Kenapa senyuman Satria membuatku kepanasan seperti ini? Ah bukan, aliran hangat dalam diriku bukan karena itu. Tapi tadi itu, Satria sudah mencium pipiku. Dia...
Aku melepaskan diri dari pelukan Satria dan secara membabi buta memukul-mukul Satria.
"Dasar curang! Penipu! Berani-beraninya menipuku! Dasar otak mesum!"
"Rea! Rea! Berhenti! Astaga! Stop Rea sakit!"
Aku terus memukul-mukulnya. "Aku nggak peduli. Rasakan, rasakan.'
" Stop, Rea!"
Kedua tanganku yang terkepal langsung dia raih. Pukulanku terhenti. Aku menatapnya dengan sangat jengkel. Aku yakin muka memerah tadi. Bisa-bisanya dia menciumku.
"Kamu itu kenapa? Harusnya kamu bersyukur dong aku nggak jadi sentil kepalamu itu."
"Apanya yang bersyukur. Pipiku jadi ternoda tau!"
"Ya Tuhan Rea! Aku suamimu. Hanya sedikit aku mencium tapi kamu mencak-mencak."
"Sedikit kamu bilang?"
"Iya, itu sedikiy dan nggak berasa."
"Yang kayak gitu dibilang sedikit dan nggak berasa. Dengar ya, Bang. Pipiku ini belum pernah tersentuh sama siapa pun masih suci. Tapi kamu berani-beraninya menodai pipiku."
"Kamu berlebihan Rea. Dan jangan sok suci di depanku."
Satria bangkit dari tempat tidur. Apa dia bilang?
"Di usia kamu, mana mungkin kamu belum pernah merasakan yang namanya ciuman? Aku nggak percaya, Rea."
"Kalau nggak percaya ya terserah kamu. Aku juga nggak punya kewajiban bikin kamu percaya sama aku kok."
Satria menyeringai. "Jadi kamu belum pernah ciuman di sini sama laki-laki?" Dia menunjuk bibirnya sendiri. Aku mengerjap dan tampak gugup.
"Be-belum. Memangnya kenapa? Itu bukan aib. Jadi aku bangga bisa mempertahankannya."
Satria tersenyum mengejek. Tatapannya yang menyebalkan membuatku harus waspada.
"Kalau aku menciummu, berarti aku yang pertama merasakannya dong."
"Ya itu yaa, ya iyaa. Eh tunggu dulu." Aku mengangkat tangan. "Maksudnya apa kamu bilang begitu."
Satria mengelus-elus dagunya. "Ciuman sama kamu pasti nggak enak, karena kamu pasti masih amatiran. Sudahlah lupakan." Dia mengibaskan tangan lalu beranjak.
Eh? Apa maksudnya tadi? Amatiran? Mulutnya minta disumpal banget.
"Me-memangnya kenapa kalau amatiran?!" seruku tak terima.
"Untuk menjadi profesional hal seperti itu perlu latihan. Aku tidak keberatan melatihmu."
Dasar otak mesum. "Ogah banget, aku latihan sama kamu. Mending aku latihan sama Andra!"
Satria yang mau memasuki kamar mandi mendadak berhenti. Matanya mendelik mendengar nama Andra kusebut. "Apa kamu bilang?"
"Iya mending aku latihan sama Andra." Aku melangkah menuju pintu keluar.
"Berhenti di situ, Rea!"
Aku tidak peduli dan membuka kunci lalu keluar.
"Rea!"
Tentu saja aku tidak benar-benar mau melakukan itu bersama Andra. Ini hanya caraku mengerjai orang yang suka meremehkan seperti dia.
Aku sedang akan menuju kamar Andra saat Satria tiba-tiba mencekal lenganku di koridor. Memaksaku untuk menghadapnya. Aku bisa melihat matanya yang berkobar. Dan belum sempat aku menanyakan apa pun, Satria sudah lebih dulu membungkam bibirku dengan bibirnya. Kejadiannya begitu cepat hingga aku tidak punya kesempatan untuk mengelak. Ini mengejutkan dan sama sekali nggak terlintas di pikiranku kalau Satria akan bertindak sejauh ini. Di koridor, di mana tempat orang berlalu lalang.
Satria merapatkan tubuhnya. Pukulanku didadanya tidak membuat bibirnya terlepas, dia malah semakin memperdalam ciumannya saat bibirku terbuka karena dia menggigit bibir bawahku. Aku merasa waktu seolah berhenti berputar. Soal aku tidak pernah merasakan ciuman sebelumnya, itu benar adanya. Jadi, begini rasanya ya? Tapi bukan seperti ini caranya. Tidak di hadapan lalu lalang orang.
Ya Tuhan! Ini gila! Manusia satu ini beneran kurang waras. Satria membuatku kehilangan napas. Beberapa menit yang aku rasakan seperti berjam-jam, dengan detak jantung yang tidak beraturan.
Dia baru melepaskan ciumannya saat aku benar-benar kehabisan napas. Aku terdiam di tempat. Kesadaranku belum sepenuhnya ngumpul ketika Satria mengusap bibirku dengan ibu jarinya.
"Bibir ini sudah aku lisensi. Jadi, jangan sembarangan kamu kasih ke orang lain."
Mataku berkedip sekali, menyaksikan Satria melangkah mundur lalu berbalik dan menghilang di balik pintu kamar hotel kami.
Jejaknya di bibirku masih sangat terasa. Bagaimana benda kenyal itu bergerak-gerak dengan lihai di atas bibirku. Anehnya aku tidak merasa jijik sama sekali. Aku menyentuh dadaku yang sempat sesak tadi. Deguban jantungnya masih bertalu-talu.
"Kalian, serius melakukan itu di tempat umum seperti ini?"
Perlahan kesadaranku mulai pulih ketika telingaku menangkap suara Andra. Aku menoleh cepat. Astaga! Satria benar-benar cari mati denganku.
"A-Andra ini nggak seperti yang kamu pikir." Aku gugup seketika. Andra ternyata melihat kejadian tadi. Sialku pagi ini beneran dobel.
"Menurutmu apa yang aku pikir melihat kalian bermesraan tadi? Lihat sekitarmu." Andra menggerakkan telunjuknya dan aku mengikuti kemana telunjuk itu memutar. Ya Tuhan!
"Satria kurang ajar!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Seandainya bisa, aku ingin amblas ke bumi saat ini juga. Aku mendorong Andra menuju pintu kamarnya.
"Ndra, tolong biarkan aku masuk."
Aku langsung menuju wastafel kamar mandi lalu segera berkumur-kumur. Membersihkan sisa-sisa jejak yang Satria tinggalkan.
"Percuma saja kamu kumur-kumur. Sampe habis satu ember pun kamu nggak akan lupa bagaimana rasanya ciuman Satria."
Sial! Andra benar. Bibirku ternoda. Sudah tidak suci lagi. Aku mengerang kesal. Bagaimana ini?
Aku keluar kamar mandi dengan lesu. "Apa yang harus aku lakukan? Satria itu manusia kurang ajar di dunia."
"Memangnya kamu mau melakukan apa? Dia suamimu." Andra terkekeh. "Nggak akan dapat sangsi kalo cium istrinya sendiri."
Itu menyebalkan. Tapi aku nggak rela Satria merenggut dengan paksa ciuman pertamaku. Eh, sebenarnya bukan memaksa, tapi dia melakukan saat aku sedang tidak fokus. Dia itu pandai benar mencuri kelengahanku. Dasar manusia licik.
"Sudahlah, hanya ciuman. Nggak ada masalah."
"Itu jelas masalah, Ndra. Karena aku nggak pernah ciuman seb--"
Bodoh! Kenapa juga aku harus bicara seperti ini sama Andra?!
"Kamu nggak pernah ciuman? Serius?"
Sudah tidak mungkin aku tutupi lagi. Aku mengangguk pelan.
Andra terkekeh seraya menggeleng. Laki-laki itu kenapa bereaksi seperti itu. Tidak bersimpatikah padaku?
"Kamu lucu, Rea. Pantas saja reaksimu seperti kehilangan keperawanan."
"Apa?"
"Jadi?"
"Apanya yang jadi?"
"Kalian juga belum melakukan itu?"
"Melakukan apa?"
"Yang orang bilang malam pertama."
Mataku melebar. "Ogah banget." Aku menyilangkan tangan ke depan dada. "Jadi, Tuan Andra. Anda sangat salah menempatkan Satria di kamar hotel yang sama denganku."
"Ini akan menjadi berita buruk buat kakek."
"Jangan bilang soal ini pada Kakek, please."
"Aku nggak akan melakukannya."
Andra tersenyum terlampau manis. Kadang aku berpikir, kenapa bukan Andra saja yang dijodohkan kemudian nyasar menikah denganku?
"Terima kasih ya."
"Kamu sudah sarapan?"
"Belum, bahkan aku belum mandi."
"Mau mandi di sini?"
Aku belum siap jika harus bertemu Satria lagi. "Memang boleh?"
"Boleh. Ya sudah, kamu mandi dulu habis itu kita pergi sarapan."
Andra selalu pintar membuatku tersenyum. Kebaikannya itu tidak dibuat-buat. Mungkin memang dia sudah terlahir untuk menjadi manusia baik. Ganteng dan tajir lagi. Paket komplit pokoknya.
PS. Maaf untuk typo yang bertebaran gaess.