"Oh kalian juga ada disini?" sapa musisi senior berkaca mata itu.
Seina yang melihat Adiguna ada didepannya merasakan jantungnya seakan mau loncat dari tempatnya. Ia begitu bahagia seolah baru saja melihat seseorang yang ia rindukan. Meski baru beberapa hari yang lalu mereka bertemu di malam grandfinal. Namun kerinduan Seina sebagai seorang anak kenapa ayahnya sungguh tak bisa ia bendung lagi, matanya berkaca-kaca menatap pria yang sudah tak muda lagi itu.
"Oh om ada disini juga?" Devan pura-pura terkejut padahal ia sendiri tadi memang sudah melihat adiguna dan keluarganya di tempat tersebut.
"Oh Seina. Kebetulan sekali om ingin menawarkan sesuatu untuk kamu. Om sudah buat sebuah lagu khusus untuk kamu yang om rasa kamu sangat pas untuk menyanyikannya karena karakter suara kamu sangat cocok untuk lagu ini. Bagaimana apa kau mau?" tanya Adiguna kepada Seina.
Seina hanya terdiam ia masih larut dalam pikirannya sendiri, ia begitu senang melihat sosok ayah yang baru ia temukan kini berdiri dihadapannya dan menawarinya sebuah lagu untuk ia nyanyikan.
Melihat Seina yang tak kunjung menjawab membuat Devan menyikut gadis di sebelahnya mencoba membuatnya sadar jika ada seseorang yang menunggu jawabannya.
"Oh.. Emm. Mau om, saya mau. Kapan lagi kan nyanyi lagu ciptaan dari seorang Adiguna." dalam batin Seina ia merasa sangat bangga karena akan menyanyikan lagu dari ciptaan ayah kandungnya.
"Nanti kita bisa bicarakan lagi om."
"Tentu saja. Kalian harus datang ke studioku untuk mendengarkan lagunya dulu."
"Pasti om. Pasti kita akan datang." jawab Seina dengan semangat.
Devan yang sudah selesai membayar di kasir kini bergantian dengan Adiguna yang mengeluarkan dompetnya untuk juga membayar makanannya.
"Tidak perlu om. Pesanan om sudah saya bayar."
"Ha?? Kenapa kamu bayarin makanan om? seharusnya tidak perlu."
"Ah tidak masalah om. Biar sekalian."
"Aduh om jadi gak enak nih. Mungkin lain kali kita harus makan bersama biar nanti gantian om yang nraktir." Adiguna merasa tak enak karena makanannya dibayari oleh Devan.
Devan yang melihat dompet yang masih di bawa Adiguna jadi teringat jika bukti otentik yang membuatnya tau jika Seina memanglah anak dari adiguna adalah foto ibu Seina yang masih tersimpan di dompet tersebut. Devan memutar otaknya berpikir bagaimana caranya agar Seina bisa tau dan melihat sendiri isi dompet tersebut.
Tiba-tiba saja Devan bergerak maju dan menepuk pundak kiri Adiguna dengan sedikit keras membuat pria itu kaget dan reflek melepaskan dompet dari tangannya.
"Eh maaf om. Di pundak om Adiguna tadi ada serangga, takutnya nanti gigit om." ucap Devan yang beralasan.
Melihat dompet Adiguna yang terjatuh di dekat kaki Seina membuat Devan meliriknya dan membuat kode pada Seina untuk melihatnya. Ia melirik Seina berusaha memberitahu gadis itu. Seina yang tanggap pun mmdengan gesit mengambil dompet itu dan membukanya selagi Devan masih berbicara dengan Adiguna.
Mata Seina benar-benar terbelalak melihat apa yang ada di depannya. Ucapan Devan memang benar, terdapat foto ibunya di dalam dompet tersebut. Hati Seina merasa kaget sekaligus bahagia karena Adiguna memanglah Ayah kandungnya dan tak perlu ia ragukan lagi.
Seketika Seina langsung menutup kembali dompet itu dan mengembalikannya kepada Adiguna sambil tersenyum manis. Binar matanya yang menatap Adiguna membuat pria itu sendiri juga merasa meleleh. Mata Seina seakan mengingatkannya pada Santi.
"Papa? Udah belom? kok lama banget sih." seorang gadis dengan penampilan casual yang cantik datang dan langsung bergelanyut manja di lengan Adiguna.
Seketika senyuman Seina pudar. Ia yang tadi bahagia bahkan ingin sekali memeluk pria yang ada di depannya tersebut kini seolah ada luka di hatinya melihat ada gadis lain yang bergelanyut manja di lengan ayahnya dan menyebutnya dengan panggilan papa dengan nada yang manja.
Seina jelas tau jika gadis itu adalah putri Adiguna yang kabarnya kuliah di luar negeri. Seina tau hal itu karena ia pernah mendengarnya di infotainment pagi. Namun kini ia tak pernah menyangka jika ada perasaan iri yang memenuhi relung hatinya.
'Seharusnya aku yang ada di samping Ayah. Seharusnya aku yang memeluknya dengan manja seperti itu.' ucap Seina dalam batinnya. Sejak kecil hal seperti itu lah yang ia inginkan. Kini disaat fakta terkuak ia masih tetap tak bisa memeluk ayah kandungnya seperti yang gadis itu lakukan kepada Adiguna.
"Kenalkan ini Vivi putriku yang baru tiba dari australia. Dia sedang libur kuliah jadi dia pulang. Vi kenalkan ini Devan dan Seina. Seina ini yang kemarin jadi juara satu ajang musik idol." ucap Adiguna mencoba mengenalkan putrinya kepada Devan dan juga Seina.
Vivipun mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Devan untuk berkenalan. Seina sendiri awalnya ragu-ragu menjabat tangan gadis itu. Namun pada akhir ia menjabat nya sekilas lalu tersenyum, senyum yang sesungguhnya ia paksakan.
"Maaf om kami harus kembali." ujar Seina berpamitan sungguh ia tak tahan melihat kedekatan adiguna dan putrinya yang membuatnya iri.
Devan memandang Seina sekilas. Ia merasa aneh karena seharusnya Seina senang karena sudah tau bukti yang ia maksud memanglah nyata adanya. Namun dari raut wajah Seina yang terlihat justru sebaliknya. Namun Devan hanya menurut saja dan ikut berpamitan dengan Adiguna.
Seina menarik tangan Devan agar segera menjauh dan keluar dari restoran tersebut. "Ada apa Seina?" tanya Devan yang merasa sikap Seina ganjil.
"Aku hanya tak tahan ada di dalam."
"Kenapa? Bukankah tadi kau sudah melihat bukti yang kau inginkan? Bukankah sekarang kau sudah tau jika Adiguna adalah memang benar-benar ayah kandungmu?"
"Aku tau. Aku juga sudah melihatnya dan aku juga sudah mengerti akan hal itu."
"Lalu?"
"Aku tak tahan melihat gadis itu bermanja pada Ayah kandungku."
"Bukankah dia berarti adalah saudara tirimu? Kalian bersaudara, jadi kenapa harus iri?"
"Karena aku tak pernah merasakan hal seperti itu. Aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah dan akh tak pernah di peluk seperti itu oleh ayahku. Aku.. Aku.." Seina tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya. Ia kini justru terisak dan mulai menangis.
"Sudah cukup." Devan menarik Seina dan membiarkan gadis itu menangis di dalam pelukannya. Devan kini paham apa yang Seina rasakan. Ia merasa iri dan cemburu pada Vivi karena bahkan ia tak pernah merasakan seperti yang vivi rasakan.
Tangis Seina tak berlangsung lama karena ia paham ini bukan saat dan tempat yang tepat untuk menangis. Terlebih mereka masih di tempat umum yang mungkin saja akan ada yang melihat mereka. Seina menarik dirinya dan mengusap sisa-sia air matanya. Ia lalu hendak bersiap masuk kedalam mobil. Ia ingin segera pulang dan menenangkan hatinya.
Bersambung..!!