Kedua tangannya bertumpu pada pinggiran bak cuci piring. Dia mengurungku. Hawa-hawanya nggak enak nih. Ada apa sih? Kok jadi gini? Jarak kami begitu dekat. Aku nggak berani mendongak posisinya rawan. Ya Tuhan, mama di mana sih?
"Jadi, aku sudah nggak punya kesempatan lagi nih?"
Maksudnya?
"Kesempatan apa ya, Mas?"
"Kesempatan buat deketin kamu."
Waduh. Tambah nggak jelas.
"Kan kita emang sudah dekat. Terus emang harus gini banget ya cara bicaranya?" Kali ini aku mengangkat wajah, hingga mata kami bertemu. Dia mundur dan udara seolah baru menyapaku kembali.
Mas Ardan tertawa aneh. "Iya ya, kita emang udah dekat dari dulu. Udah kayak kakak-adik."
Aku buru-buru beranjak.
"Tapi aku ingin kedekatan kita nggak sebatas kakak adik, Rea."
Perkataannya sanggup membuat langkahku terhenti. Kedua alisku tertaut. "Maksudnya?"
"Aku bodoh nggak ya, kalau baru ungkapin sekarang?"
"Kamu tuh ngomong nggak jelas banget."