Satria memasang wajah horor mendengar kata angkringan. Tempat favoritku bersama teman-teman di Jogja dulu. Cukup ngantongin uang lima belas ribu, aku sudah bisa kenyang.
"Terserah, kalau kamu nggak mau ikut juga nggak apa-apa. Aku bisa makan sendiri."
Satria masih terlihat berpikir dan gusar secara bersamaan. Aku sendiri sibuk mencari taksi kosong.
Satria masih terlihat bimbang saat aku berhasil menyetop sebuah taksi. "Bang! Banyakan mikir lu! Mau ikut kagak?" Aku sudah siap memasuki taksi.
Satu detik, dua detik, dia nggak kunjung menjawab. Itu artinya dia lebih memilih makan di restoran. Aku tinggalkan saja dia, masuk ke dalam taksi. Namun, sebelum aku menutup pintu sepenuhnya, Satria menghalangi.
"Aku ikut!"
"Banyakan mikir!" decakku bergeser memberinya tempat duduk. "Pak, anterin kami ke angkringan kota ya," kataku pada supir taksi.
"Muhun, Neng."