Ketika mereka bertiga sudah berkumpul, ada satu pertanyaan yang selalu muncul, entah dari Wahya atau Yono, "Ke mana kita hari ini?"
Dan biasanya, Pras yang selalu menjawab dengan jawaban yang hampir sama, duduk-duduk di warung Bu Ijah, bermain di kebun Pak Rohmat, atau duduk di pinggir lapangan, menonton tenis meja.
Lalu, Yono mengeluh, "Ah, bosan." Tetapi, nyatanya ia melakukan apa yang dikatakan oleh Pras.
Pras berbadan tinggi seperti bambu. Kulitnya putih, rambutnya lurus sedikit oranye, dan hidungnya mancung. Pras memiliki darah keturunan Belanda. Kakeknya Pras orang Belanda.
Kata Mama, kakeknya Pras datang ke Indonesia sebagai pasukan Belanda dan kemudian membelot ke dalam pasukan Indonesia bersama Poncke* pada masa Agresi Militer.
Mama menunjukkan foto lama yang menampakkan sang kakek dan Poncke berkumpul bersama dengan pasukan Indonesia.
Seperti kakeknya, Pras memiliki keberanian dan percaya diri yang tinggi. Ia senang menjadi pusat perhatian. Di depan teman-teman perempuannya, Pras bagaikan penyiar radio sesi cinta dan curhat. Ia pandai mengambil hati perempuan, dan kemudian, tahu-tahu mereka sudah mengobrol selama satu jam.
Berbeda sekali dengan Wahya yang jika ada perempuan cantik, dia akan diam dan mematung. Lalu, tak sengaja mengeluarkan aroma tak sedap dari ketiaknya tanda perlindungan diri karena merasa tidak nyaman. Apalagi, usianya kini masuk usia remaja. Aroma tubuhnya sedang mekar-mekarnya, ditambah rambut-rambut yang baru tumbuh di sudut-sudut tubuhnya.
Hanya sedikit perempuan yang membuat Pras kehilangan keberaniannya yang berlebihan. Pertama, ibunya. Kedua, gurunya. Ketiga, budenya Wahya.