Semua orang tampak memperhatikan membuatnya benar-benar risih, ia tak terbiasa sebelumnya diperlakukan seperti ini. Oh, ayolah, Via benar-benar tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Apalagi para murid laki-lakinya terus saja menatapnya dengan penuh kekaguman.
Via menunduk dengan kaki yang terus berjalan menuju kelasnya, bahkan ia belum memiliki teman seorang pun disini. Via tidak pandai bergaul, selama bertahun-tahun Ibunya benar-benar membuatnya menjadi merasa kesulitan untuk segala sesuatunya, seperti sekarang ini.
Hari pertama masuk Sekolah, ia belum bisa beradaptasi dengan lingkungan dan semua orangnya. Tak ada seorang pun yang menyadarinya jika saat ini Via tengah menahan rasa takut didalam dirinya. Bahkan tubuhnya sudah lemas sedari tadi, keringat dingin mulai bercucuran dari kening dan pelipisnya.
Via memejamkan matanya, kemudian mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Perlahan ia tersenyum, Via tidak menyadari jika sedari tadi banyak siswa-siswi sekelasnya yang menatapnya dengan tatapan aneh, sinis, dan kekaguman.
"Ibu, ini semua Via lakukan buat Ibu." Batin Via. Suara bel berbunyi membuat Via membuka kedua matanya, lalu tak lama masuklah seorang guru yang akan memulai pembelajaran.
Akhirnya kini Sekolah pun telah selesai, banyak siswa dan siswi yang berhamburan keluar kelas karena ingin cepat pulang. Namun berbeda dengan Via yang lebih memilih menunggu Sekolah sedikit sepi. Sembari menunggu, Via menelisik seluruh ruangan kelasnya dengan senyum yang mengembang, sampai suatu ketika pandangannya jatuh pada sebuah sepatu yang berada dilantai pojok belakang.
Karena penasaran, Via pun menghampirinya dan betapa terkejutnya ketika ia melihat itu, yang ternyata adalah seorang laki-laki teman sekelasnya yang memang cukup nakal menurut Via. Karena tak ingin keberadaannya diketahui, Via dengan perlahan berjalan mundur dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara.
Namun sayang, Via tak sengaja membuat meja yang berada dibelakangnya bergeser sehingga bisa menimbulkan suara. Ia meringis dan langsung mengambil tas sekolahnya, sebelum diketahui oleh laki-laki itu.
"Siapa disana?" Tanya laki-laki itu yang masih bertahan dengan posisi berbaringnya. Via yang mendengar sempat menghentikan langkahnya sesaat, lalu pergi dari ruangan kelasnya.
Laki-laki itu pun membuka kedua matanya, lalu berdiri dari baringannya dan melihat seisi kelas yang ternyata tak ada seorang pun disana. Seketika ia menghela nafas, kemudian mengambil tas dan berlalu pergi dari kelas.
Ketika sedang melewati halte yang berada tak jauh dari Sekolahnya, ia melihat seorang gadis yang sedang duduk menyendiri, entah kenapa tiba-tiba ia merasa kasihan, karena sepertinya gadis itu masih menunggu seseorang untuk menjemputnya.
Ia pun memutuskan untuk menghentikan mobilnya dan menepi tepat didepan Halte itu. Kemudian kaca pintu sebelah kiri dari mobilnya ia turunkan, terlihat sekali seorang gadis cantik yang tengah menangis dengan wajah yang sudah memerah.
Ia langsung turun dari mobilnya, menghampiri gadis itu dengan perasaan khawatir. Laki-laki itu pun berdiri dihadapan gadis itu dengan menatapnya lekat-lekat. Gadis itu sepertinya menyadari kehadirannya, terbukti jika saat ini gadis itu mendongakkan kepalanya, melihat kearahnya.
"Hai, lo kok belum balik? Jemputan lo, kemana?" Tanya laki-laki itu.
Hening, gadis yang diajaknya berbicara itu tak menjawab pertanyaannya.
Hari sudah mulai sore, sebenarnya ia ingin segera berbaring di kasur empuknya, akan tetapi ia juga tak tega jika harus meninggalkan gadis ini seorang diri di Halte sore-sore begini.
Tak ada cara lain selain ia harus menggendongnya untuk membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Meskipun gadis itu sempat memberontak tak terima, namun pada akhirnya ia bisa membawanya masuk ke mobil.
"Lepasin aku, lepas!" Namun, laki-laki itu tak menghiraukannya hingga kini Ia dan gadis itu sudah berada didalam mobil. Kepanikan pun dimulai, ketika gadis itu menampilkan ekspresi yang dapat Ia tebak jika sebentar lagi akan menangis.
"Jangan nangis, please, gue mohon." Ujar laki-laki itu yang kini benar-benar panik karena membuat seorang gadis cantik itu menangis.
Selama perjalanan, gadis itu terus saja menangis membuat laki-laki itu merasa pusing mendengarnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa saat ini, jujur saja Ia merasa menjadi seperti seorang penculik karena membawa seorang gadis yang tak berhenti menangis.
"Ok, gue minta maaf sebelumnya udah maksa lo, tapi gue bersumpah gak ada niat sama sekali buat jahatin lo, kok,"
Gadis itu masih terus saja menangis, tak berniat menjawab obrolannya sama sekali.
"Tolong, dong. Jangan nangis, gue mohon, please." Mohon laki-laki itu. Akhirnya gadis itu pun berhenti menangis, dan kini ia bisa mengemudi mobilnya dengan tenang.
Namun, kecanggungan mulai melanda ketika gadis itu hanya diam dan melamun. Laki-laki itu mengusap tengkuknya, Ia merasa bingung harus berbuat apa sekarang.
"Jelasin Yo, jelasin, kalau lo cuma berniat nganterian dia pulang!" Ujar laki-laki itu dalam hati.
"Gue anter lo pulang, dimana rumah, lo?" Ujarnya meringis. Laki-laki itu membatin dalam hati, berkata, "Perasaan tadi gue gak bakal ngomong gitu deh," Ujarnya merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Gak jauh kok, dari sini. Nanti pertigaan belok kiri, abis itu ada Rumah warna Abu, itu rumah aku."
Laki-laki itu yang mendengarnya pun tersenyum mengembang, "Ok, by the way kita belum kenalan. Nama gue, Genio. Panggil aja sesuka lo apa aja dah, mau gen, kek, mau geni, kek, atau nio juga boleh, bebas."
"Kalau nama lo, siapa?" Tanya Genio padanya.
Gadis itu terkekeh, padahal baru saja dia menangis sangat lama. Melihatnya, Genio tersenyum senang akan respons gadis disampingnya itu.
Akhirnya mobil Genio pun sampai disebuah rumah yang minimalis, namun masih terkesan modern. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung keluar dari dalam mobil setelah sebelumnya ia sempat tersenyum pada Genio, laki-laki yang sudah baik mengantarnya pulang.
Genio yang melihatnya balas tersenyum dari luar mobil, entah kenapa ia gemas dengan segala tentang gadis itu, astaga jangan gila, tidak mungkin baru bertemu sudah menyukai seorang gadis, dasar Genio yang nakal.
"Tapi lucu banget, gimana dong?" Tanya nya pada dirinya sendiri, lalu memasuki mobilnya.
Ketika didalam mobil, Ia pun melihat wanita dewasa yang menatap kearah mobil miliknya, Genio yakin jika wanita itu adalah Ibu dari gadis yang tadi.
"Pantes aja gemesin banget anaknya, orang Ibunya juga cantik begitu, subhanallah."
Setelah itu Genio menancapkan pedal gas nya lalu pergi menjauh dari kediaman rumah gadis itu. Sepanjang perjalanan entah kenapa ia merasa baru pertama kali merasakan perasaan yang sudah lama tak ia rasakan.
Saat ini Via baru saja selesai berganti pakaian, saat ini Via merasa perutnya kelaparan, maka dari itu ia langsung menuju meja makan yang ternyata disana terdapat Ibu Via yang sudah menunggunya sedari tadi.
"Vivi, sini duduk. Ibu mau tanya sesuatu, boleh?" Tanya Ibu Via serius.
Via yang melihatnya mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian mengangguk sebagai jawaban. Setelah itu Via pun duduk dihadapan Ibunya, sedangkan Ibu Via mengambilkan makannya untuk putrinya itu.
"Tadi kamu pulang sama siapa, Vivi?" Tanya Ibu Via yang langsung membuat Via tersedak ketika sedang memakan makan siangnya.
"Ibu, maafin Via, jangan marahin Via, ya, Bu?" Mohon Via dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Ibu Via yang melihatnya pun mengulum senyumnya, rupanya putrinya itu sangat takut jika dirinya marah. Melihat raut wajahnya saja, Ia sudah merasa kasihan, lalu bagaimana bisa dirinya memarahi gadis cantiknya itu?
"Ibu gak akan marah, kalau kamu mau jujur sama Ibu, gimana?" Tanya Ibu Via sembari tersenyum.
Via pun pada akhirnya mengangguk setuju.