"Sayang, tenanglah, dia juga putriku, bukan kau saja."
"Tetapi tetap saja, kan, Ametsa juga putriku, kau tahu itu."
Meyra menatap kesal kepada suaminya itu, lalu kembali berkata, "Daniel, lihatlah, Papamu menyebalkan sekali, kan?" ujarnya.
"Apa kau bilang?" Hanzo menatap sinis kepada wanita yang berada di sampingnya saat ini. "Aku tidak pernah menyebalkan, ya, kan, Daniel?"
Sementara itu Daniel yang melihat keributan di depan matanya pun langsung memutar kedua bola matanya sembari menyuap makanannya kembali ke dalam mulutnya. Berbeda dengan Ametsa yang saat ini merasa canggung dengan suasana yang terjadi di sekitarnya.
"Daniel," panggil gadis itu pelan.
Laki-laki tersebut yang mendengarnya pun langsung menoleh dengan kedua alis yang terangkat. "Ada apa?"
"Lebih baik aku pulang saja, ya? Aku merasa mereka bertengkar karena diriku, sejujurnya aku tidak mau ini terjadi kepada kedua orang tuamu."
Merasa bersalah dengan yang dilakukannya membuat Ametsa langsung mnundukkan kepala, sedangkan Daniel yang melihatnya pun langsung sedikit menengahi keributan yang terjadi sehingga kini Hanzo dan Meyra pun kembali diam.
"Hey, kalian diamlah, membuat gadisku takut saja," ujar laki-laki itu. "Ametsa takut melihat kalian bertengkar."
Seketika semua orang yang berada di meja makan pun langsung memusatkan perhatiannya ke arah Daniel dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Laki-laki itu yang merasa kebingungan pun bertanya, "Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanyanya.
Teringat dengan yang baru saja dilakukannya membuat Daniel langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia benar-benar sangat mengharapkan untuk kembali ke beberapa saat yang lalu dimana dirinya mengatakan sesuatu yang membuatnya benar-benar malu.
"Bagaimana," ujar Meyra dengan tersenyum. "Kau sudah menyadarinya?"
"Lupakan saja, anggap aku tidak pernah mengatakan apapun pada kalian semua."
Sementara kini Ametsa merasa lucu dengan tingkah sahabatnya tersebut sembari menggelengkan kepala sebelum akhirnya kembali melanjutkan makan malamnya itu.
"Selamat malam, Ametsa," ujar Meyra kepada gadis di hadapannya itu. "Kalau butuh sesuatu, tinggal ketuk pintu kamar Daniel saja, ya."
"O-oh, baiklah, tetapi ini, kan, sudah lewat tengah malam bahkan hampir pagi, apa dia tidak tidur?"
"Sebenarnya aku pun tidak tahu, Ametsa. Tetapi aku bicara seperti ini karena kamarmu denganku terlalu jauh, sedangkan dengan kamar Daniel tidak, begitu maksudku."
Ametsa yang mendengarnya pun langsung terkekeh kemudian menganggukkan kepala sebelum akhirnya kembali menatap sekitar.
"Apa yang ingin kau cari?"
"Tidak, Bibi. Ya sudah, kalau begitu selamat malam, aku sudah merasa lebih baik sekarang, terima kasih."
"Baguslah kalau begitu, kau sudah ku anggap seperti anak kandungku sendiri."
Setelah kepergian Meyra, kini Ametsa pun mulai menutup pintu dan mendekati sebuah tempat tidur lalu berbaring di sana dengan begitu nyaman. Senyumannya tidak pernah luntur mengingat kejadian beberapa saat yang lalu di mana Daniel merasa malu dengan yang dikatakannya itu.
"Daniel ... Daniel ... ada-ada saja, kau memang sahabatku dan keluargamu juga baik, itu sudah lebih dari cukup bagiku dan aku tidak ingin kehilangan dirimu."
Tanpa sadar air mata pun mulai keluar begitu saja mengingat kejadian beberapa waktu lalu hanya karena seorang pria bernama Jason.
"Apa salahku?" tanyanya kepada diri sendiri. "Kenapa semua pria begitu jahat kepadaku? Kenapa tidak ada seseorang seperti Paman Hanzo dan Daniel?"
Menangisi kehidupannya yang tadinya Ametsa pikir akan menuju pada sebuah perubahan, akan tetapi ternyata tidak, benar-benar sebaliknya sampai gadis itu tertidur.
"Kita bertemu lagi, kan, Ametsa?"
Suara itu yang sudah lama tidak ia dengar kini muncul kembali membuat dirinya langsung membuka kedua mata. Ametsa menatap sekeliling, tetapi tidak ada siapapun di tempat ini membuat gadis tersebut langsung menghela nafas seketika.
"Ini aku, Ametsa. Apa kau ingat? Bagaimana kencanmu? Apakah semuanya berjalan dengan lancar?"
Deg.
Jantung Ametsa berpacu begitu cepat setelah mendengar perkataan dari pria tersebut yang membuat gadis itu cukup takut karena ia pikir jika dirinya melakukan kencan, maka tidak akan pernah bertemu kembali dengannya.
Tetapi ternyata salah, Ametsa masih bisa mendengar suaranya membuat gadis itu yang saat ini belum membuka kedua matanya kembali pun mengeluarkan air mata dari sudut matanya itu.
"Jangan menangis," bisiknya tepat di telinga. "Aku tidak suka gadisku menangis."
Usapan lembut diujung matanya membuat Ametsa langsung membuka kedua matanya, sehingga kini tepat di hadapannya gadis tersebut melihat seorang pria yang berdiri di hadapannya itu.
"Kau ..." Kedua mata Ametsa membelalak melihat seseorang yang berada di hadapannya, lalu kembali berkata, "Bagaimana kau bisa berada di sini? Ini, kan, bukan rumahku!"
Kedua alis dari pria itu langsung terangkat setelah mendengar perkataan dari gadis di hadapannya itu. "Memangnya kenapa kalau ini bukan rumahmu?"
"Aku ingin tidur, dan lagi, nanti jika ada yang melihat keberadaanmu bagaimana?"
"Keberadaanku?" ulang pria itu yang tidak lama kemudian langsung tersenyum. "Apa kau tidak menyadarinya, Ametsa?"
"Menyadari apa maksudmu, huh?!" Ametsa benar-benar kesal terhadap pria di hadapannya itu. "Tunjukkan wajahmu sekali saja, maka aku akan berhenti berbicara."
"Untuk apa berhenti berbicara, aku kan tidak memintanya," ujar pria itu yang kini melipat kedua tangannya di dada. "Aku bertanya, seharusnya kau menjawab, jangan mengalihkan pembicaraanku."
Kemudian setelah itu Ametsa pun memijit pangkal hidungnya sejenak sebelum akhirnya kembali mendongakkan kepala memandang seseorang yang berada di hadapannya saat ini.
"Lalu apa, huh?"
"Kau berada di dunia mimpi, apa kau sungguh tidak menyadarinya?"
Kedua mata Ametsa langsung terbelalak setelah mendengar perkataannya tersebut.
"APA?! TIDAK MUNGKIN, KAU PASTI HANYA BERCANDA SAJA, KAN?!"
"Lihatlah aku, apa aku seperti sedang bercanda?"
Satu alis dari gadis itu langsung terangkat setelah mendengarnya, lalu berkata, "Apa yang harus aku lihat darimu? Aku tidak melihat apapun."
Ada rasa malu dari dalam diri pria tersebut karena ia lupa bahwa dirinya belum memperbolehkan Ametsa untuk melihat wajahnya, maka dari itu, tidak ada salahnya gadis itu berbicara seperti tadi kepadanya.
"Ya, kau memang benar, sudahlah, mungkin lain kali aku yang tidak akan berbicara."
Pria itu langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain dengan senyum tipisnya itu, sejujurnya ada perasaan malu saat ini dalam dirinya, akan tetapi semua sudah terlanjur terjadi.
"Astaga, kenapa aku bodoh sekali, benar-benar memalukan, huh!" ujarnya dalam hati. "Sudahlah, aku tidak akan berkata seperti itu lagi di hadapannya."
Ditengah-tengah keheningan yang terjadi saat ini, tiba-tiba terdengar suara tawa yang begitu lucu di telinganya yang membuat pria tersebut langsung kembali menatap ke arah seorang gadis yang saat ini sedang tertawa.
"K-kau tertawa, Ametsa?" ujarnya tidak menyangka.
"Menurutmu?" sahut gadis itu dengan kesal sebelum akhirnya kembali tertawa.
"Sungguh?!" Pria misterius tersebut masih tidak menyangka bahwa Ametsa akan tertawa setelah tadi sebelum bertemu ia melihat gadis di hadapannya saat ini sedang bersedih, tetapi setelah melihat ini dirinya sangat senang. "Tertawalah, kau sangat cantik ketika seperti ini."
"Kau bisa saja," ujar Ametsa dengan kedua tangannya yang saat ini menghapus air mata yang keluar dari kelopak matanya itu. "Aku tertawa karena merasa lucu dengan tingkahmu. Aku tahu, sebenarnya kau merasa malu dengan yang tadi kau katakan, kan?"
"Ametsa, lebih baik kau tertawa saja daripada berbicara seperti ini."
Setelahnya tawa gadis itu semakin meledak sehingga pria tersebut yang melihatnya pun benar-benar terkejut. Tetapi tidak lama setelahnya merasa senang melihat Ametsa yang tertawa karenanya.
"Ini yang aku inginkan sejak lama, Ametsa," ujarnya dalam hati. "Kau harus tetap bahagia."