"Tiwi, tolong kamu bawakan nasi tumpeng ini ke ruangan depan," ucap seorang wanita tua kepada Pertiwi
"Baik bu," sahut Pertiwi kepada sang Ibu
Hari itu, Pertiwi dan ibunya sedang sibuk, mereka menyiapkan hidangan istimewa untuk sang Ayah yang sedang berulang tahun. "Jarang-jarang kita adakan selamatan ulang tahun bapakmu," unjar sang Ibu menginisiasi beberapa hari yang lalu.
Dari waktu ayam berkokok, setelah sang ayah berangkat menuju sawahnya, Pertiwi dan ibu menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak. Rencana hari ini adalah membuat nasi bancaan beserta lauknya untuk dimakan bersama-sama saat sang ayah kembali dari tempat kerjanya.
"Pertiwi, nanti habis ini kamu ke pasar, beli bumbu, tahu, tempe, bayam, tauge, kacang panjang, kelapa sama telur. Inget kan bumbunya apa saja?"
"Ingat bu. Kunyit, serai, daun salam, daun jeruk, lengkuas, ketumbar sama santan kan bu?"
"Ehh, lengkuasnya tidak usah. Masih cukup,"
"Baik bu, lengkuasnya tidak usah. Kalau cabai, bawang merah, bawang putih, gula merah masih ada bu?"
"Sebentar, biar ibu periksa," ibu Pertiwi segera menuju tempat penyimpanan bumbu yang disimpan disebelah meja makan. "Bawang merah, bawang putih, gula merah masih ada. Cabainya sudah tinggal sedikit. Sekalian beli cabainya sekalian ya, Wi,"
"Baik bu,"
"Oh, jangan lupa juga daun pisangnya,"
Dibalas oleh Pertiwi dengan anggukan, "iya bu,"
Begitulah pembagian tugas rumah bagian dapur keluarga itu, anak yang bertugas membeli bahan-bahan di pasang, sedangkan sang ibu menjaga base di dapur. Tugas Pertiwi yang berbelanja di pasar pun tidaklah sulit, baik ia maupun ibunya sudah memiliki pedagang-pedagang 'favorit' di pasar.
Usai membantu menyalakan api untuk tungku tanah liat untuk memasak nasi, Pertiwi segera pergi ke pasar. Sebuah keuntungan sendiri bagi Pertiwi, jarak antara rumahnya dengan pasar sangat dekat dan bisa dicapai dengan menggerakan kaki-kakinya yang tertutup sarung coklat.
Setiba di pasar, tujuan pertama ialah mendatangi kios pak Budi yang menjual tahu dan tempe, lalu menuju tempat mbah Yani yang menjual bumbu-bumbu dapur, dan yang terakhir, mampir ketempat om Andi, sang penjual telur di pasar.
"Om Andi, aku beli telur setengah kilo,"
"Oh Pertiwi, dipilih saja telurnya," ucap om Andi sembari melayani pembeli lainnya
"Baik om," Pertiwi pun mulai memasukan telur-telur ayam ke dalam baskom yang sudah disiapkan om Andi
"Ngomong-ngomong, ibumu mau ada acara?" om Andi membuka percakapan, setelah ia selesai dengan tugas melayaninya.
"Eh, iya. Ibu tiba-tiba ingin selamatan untuk ayah,"
"Oh, mau bikin apa? Tumpeng?"
"Gudangan saja om. Mau selamatan kecil-kecilan saja,"
"Oh, ya sudah ini, om tambah telurnya. Anggap saja hadiah buat mbah" unjar om Andi sembari memberikan dua buah telur yang cukup besar kepada Pertiwi.
"Terima kasih om," Pertiwi sambil tersenyum menerima telur-telur itu dan memasukkannya ke dalam tas belanjaan bersama bumbu dan bahan-bahan lainnya, termasuk telur yang ia beli.
"Salam buat mbah ya,"
"Iya om. Terima kasih,"
Dan Pertiwi pun kembali ke rumah.
Sesampai dirumah, Pertiwi dan ibunya membagi tugas. Sang ibu akan menghaluskan bumbu-bumbu dapur yang sudah dibeli Pertiwi, sedangkan Pertiwi harus menyiapkan daun pisang sebagai alas hidangan pada tampah bambu. Dengan terlebih dahulu memotong dan membersihkan daun pisangnya dari debu dan tanah.
Persiapan pun lancar sampai matahari yang mulai meninggi. Sampai tiba-tiba datang suara ketukan dipintu rumah. Dibuka lah daun pintu rotan itu dan sehingga terlihat pelaku yang mengetuk pintu tersebut.
"Maya!"
"Hai Pertiwi,"
"Ada apa, Maya?"
"Ini, dari bapak," Maya pun menyerahkan satu tas berisi buah-buahan, diantaranya, pisang, jeruk, kelengkeng, dan rambutan. Cukup banyak
"Banyak juga buahnya. Tidak apa-apa sebanyak ini?" dengan ragu-ragu Pertiwi menerima tas berisi buah-buahan tersebut.
"Bapak malah senang kalau diterima semua,"
Dari dalam rumah, sang Ibu menengok keluar.
"Wah Maya. Ada apa kemari?"
"Salam bu Intan. Ini ada buah dari bapak buat bapak sama ibu Pertiwi. Bapak dengar ibu Intan mau adakah selamatan untuk pak Marhaen, bapak minta diantarkan buah karena bapak sering merepotkan pak Marhaen,"
"Wah, terima kasih banyak ya. Kalau begitu kamu tunggu sebentar ya, Maya" bu Intan pun masuk ke rumah cukup terburu
"Tidak usah bu. Maya mau langsung pulang,"
"Yah, sebaiknya tunggu dulu sebentar, May" Pertiwi berbasa-basi menahan Maya pergi
Mereka pun menunggu di dalam, menunggu bu Intan keluar dari dapurnya.
"Kamu sudah tidak apa-apa Wi?" tanya Maya
"Aku sudah tidak apa-apa. Waktu itu aku sedikit kaget saja. Terima kasih ya sudah mau bantu,"
"Sama-sama Wi. Kita kan sudah kenal sejak dari kecil, jadi tidak apa-apa." Maya menepuk pundak Pertiwi. "Tapi hadiah itu mau dikasih hari ini?"
"Iya, barangnya ada di kamarku. Sudah dibungkus kain," ucap gadis sembari menatap ke arah kamarnya sendiri. "Sebenarnya kalau dipikir-pikir, mungkin memang harusnya sederhana seperti ini saja. Tidak usah seperti kemarin, seperti bangsawan saja," Pertiwi pun mengeluarkan tawanya.
Maya yang melihat itu sempat merasa ragu, namun ia memutuskan itu tertawa pelan mengikuti tawa Pertiwi. Dan obrolan mereka pun berlanjut hingga si ibu kembali dari dapur.
"Ini bawa pulang, untuk bapak ibu mu," ibu Pertiwi itu memberikan sebuah bungkusan daun pisang yang terlihat cukup penuh dibagian badan bungkusan itu.
"Terima kasih ya bu Intan," Maya menerimanya dengan memberikan senyuman ke si ibu.
"Sama-sama,"
"Kalau begitu, Maya permisi dulu ya bu," ucap Maya sembari mencium tangan bu Intan.
"Hati-hati dijalan ya Maya," Pertiwi dan ibunya berucap saat Maya sudah berjalan beberapa menuju jalanan di depan rumah Pertiwi.
Sehabis episode kedatangan Maya, Pertiwi dan ibunya melanjutkan apa yang mereka tahan tadi hingga matahari sudah setengah jalan menuju puncak. Saat itulah sang Ayah pulang, membawa pacul yang selalu dia bawa saat pergi ke lading padinya.
Sembari menenteng pacul di pundaknya, pak Marhaen disambut dengan sajian nasi memunjung keatas yang dikelilingi sayur mayur dengan bumbu sambal kelapa parut yang dikukus dan telur rebus yang sudah dipotong kecil kecil.
"Loh, ada apa ini? Ada acara apa buat tumpeng segala?" tanya pak Marhaen terheran-heran.
"Kita mau acara selamatan ulang tahun ayah," Pertiwi menjawab
"Walah, tidak usah selamat-selamatan segala," balas sang ayah sembari menaruh paculnya di samping kursi kayu sederhana yang panjang. Tempat nasi beserta Pertiwi dan ibunya dan buah-buahan pemberian Maya duduk.
"Sekali-sekali tidak apa-apa kan yah," kali ini sang ibu sembari menyabut tangan pak Marhaen lalu ditempelkannya dijidat
"Ya sudah terima kasih ya," pak Marhaen mencium kening bu Intan lalu menyambut tangan anaknya yang sudah siap untuk ritual salim, "Segini banyak mau dimakan sendiri?"
"Ya tidak lah pak. Tiwi sudah panggil anak-anak kampung untuk datang ke sini," tak menunggu lama, anak-anak yang ditunggu pun berdatangan.
Satu, dua, tiga, empat, sampai 12 anak yang datang. Menyalami pak Marhaen, bu Intan dan Pertiwi, berurutan. 'Untung cukup' Pertiwi lega dalam hati melihat nasinya tidak kelebihan terlalu banyak.
"Anak-anak, hari ini ibu lagi ada selamatan untuk bapak Marhaen yang hari ini berulang tahun," si ibu membuka acara.
"Iya bu," anak-anak membalasnya bersama-sama.
"Ya sudah, ayah silahkan pimpin doanya,"
"Salam anak-anak, terima kasih sudah datang ke selamatan om. Om Marhaen ya, bukan bapak. Masih kuat loh ini," unjarnya sembari memamerkan otot-otot hasil bertani selama bertahun-tahun, walaupun rarmbut sudah memutih tapi memang wajahnya masih segar.
Pak Marhaen pun mulai membacakan doa, ia minta semoga keluarganya diberikan kesehatan, umur yang panjang, berkecukupan, dan berbagai doa yang lazim yang dipanjatkan. Tidak lupa pula ia mendoakan hal yang sama kepada anak-anak yang datang, dengan tambahan doa khusus yakni doa supaya anak-anak yang hadir terus berbakti kepada orang tua.
Acara pembuka pun selesai, yang dilanjutkan acara utama, yakni pembagian nasi tumpeng. Pertiwi mengambil daun pisang yang dibelinya tadi membentuk wadah kerucut yang dijaga bentuknya menggunakan tusukan lidi kecil. Sedangkan ibunya mengambilkan nasi tumpeng beserta lauknya.
Semua anak yang hadir menikmati hidangannya, tinggal anggota keluarga pemilik acara yang belum menikmati. Saat ketiganya sudah memegang porsi masing-masing, Pertiwi mencoba bersuara.
"Ayah, ini Pertiwi ada hadiah untuk ayah," ucapnya sambil memberikan sebuah hadiah yang dibungkus kain berwarna coklat miliknya.
"Apa ini?" pak Marhaen terheran, "kalau begitu boleh ayah buka?"
"silahkan ayah," dan bungkus kain itu pun dibuka, memperlihatkan sebuah topi caping baru sederhana, berwarna rotan murni. Namun ada hal unik yang dimilikinya, yakni tali caping yang terlihat dibuat dari benang sedikit tebal berwarna coklat tua dan coklat muda bermotif kepang rambut yang menggantung.
"Pertiwi liat topi caping ayah sudah rusak," katanya sembari melihat topi caping yang berada di samping ayahnya, "jadi Tiwi pikir untuk belikan ayah topi baru,"
Sang ayah pun langsung mencoba topi baru itu. Dipasangkanlah topi itu dikepalanya, terasa pas di tengkorang orang tua itu, ia cantolkan pula tali caping berkepang itu di dagunya. Terasa pas dan nyaman dipakai, tidak terlalu ketat dan tidak terlalu longgar.
Merasakan kesenangan atas hadiah anaknya tersebut, pak Marhaen mencium kening Pertiwi sekali lagi sembari mengucapkan, "Terima kasih ya nak," lalu memeluk putrinya itu.
Acara selamatan itu, dilanjutkan dengan saling bercerita antara ayah, ibu, dan anak dalam sebuah kehangatan keluarga.
Kehangatan keluarga itu sangatlah terasa, terutama bagi seseorang yang mengamati dari kejauhan. Orang itu sudah mengamati acara selamatan keluarga Pertiwi sejak awal Pertiwi dan ibunya menunggu kepulangan ayahnya dari sawah. Si pengamat akhirnya pergi meninggalkan keluarga tersebut tak lama kemudian.