Chereads / LOVE OF DREAM / Chapter 27 - PROFESIONALITAS

Chapter 27 - PROFESIONALITAS

Saat ini John merasa aneh dengan sikap Calvin yang mendadak menjadi pendiam, bahkan sering melamun ketika sedang bekerja. Asal kalian tahu saja, jika Ia sangat tidak suka orang yang seperti itu.

Sangat tidak profesional dalam bekerja, itu sangatlah mengganggu, dan John adalah orang yang tidak pandang bulu, meskipun pada kenyataannya Calvin adalah Sahabatnya, tetapi tetap saja jika menyangkut soal pekerjaan, John tidak akan segan-segan memecatnya.

Calvin terdiam lesu diruang kerjanya,  melamun, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini. John mati-matian menahan kesalnya sedari tadi karena mengingat betapa buruknya pekerjaan Calvin hari ini, jika masalah pribadi dibawa-bawa kedalam urusan pekerjaan, maka John yakin takkan segan-segan memotong gaji Sahabatnya itu.

John menghampiri meja kerja Calvin, bahkanmm ketika dirinya sudah berada dihadapannya pun, pria itu tidak menyadari dengan kehadirannya sama sekali. Dengan perasaan kesal, ia menggebrak meja kerja Calvin dengan sangat keras, beruntung ruangannya dan ruangan Calvin dibuat kedap suara sehingga orang lain tidak bisa mendengarnya.

Calvin yang mendengarnya pun terlonjak kaget dan langsung berdiri menatap John dengan tatapan yang tak kalah tajam dari John.

John megangkat dagunya keatas menantang, lalu meraih kerah baju Calvin, "Apa? Mau marah sama gue, iya? Ayok, kalau berani, sini, tampar gue sekalian, Vin!" Tantang John yang membuat Calvin hampir saja tersulut emosinya karena tangannya yang mengambang hampir menampar wajah John.

"Perlu gue ingetin, hah?! Kalau gue gak suka orang yang gak profesional kaya gini, meskipun itu Sahabat gue sendiri!"

Setelah mengucapkan itu, John pergi meninggalkan Calvin yang mematung ditempatnya. Calvin mengacak-acak rambutnya frustasi, ia kesal, benar-benar kesal, bagaimana tidak? Ibu kandungnya tiba-tiba datang pulang ke Rumahnya, tinggal bersamanya dengan maksud dan tujuan tertentu.

Percakapan Calvin dan John ditelepon kemarin itu memang benar, jika Ibunya memintanya agar cepat-cepat menikah, tetapi yang lebih mengejutkannya lagi adalah Ibunya ternyata sudah menjodohkan Calvin tanpa sepengetahuan pria itu dengan seorang wanita pilihan Ibunya sendiri.

Pilihan Ibunya itulah yang membuatnya benar-benar kesal bukan main, dimana yang ternyata merupakan mantan pacarnya yang begitu Calvin benci hingga saat ini.  Bagaimana pun, dia yang masih Calvin cintai lebih unggul dari mantan pacarnya yang menjadi pilihan Ibunya sendiri.

Calvin yakin pasti ada yang tak beres dengan semua ini, dan ia harus segera mencari tahu. Seketika ia disadarkan oleh keadaan saat ini, baru saja dirinya bertengkar dengan Sahabatnya sendiri hanya karena perihal ini, menghela nafasnya sebentar untuk menenangkan pikirannya yang akhir-akhir ini selalu memenuhi kepalanya.

Ia bergegas menuju ruangan CEO, namun nihil, John tidak ada diruangannya.  Mendadak Calvin menjadi merasa bersalah, hari ini ia sudah mengacaukan segalanya, meeting yang harusnya berjalan dengan begitu lancar malah mendadak menjadi buruk karena perbuatannya.

"John, lo dimana, sih?" batin Calvin. Ia bahkan tidak marah ketika John berbuat seperti tadi kepadanya, karena bagaimana pun itu demi pekerjaannya. Ia juga tahu jika John sahabatnya itu benar-benar adalah tipe orang yang sangat tidak pandang bulu jika menyangkut urusan pekerjaannya itu, ia sadar ini adalah kesalahan terbesarnya, maka dari itu jika setelah ini ia harus mengundurkan diri pun, maka Calvin akan menerima resikonya.

Bahkan, jika Calvin berada diposisi John, pasti akan melakukan hal yang sama. Saat ini Calvin sedang berada di rooftop, benar saja disana terlihat John sedang menyendiri sembari menatap pemandangan kota dari atas sini.

Sebelum itu, Calvin mempersiapkan diri agar tidak salah bicara ketika berbicara dengan John nanti. Jika John sudah marah, amarahnya akan sulit diredam, bahkan untuk kembali bersikap seperti semula saja bisa membutuhkan waktu yang lama, itulah seorang John Sheikh.

Wajar saja jika diluaran sana banyak sekali para wanita yang menginginkan menjadi Istri dari pria itu, tetapi baru kali ini Calvin menyadari, status Istri tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan cinta yang John miliki hingga saat ini hanya kepada satu orang wanita saja.

Saat Calvin melangkah mendekati Sahabatnya, pria itu berbicara, "Ngapain lo, kesini?" tanya John dengan suara dinginnya, tak bersahabat. Rupanya John sudah menyadari kehadirannya, ia menghela nafasnya, menghilangkan perasaan gugupnya.

"John, sebelumnya gue mau minta maaf untuk hari ini. Gue tahu udah ngerusak meeting penting yang berarti banget buat lo itu, sekali lagi gue minta maaf. Gue juga siap nerima apapun resikonya, kalau dengan gue mengundurkan diri dari perusahaan itu bisa bikin lo lega, maka gue bakal lakukan itu."

Setelah mengucapkan kalimat panjang itu, Calvin bukan merasa lega tetapi malah semakin sesak, tenggorokannya merasa tercekik, ia membenarkan sedikit dasinya yang seakan mencekiknya itu.

Tak ada jawaban sama sekali dari John, membuat Calvin merasa khawatir akan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja bisa terjadi itu. Ia sudah pasrah akan semuanya, sudah melakukan kesalahan, maka ia harus bertanggung jawab demi Perusahaan.

"Jangan minta maaf ke gue, Vin. Gue gak akan pernah bisa jadi seperti sekarang kalau bukan karena berkat kerja keras para karyawan gue. Seharusnya lo minta maaf sama mereka, bukan ke gue, meskipun gue akui kalau gue juga merasa kecewa akan apa yang terjadi hari ini."

John pun akhirnya mau berbalik menghadap kearahnya, sebelum meninggalkan Calvin yang menatapnya dengan penuh penyesalan itu, ia menepuk pundak Sahabatnya itu dua kali.

Benar kan, dugaannya, John adalah orang yang begitu mementingkan Profesionalitas jika sudah menyangkut pekerjaan.

Ketika seperti ini pun, Calvin masih terkagum kepada sosok Sahabatnya itu, akan apa yang baru saja John katakan kepadanya. Sungguh, takkan ada orang sebaik laki-laki itu, biasanya para atasan tidak memiliki hati dan tak menghargai usaha para karyawannya yang sudah susah payah bekerja dibawah naungannya sendiri.

Seulas senyum terbit, sampai kapan pun ia takkan bisa melupakan jasa yang telah John berikan kepadanya, juga kebaikan-kebaikan yang tak terhitung jumlahnya.

Besok, apapun yang terjadi, Calvin akan siap menerimanya. Apapun keputusannya, maka Calvin akan menghargainya, sama seperti apa yang selalu John lakukan kepadanya dan juga karyawan lainnya.

"Jika ingin dihargai, maka hargailah orang lain," gumam Calvin sembari matanya terfokus kedepan dengan senyum yang masih mengembang, itu adalah kalimat dimana John selalu mengingatkan dirinya untuk itu.

Dari belakang sana, John tidak benar-benar pergi, ia memperhatikan Calvin diam-diam hanya untuk melihat seberapa besar Calvin menyadari kesalahannya itu. Karena, John yakin jika Calvin bukanlah orang yang lari dari tanggung jawab.

John tersenyum melihat punggung tegap itu, entah apa yang akan besok dirinya putuskan, ia akan memikirkannya terlebih dahulu. Setelah itu John pun pergi meninggalkan rooftop, ponselnya tiba-tiba berdering, ia pun langsung mengangkatnya sembari pergi menjauh dari sana.

"Halo."

"Baik, saya kesana sekarang."

Si penelpon ternyata adalah Rudy, baru saja memberikan kabar kepadanya bagaimana hari-hari pertama putrinya itu bersekolah.

Disisi lain, setelah mendengar kabar itu, John mendadak menjadi khawatir, entah apa alasannya, tetapi yang pasti ia  harus segera sampai ke Sekolah dan meminta penjelasan lebih jelasnya seperti apa.

Andai saja Mara memberitahunya, mungkin ia tidak perlu bersusah payah melakukan semua ini hanya untuk memastikan bahwa Via baik-baik saja dan tak memiliki trauma apapun dalam hidupnya.

Karena jika itu sampai terjadi, ia takkan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Bagaimana pun ini adalah kesalahannya, apapun yang menyangkut hidup dan mati anaknya, ittu sudah pasti karena karma dari perbuatannya dimasa lalu yang begitu bodohnya sudah menyakiti wanita sebaik Ibunya Via, Mara.

"Maafkan aku, Mara. Maafkan ayah juga, Via."