Chereads / Emergency Marriage / Chapter 12 - Jalan-jalan malam

Chapter 12 - Jalan-jalan malam

Di koridor kamar, aku berpapasan dengan Andra yang baru keluar dari kamarnya juga. Dia memandangku aneh karena aku terus mengomel dari tadi.

"Rea, kamu baik-baik saja?" tanyanya begitu aku sampai di hadapannya.

"Aku sih baik-baik aja. Yang nggak baik-baik aja itu, Satria. Otaknya koslet, habis kesamber petir kali."

Andra tertawa kecil. Kapan sih laki-laki ini bisa tertawa lepas. "Bang Satria kenapa? Dia baru sampai setengah jam yang lalu, aku yang menyuruhnya untuk tinggal di kamarmu."

"Itulah salahnya, kenapa dia nggak pesen kamar terpisah aja sih. Merepotkan."

"Merepotkan? Bang Satria merepotkan apa memangnya?"

"Masa dia minta ak--"

Sial! Hampir saja Rea bicara yang tak seharusnya di depan Andra.

Sebelah alis Andra terangkat. "Minta apa?"

Duh!

"Itu, minta dibikinin kopi. Iya kopi.kan males banget aku."

Andra mengangguk. "Mungkin bisa pesan sama layanan kamar. Tapi bukannya di kamar hotel sudah disediain ya? Kamu nggak perlu repot keluar."

"Apa iya?"

"Iya. Tapi by the way... " Andra melirik arlojinya. "Aku mau ngajak kalian makan malam. Ini sudah waktunya."

Aku terkejut. Jadi ini udah malam? Memangnya sudah berapa jam aku tidur tadi?

"Waduh, sorry Ndra. Aku baru bangun tidur. Belum mandi. Kalau gitu aku balik ke kamar dulu ya. Nggak lama kok."

Andra mengangguk. "Gitu ya? Oke nggak masalah."

Aku terpaksa kembali ke kamar. Paling males menghadapi Satria yang sedang koslet otaknya. Saat aku membuka pintu Satria nggak ada. Di mana lelaki itu? Mungkin sedang ada di kamar mandi.

"Bang! Kamu di dalam?" tanyaku mengetuk pintu kamar mandi. Tidak ada sahutan. Kemana sebenarnya dia?

Aku ketuk sekali lagi. Juga tidak ada sahutan. "Aku buka loh Bang pintunya. Aku mau mandi nih."

Saat aku menekan knop, pintunya terbuka. Jadi di mana Satria? Kamar mandi memang kosong. Mataku langsung menuju ke arah balkon. Apa mungkin dia di sana? Pelan aku melangkah menuju balkon.

"Maaf, nggak bisa. Kamu sendiri yang menginginkan itu kan? Semua sudah berakhir sejak kamu memilih hidup bersamanya."

Itu suara Satria. Dia sedang bicara dengan siapa ya? Aku membuka tirai sedikit. Kulihat Satria sedang menelepon.

"Berhenti meminta hal yang mustahil."

"Cukup. Lebih baik kamu nggak menghubungiku lagi."

Aku menempelkan telingaku pada pintu kaca. Mereka sedang membicarakan apa sebenarnya? Apa dia sedang bicara dengan seorang wanita? Pacarnya kah? Kalau benar Satria sudah punya pacar kenapa mau saja dijodohkan denganku?

"Kamu sedang apa, Rea?"

Ops! Mataku berkedip. Sejak kapan Satria menyudahi teleponnya? Aku menunjukkan cengiran lebar melihat Satria berkacak pinggang memelototiku.

"Menguping orang bicara itu nggak baik, Rea."

"Aku nggak nguping, aku tadi itu sedang.... Sedang... Ah! Ini! mengelap kaca. Duh kenapa kaca ini butek banget ya kayak muka Bang Satria."

Aku mengusap-ngusap pintu kaca sebentar lalu segera ngacir meninggalkan Satria yang nampak geram melihat kelakuanku. Aku nggak mau melihat Satria marah seperti waktu di Jogja tempo dulu.

***

Aku, Satria, dan Andra makan malam di restoran hotel. Setelah makan aku dan mereka berwisata malam. Tidak jauh-jauh, hanya sekitaran hotel saja. Ada festival lampion di sebuah taman kota.

"Kita ke sana yuk!" ajakku pada dua laki-laki yang masih saja membicarakan urusan kantor. Aku nggak mengerti apa yang mereka bahas jadi dari tadi hanya pecicilan sendiri sambil selfie atau sesekali mengajak mereka wifie.

"Mending kita balik ke hotel aja." Satria itu sudah sejak makan tadi maunya kembali ke hotel. Disuruh balik sendiri malah nggak mau.

"Nggak mau. Aku mau lihat lampion itu. Andra kita ke sana ayo!" Aku menggeret Andra yang terlihat pasrah saja saat tangannya aku tarik.

"Hey! Tunggu!" teriak Satria. Nah, ujung-ujungnya ikut kan dia.

Andra dengan senang hati menjadi kameramenku. Aku berfoto dengan berbagai gaya. Pindah tempat satu ke tempat lainnya. Tidak peduli pada Satria yang terus mencibir aksiku yang dia sebut norak. Hanya dia yang bilang seperti itu. Andra saja tidak masalah dengan itu.

Setelah aku capek berfoto, Andra membelikanku es krim. Akhirnya kami bertiga duduk di sebuah kursi panjang sembari menyantap es krim. Tadinya hanya aku dan Andra saja yang makan. Tapi Satria dengan kurang ajarnya merebut punyaku. Andra pun akhirnya membeli es krim satu lagi.

"Kelihatannya punyamu lebih enak." Aku menoleh dan melihat es krim Andra.

"Kamu mau?"

Aku langsung mengangguk antusias lalu memakan es krim yang Andra sodorkan.

"Tuh kan enak! Kamu mau punyaku juga?" tawarku gantian.

"Boleh."

Aku hendak menyodorkan es krimku. Namun tiba-tiba mulut Satria menyambar es krimku lebih dulu.

"Punyamu asem. Nggak enak."

Aku menganga melihat cone es krim yang kupegang isinya sudah hampir habis. Mulut Satria besar sekali. Aku menatap kesal Satria yang sama sekali tidak terlihat merasa bersalah.

"Kenapa kamu habisin es krimku?!" teriakku kesal.

"Oh, aku pikir kamu udah nggak mau."

Aku memberengut kesal. "Bang Satria nyebelin!"

Aku jengkel dan beranjak pergi.

"Gitu aja ngambek." Masih bisa kudengar cibiran Satria.

"Rea!" teriak Andra. Lelaki itu segera menyusul langkahku.

"Kita bisa beli lagi. Nggak perlu ngambek gitu," katanya. Sebenarnya aku sudah dari tadi kesal sama Satria. Mulai dari tidak mau diajak jalan-jalan sampai merecokiku setiap kali aku berfoto. Kejadian es krim itu hanya salah satu dari kesekian tingkah yang membuatku sebal padanya.

"Nih, makan punyaku." Andra menyodorkan es krimnya padaku.

"Aku nggak mau!" tolakku.

"Oke kita beli lagi aja ya kalo gitu."

"Nggak usah, Andra."

"Ya udah kamu nan--"

Deringan ponsel Andra menjeda ucapannya. Dia mengambil ponsel dan saat melihat layarnya yang bersinar, dia pamit menyingkir. Aku mendesah. Itu pasti telepon rahasia. Seperti Satria tadi. Hanya menelepon saja harus bersembunyi seperti itu.

"Ayo pulang ke hotel."

Dari belakang Satria menyambar tanganku. Aku berhenti melangkah, menarik tanganku agar terlepas dari cekalan Satria.

"Kamu nggak mau pulang? Ini sudah malam loh, Rea."

"Aku nggak mau, sana kamu pulang aja duluan. Aku masih mau jalan-jalan."

"Jangan keras kepala, Rea. Angin laut seperti ini nggak baik buat kesehatan tubuh."

"Apa pedulimu!"

Satria menghela napas kemudian menatapku lurus. "Jadi nggak mau pulang ke hotel nih?"

"Nggak."

Aku pikir Satria akan meninggalkanku dan pulang ke hotel sendiri. Namun dugaanku salah saat tiba-tiba saja Satria memanggul tubuhku ke pundaknya. Astaga! Aku meronta-ronta minta diturunkan. Dia pikir aku karung beras?

"Bang Sat! Turunin aku! Aku nggak mau balik ke hotel!" teriakku tanpa Satria hiraukan.

Sialan! Dia terus saja berjalan santai ke arah hotel. Sedang orang-orang di sekitar, sudah menatap kami berdua dengan pandangan aneh. Aku malu. Satria benar-benar menyebalkan.