Aku masih terus mengawasi Satria. Dia terlihat meminta gelas lagi pada bartender. Yang aku dengar ternyata bukan isapan jempol semata. Kondisi lelaki itu sangat kacau.
Aku mendekatinya perlahan dengan segenap dada penuh debaran. Duduk di stool dengan jarak satu stool. Seandainya dia nggak mabuk berat, aku rasa dia akan dengan mudah mengenaliku. Namun, jangankan mengenali, melirikku saja enggak. Satria sibuk sendiri dengan minumannya.
"Hai, Nona. Mau pesan sesuatu?" tanya seorang bartender.
"One shoot," jawabku singkat.
"Siap."
Aku melirik Satria yang masih nggak peduli dengan kehadiranku.
"Silakan, Nona." Bartender itu memberiku sebuah gelas.
"Terima kasih. Dia..." Aku melirik Satria, dan diikuti si bartender. Seolah mengerti apa maksudku, bartender itu tersenyum.
"Sulit dirayu, Nona. Dia datang cuma untuk minum."
"Apa setiap hari dia ke sini?" tanyaku lagi.
"Seminggu bisa tiga atau empat kali. Langganan loyal."