Sampai pagi menjelang, ternyata Satria masih bertahan pada posisinya. Aku yang tidur di atas sofa, dengan dia yang tidur terduduk dengan kepala menyandar di space kosong sofa tepat di depan perutku.
Tanganku menyugar rambutnya. Sangat lepek. Nggak sesegar biasanya. Dia malah tidur di sini bukannya menemani Elen. Kenapa sih, dia harus semanis ini? Aku memang kecewa, kesal, marah padanya. Tapi itu nggak lantas mengurangi rasa cintaku padanya sedikit pun. Sulit rasanya membenci Satria meskipun dia sering menjadi sebab rasa sakitku.
Kepalanya bergerak. Aku segera menarik tanganku dari rambutnya, dan pura-pura tidur. Terdengar bunyi persendian yang dipatah-patahkan.
"Leherku sakit banget," keluh Satria pelan.
Ya jelas saja sakit. Posisi tidurnya nggak menguntungkan begitu.
"Rea, Sayang..., bangun...." Dia mengusap-usap pipiku. Aku membuka mata kembali. Sedikit mengerjap.
"Kamu semalam, tidur di sini?" tanyaku.