Satria tidak bereaksi sedikit pun. Padahal seandainya ini beneran asli kan lumayan kalau dijual lagi. Kami berdua saling pandang untuk beberapa saat. Satria terlihat putus asa dan memilih membuang muka, memakan habis es krimya beserta tempat-tempatnya. Setelah itu dia meraih sebuah tisu dan mengelap mulutnya sendiri, tampak kesal.
Aku memerhatikan kembali cincin itu. Masih satu kata, cantik. Satu detik, dua detik, tiga detik, aku masih belum paham kenapa ada hadiah secantik ini. Empat detik, lima detik, memang terdengar mustahil sih, apalagi mahkota cincin ini lumayan besar. Kilaunya cling banget lagi. Di detik ke enam sebuah kesadaran menghantamku. Aku menoleh kepada manusia tampan di sebelahku, mukanya semakin terlihat kusut dan nggak bersemangat.
Aku meringis, menyadari sebuah kesalahan yang membuat muka suami gantengku bete maksimal.
"Kenapa?" tanya Satria, pupil matanya nyaris menghilang.
"Cincinya bagus deh, makasih ya." Aku tersenyum malu-malu.
"Udah sadar sekarang?"