju bagian utara kota, tempat mereka akan memasuki distrik penjualan aksesoris.

Kota Demak memiliki pembagian-pembagian wilayah yang sederhana. Wilayah timur tempat gerbang utama kota berada, adalah tempat dimana para pedagang luar kota menjual bahan pangan dari hasil bumi maupun yang ditangkap di laut.

Dari gerbang utama, berbelok menuju bagian selatan kota, maka akan memasuki wilayah dengan banyak penginapan yang ditawarkan kepada para pelancong. Macam-macam penginapan yang tawarkan penduduk kota mulai dari penginapan satu ruangan sempit yang murah, dimana hanya cukup untuk kasur dan sebuah meja hingga penginapan berupa rumah satu hingga dua lantai.

Di pusat kota Demak merupakan pusat 'pemerintahan' kota tersebut. Di sana Bangsawan Bagaskara dan masyarakat golongan atas tinggal. Alun-alun kota Demak dimana penduduk sering berkumpul bila ada pengumuman resmi dari Kerajaan juga berada disana. Sedangkan bila terus lurus menuju barat, maka akan terlihat barak dan pusat pelatihan utama dari pasukan Kerjaan yang ada di Demak.

Namun, kelompok Pertiwi yang datang dari desa memiliki tujuan ke arah utara, dimana terdapat pusat kerajinan kota. Segala kerajina, mulai dari kerajinan besi, tekstil, anyaman, dan aksesoris. Selain itu juga terdapat kerajinan dalam bentuk seni, yakni seni lukis, memahat, hingga seni pertunjukkan teater baik itu pentas suara, pentas tari, pentas sulap dan pentas-pentas lainnya.

Pertiwi dan kawan-kawannya lebih dahulu mendatangi para penjaja kerajinan anyaman. Di tempat para penjaja itu, Pertiwi mendapati benda-benda berupa topi, tikar, tampah yang lebar gepeng, gelang tangan hingga keranjang dari yang kecil hingga besar. Pilihan barang-barang itu beragam pula, mulai dari ragam warna hingga ragam bahan bakunya. Ada yang terbuat dari rotan, bambu, hingga kulit tanaman kayu.

"Wah, dilihat beberapa kali pun tetap menakjubkan ya," unjar Pertiwi takjub melihat barang-barang yang ditampilkan di sebuah kios.

"Tentu saja nona muda," muncul suara laki-laki dari dalam kios benda-benda itu dijual, "seni menganyam sangatlah menakjubkan karena dibuat dengan ketelitian, ketekunan, dan keuletan yang tinggi," unjar laki-laki yang merupakan pemilik kios itu.

"hahaha, paman benar sekali," tawa Pertiwi mengiyakan, "aku pernah mencoba membuat tampah untuk ibu ku paman, suuuliit sekali menyilang-nyilang rotannya," Pertiwi melanjutkan sembari memperagakan bagaimana ia membuat tampah dahulu.

"ahahaha, memang begitulah seni mengayam nona muda. Sulit tapi hasilnya sangat memuaskan," paman penjual ikut tertawa, "jadi nona muda mau beli apa?

Pertiwi pun menjelaskan kepada paman penjual bahwa ia sedang mencari hadiah untuk ayahnya di kampung yang akan berulang tahun besok. Ia menjelaskan bahwa ia ingin memberikan hadiah yang sangat spesial apalagi ia telah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk hadiah tersebut.

Mendengar penjelasan Pertiwi, penjual anyaman itu terlihat kebingungan, "hmm, hadiah yang sangat spesial ya… Bagaimana kalau gelang atau keranjang ini?" sebuah gelang dan keranjang dengan tiga warna pun diperlihatkan.

Melihat gelang dan keranjang berwarna-warni itu sepertinya tidak cocok dipakai ayah, pikir Pertiwi.

Ekspresi ragu yang diperlihatkan gadis yang berada di depannya itu, membuat paman penjual terlihat ikut ragu, "Hm, tidak bagus ya. Sayang sekali hanya anyaman berbagai warna yang …" tiba tiba dia berhenti sejenak, "oh iya, aku ingat. Kemarin adikku yang penjual aksesoris bilang bahwa ia mendapatkan cincin batu yang sangat bagus dengan harga murah katanya," "Kalau tertarik, datanglah ke toko adikku yang ada di sana," ucapnya sembari menunjukkan sebuah toko yang memiliki plang perisai dengan tiga cincin yang saling menyabung di bagian lingkaran.

"Oh, baiklah, terima kasih paman," mereka berempat pun meninggalkan kios anyaman itu menuju toko aksesoris yang ditunjuk tadi.

"Hadiah untuk orang tua dari anaknya ya, mungkin aku harus membuat model lainnya yang menarik," ucap sang pemilik kios dalam hati.

Sesampainya di toko aksesoris dengan tiga cincin di plangnya, Pertiwi, Maya, Daryati, serta Emilia langsung disuguhi cincin-cincin berbagai macam yang indah dan elegan. Cincin-cincin itu dipajang dibagian depan toko.

"Selamat datang, selamat datang," unjar penjaga toko aksesoris itu

"Permisi paman, aku dengar dari kakaknya paman disana kalau paman jual cincin batu yang murah tapi kualitasnya bagus ya?" Maya memulai negosiasi.

"Kalau cincin batu yang kau sebutkan itu adalah ini��� pemilik toko menyodorkan sebuah cincin berwarna biru tua dengan ring berwarna keperakan, "cincin batu biru tua ini namanya batu safir. Batu itu sebenarnya cukup mahal loh, hingga 100 Coin, tapi karena paman beli dari penambang yang paman kenal, dikasih potongan deh, jadi 70 Coin,"

Maya pun melirik sedikit ke arah Pertiwi, seolah memberi kode ke gadis itu. Nemangkap sinyal kode Maya, Pertiwi pun mengangguk, "50 Coin tidak bisa paman?" Maya mencoba menawar.

"Tidak bisa. 70 Coin itu harga terendah yang bisa paman jual. Lagipula batu di cincin ini asli," paman itu, "tempelkan saja dengan lehermu atau panaskan, nanti juga ketahuan,"

Maya pun langsung menempelkan batu biru tua itu ke lehernya. Ia langsung merasakan sensasi dingin dari batu itu, "terasa dingin kan?" tanya sang pemilik batu

Maya kembali melirik ke Pertiwi, "Tidak apa Maya, kalau hanya 70 Coin untuk cincin batu ini tidak masalah" Pertiwi mengalah, "apakah semua harganya sama paman?"

"Tergantung dari besar kecilnya batu. Batu yang teman mu pegang itu yang paling ringan, hanya satu karat," ucapnya, "ada yang dua karat hingga lima karat disini,"

Pertiwi pun mengambil cincin batu yang dipegang Maya untuk dia beli, "Kurasa lingkaran jari ayah normal, jadi tidak masalah," unjarnya dalam hati.

Usai Pertiwi membayar cincin yang dibungkus menyerupai kado itu dengan uang yang ia bawa, rombongan gadis-gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kota. Berbelanja barang lainnya tentu saja. Disaat mereka sedang asik mengunjungi berbagai toko yang ada, tiba-tiba suara loncong terdengar dari arah pusat kota. Suara lonceng itu terdengar sangat keras hingga masuk ke rumah-rumah penduduk kota Demak.

"Suara lonceng," unjar Emilia.

"Berarti ada pengumuman penting di alun-alun kota," kata pemilik kios makanan yang mereka singgah.

Mereka berempat pun setuju untuk ikut mendengarkan pengumuman di alun-alun kota. Saat sedang berjalan menuju alun-alun, tiba-tiba pintu sebuah toko terbuka dan keluarlah seorang memakai jubah secara terburu-buru. Pertiwi yang berjalan paling pinggi tersentak saat tubuh orang berjubah itu menabraknya dan membuat jubuh Dewi terjatuh ke belakang, suara refleks 'Aduh' pun terucap dari mulut Pertiwi.

Saat Pertiwi akan tersungkur ke belakang, tiba-tiba seperti ada tangan yang menahannya dari menyentuh tanah. Merasakan hal aneh itu, Pertiwi mengumpulkan keberanian untuk membuka kedua matanya untuk melihat sendiri apa yang terjadi.

Saat ia perlahan membuka matanya, ia terpana menyadari bahwa dua bola mata seorang laki-laki sedang menatapnya secara langsung. Mata Pertiwi dan mata laki-laki itu saling menatap satu sama lain dalam waktu yang cukup lama.

Seperti tersadar ke dunia nyata, Pertiwi mencoba melirik ke sekitar. Ia memandang bahwa penduduk kota sedang memandangi dia dan pemuda yang tudung dan jubahnya terbuka, memperlihatkan pakaian yang sedang pemuda itu kenakan. Sebuah tunik hitam berlengan panjang dengan selendang serta bantalan bahu di sisi kanan dan kiri serta ikat pinggang dengan motif singa.

Menyadari bahwa pakaian tunik itu adalah pakaian dari kalangan bangsawan, Pertiwi langsung bersembah di tanah. "Mohon maaf saya tidak sengaja menabrak tuan," ucapnya sembari gemetaran.

"Tidak apa apa, berdirilah. Kamu tidak bersalah, akulah yang tidak memperhatikan sekitar," kata suara laki-laki yang dia perkirakan berasal dari pemuda itu.

Pertiwi pun mencoba untuk menuruti perkataan pemuda berpakaian ala bangsawan tersebut sembari masih menunduk "syukurlah kamu tidak terluka," ucap pemuda itu lagi.

Saat Pertiwi mencoba mengangkat kepalanya untuk menghadap lagi wajah pemuda itu. Wajah yang berbentuk diamond dengan dagu agak kotak, berambut pendek dengan dahi yang terlihat lebar serta hidung sedikit mancung itu memandang Pertiwi dengan senyum di wajahnnya.

Namun Pertiwi segera menyadari terdapat aura kebencian yang berada di belakang pemuda yang tersenyum itu. Dengan alis yang menikuk tajam ke dalam, hampir saling terhubung di tangah. Pertiwi segera mengenali wajah yang tidak asing itu, sebuah wajah yang pernah ia lihat di kampungnya. "Nona Kumala Bagaskara!" Pertiwi berucap dalam hati.

Melihat wajah Kumala yang menatapnya dengan tajam, Pertiwi kembali merasakan ketakutan. Dia kembali melirik ke arah pemuda bangsawan tadi yang saat ini sedang menatapnya. Lalu berusaha mencari Maya, Daryati, dan Emilia yang tadi jalan bersamanya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda berjubah itu

"Tidak apa-apa tuan," jawab Pertiwi, "Kalau begitu, saya mohon izin permisi tuan," unjar Pertiwi yang menunduk sembari gemetaran. Setelah laki-laki bangsawan itu mengizinkan, Pertiwi berjalan melewatinya hingga kerumunan. Setelah masuk ke dalam kerumunan penduduk yang menonton, Pertiwi mempercepat langkahnya berjalan.

Ia berjalan dengan tempo cepat hampir berlari menuju gerbang utama di sebelah timur. Setelah berjalan beberapa meter keluar dari gerbang utama, Pertiwi berjalan ke arah sebuah sawah, lalu duduk dipinggiran sawah itu.

"Wi, Pertiwi," terdengar suara memanggil.

Suara itu datang dari kawan-kawannya yang datang menyusul. Maya, Daryati, dan Emilia datang lalu mengurubungi Pertiwi yang sedang terduduk.

"Kau tidak apa-apa, Wi?" tanya Emilia yang dijawab oleh Pertiwi dengan sekali anggukan.

"Tidak apa-apa, Wi," Daryati mencoba menenangkan sembari menepuk bahu kanannya.

"Iya, tidak apa-apa Wi, sekarang sudah aman," Maya menambahkan yang memegang bahu satunya mencoba menenangkan

Ketiga taman Pertiwi itu masih merasakan ketakutan yang ada di diri Pertiwi. Secara langsung mereka bertiga memeluk gadis itu secara bersama-sama.

***

Berkat pelukan ketiga kawannya yang ia rasakan cukup lama itu, Pertiwi akhirnya dapat menenangkan diri, "Terima kasih teman-teman," ucapnya.

"Tidak apa-apa, Wi," ucap Maya, "Ayo lebih baik kita segera pulang,"

"Ayo kita pulang," Pertiwi pun berdiri, diikuti oleh kawan-kawannya.

Berjalan sekitar sepuluh langkah, langkah Pertiwi terhenti. Dia menyadari bahwa hadiah yang telah ia siapkan tidak ada di genggamannya lagi.

"Kamu kenapa Wi?" tanya Daryati.

"Hadiah ku hilang!"

"Eh? Serius kamu Wi?" tanya Maya

"Serius Ya! Aku cob acari di sawah tadi dulu," Pertiwi langsung berbalik arah yang diikuti oleh Maya, Daryati, dan Emilia.

Keempat gadis itupun mencari-cari di pinggiran sawah, sekitaran tempat mereka duduk berpelukan tadi. Setelah mencari dan terus mencari dengan hasil nihil, Emilia pun berkata, "jangan-jangan jatuh di tempat tadi,"

"Ya sudah, ayo kit acari lagi di dalam," Maya mengajak ketiganya dan mereka semua memutuskan untuk kembali mencari hadiah untuk pak Marhaen itu di tempat insiden terjadi.