Tidak butuh waktu lama bagi Hailee untuk bertemu dengan Ian, karena setelah Ian mendengar kalau Hailee ada di luar menunggunya, dia segera bergegas untuk menemui gadis itu.
Sepanjang jalan dia merutuki Hailee, entah apa yang ada di dalam pikirannya hingga berani datang ke tempat ini sendirian. Sudah berkali- kali Ian memperingatkan Hailee untuk tidak datang mengunjunginya ke sini kalau tidak bersamanya.
Tanpa Ian tahu, ada bahaya yang lebih besar yang mengancam gadis itu di luar sana.
Ian setengah berlari dengan Demian dibelakangnya, security yang memberitahukannya kalau Hailee datang.
"Hailee," panggil Ian ketika dia mendapati sosok kecil itu tengah menunduk, menendang- nendang kerikil di bawah kakinya. "Sudah kubilang berkali- kali kalau…"
Protes Ian teredam ketika rambut Hailee yang panjang menutupi penglihatannya saat gadis itu berlari, menubruk tubuhnya dengan keras dan menarik lehernya sebelum akhirnya tangisnya pecah.
Suara tangisan Hailee tentu saja mengundang orang- orang di sana untuk menatap mereka dengan tatapan penuh tanya.
"Hailee… Hailee… jangan menangis seperti ini." Ian menatap panik kepada orang- orang di sekitarnya. Apa yang terjadi padanya di sini sangatlah tidak sesuai dengan julukan dirinya sebagai the executioner. "Ayo kita ke dalam," ucap Ian dengan suara yang rendah sambil membungkukkan tubuhnya, mengangkat bagian paha Hailee dan menggendongnya untuk kembali masuk ke dalam.
Tentu saja pemandangan ini sangatlah tidak wajar di sekitar Arena, apalagi untuk orang- orang yang sangat mengenal Ian.
Arena merupakan tempat di mana orang- orang datang untuk menyaksikan pertarungan liar, baku hantam tanpa aturan. Memuaskan hasrat mereka untuk menyaksikan dua orang saling menjatuhkan di atas ring tinju sambil mempertaruhkan harta mereka yang lumayan.
Di sinilah Ian biasanya menghasilkan pundi- pundi uangnya, dia merupakan salah satu petarung terbaik di bawah asuhan kelompok sandgun 45.
Bagi mereka yang menyukai kehidupan pertarungan liar semacam ini, nama sandgun 45 bukanlah hal yang asing di telinga mereka. Di tambah lagi dengan kemisteriusan pemilik sandgun 45, yang hingga hari ini masih tidak diketahui siapa, mereka hanya memanggilnya dengan sebutan Shiren.
Beberapa mengatakan dia adalah wanita cantik yang menyukai hal- hal berbau kekerasan dan merupakan wanita simpanan pejabat kaya, tapi beberapa mengatakan lagi bahwa pemiliki dari sandgun 45 adalah seorang pria dan nama Shiren hanyalah sebagai pengalih perhatian.
Namun, hingga hari ini, tidak ada yang tahu kebenarannya. Tidak juga dengan Ian.
Ian membawa Hailee langsung ke dalam kamar ganti miliknya, menghiraukan tatapan bingung dari orang- orang yang mereka lewati.
Begitu Ian sudah mendudukkan Hailee yang masih menangis, dia segere menutup pintu dan menguncinya lalu berjongkok di depan gadis yang sudah dia anggap sebagai adik tersebut.
Ian sudah tidak memiliki keluarga dan Hailee merupakan satu- satunya orang di dunia ini yang dia anggap sebagai keluarganya, walaupun dia tidak akan pernah mengakui hal itu.
"Lee, berhenti menangis dan katakan padaku ada apa?" dia mengusap kepala Hailee dengan lembut, orang lain akan mengira dia bukanlah The Executioner, petarung haus darah yang tak kena ampun saat dia menghajar lawannya hingga hampir kehilangan nafas terakhir mereka.
Hailee menghapus air matanya, menatap Ian dan mengatakan satu kalimat yang membuat Ian mengernyitkan dahi. "Aku baru saja membunuh orang…" suara Hailee gemetar, baru sekarang dia merasakan gelombang panik dan takut yang tadi sempat berhasil untuk dia redam.
"Apa?" Ian mengatakan satu kata itu dengan nada tidak percaya, lalu memborbardirnya dengan pertanyaan. "Bagaimana bisa? Siapa yang kau bunuh? Kau pasti sedang bercanda, kan?"
Hailee mengertakkan giginya dan menatap Ian tajam dari balik bulu matanya yang basah karena air mata. "Apa di hadapanmu ini aku terlihat seperti sedang bercanda?"
"Siapa yang kau bunuh?" Ian berubah serius kali ini, melihat kondisi Hailee sekarang… siapa yang akan bercanda seperti itu? Belum lagi mata Ian menangkap luka memar di bagian kening Hailee dan darah kering yang menggumpal di ujung rambutnya.
Sepertinya masalah ini akan jadi jauh lebih serius daripada yang bisa Ian perkirakan.
"Roland Dimatrio, Jaksa wilayah di kota T." suara Hailee semakin pelan, dengan menyebut namanya saja, apa yang terjadi di depan matanya kembali terbayang.
"Kau membunuhnya?!" mata Ian membelalak ketika mendengar berita mengejutkan itu dan kemudian dia menggelengkan kepala keras- keras, kebiasaan yang selalu dia lakukan apabila dia ingin menjaga fokusnya pada suatu masalah. "Tapi, kenapa? Tidak. Pertanyaannya adalah; bagaimana kau bisa menemui dia?"
Hailee menelan ludahnya dengan susah payah dan Ian menangkap gesture tersebut dengan mengambilkan satu botol air mineral dan memberikannya pada Hailee setelah dia membuka tutupnya.
Hailee begitu berterimakasih saat dia merasakan cairan sejuk itu mengalir di tenggorokkannya dan membuat suaranya menjadi jauh lebih baik.
Butuh waktu beberapa saat bagi Hailee untuk menceritakan segalanya pada Ian, mulai dari bagaimana kedua orang tuanya meninggal dalam kasus perampokan seminggu yang lalu dan bagaimana Aileen, kakak tirinya, yang selama ini Hailee selalu anggap sebagai sosok sempurna, telah menjualnya kepada pria tua sang Jaksa wilayah, Roland Dimatrion.
Dan tentu saja bagaimana dia berhasil melarikan diri dari mimpi terburuknya itu dengan tanpa sengaja malah membunuh Roland.
"Aku harus bagaimana?" Hailee kembali terisak, dia mengeluarkan sebuah arloji dan dua buah cincin milik Roland dan menyerahkan ke tiga benda itu pada Ian. "Aku butuh uang."
Dahi Ian mengernyit. "Tenang saja, aku akan menjualnya dengan aman." Tentu saja, Ian memiliki banyak jaringan di dunia yang tidak tersentuh 'matahari' ini, dia dapat menjual barang- barang itu tanpa terlacak.
"Sudah kukatakan bukan? Kau harus berhati- hati pada Aileen, dia tidak sebaik yang kau duga." Ian kembali mengingatkan peringatannya berapa saat dulu, yang sama sekali tidak di gubris oleh Hailee.
Orang tua Hailee tidak menyukai Hailee bergaul dengan berandalan seperti Ian, maka dari itu, mereka melarang Hailee untuk menemui Ian lagi, berpikir kalau hubungan mereka bisa berlanjut menjadi sesuatu yang Mr. dan Mrs. Tatum tidak inginkan.
Oleh karena itu, sudah satu bulan belakangan ini, Hailee dan Ian benar- benar lost contact, hingga Ian sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada adik kecilnya ini.
"Ian, apa yang harus aku lakukan sekarang?" Hailee kembali mengusap air matanya, sementara Ian mengambilkan sekotak tisu dan memberikannya pada Hailee.
"Ada satu cara yang bisa kau ambil dalam situasi seperti ini." Ian duduk di samping Hailee dan merangkulnya, membiarkan dia bersandar pada bahunya. "Aku akan membantumu mencari tempat yang aman dan membuatkan identitas baru, sementara itu, kau bisa tinggal di rumahku."