Chereads / LOVE OF DREAM / Chapter 4 - MENYESAL

Chapter 4 - MENYESAL

Terbangun dari tidurnya dengan mata yang masih terpejam erat, ia meraba-raba sampingnya yang ternyata kosong. Ia langsung mengerutkan keningnya, membuka kedua matanya secara perlahan.

Pemandangan pertama yang dirinya lihat adalah Suaminya yang sedang merapikan pakaian ala kantornya dihadapan cermin. Mengucek-ucek kedua matanya, setelah itu menguap dan meregangkan otot-otot tubuhnya.

Dengan anggunnya ia berjalan menghampiri Suaminya itu yang sedang memasang dasi. Kemudian ia membantu memasangkannya dengan rapi, sedangkan Suaminya merasa heran karena tidak biasanya Istrinya ini bersikap baik jika tidak memiliki maksud tertentu.

"Ada apa?" tanya John menatap wajah Istrinya itu lekat-lekat. Istrinya itu hanya diam sembari tersenyum masih sibuk memasangkan dasinya.

Setelah dirasa selesai, barulah Istrinya itu bersuara. "Kaya nya kamu udah hafal banget aku ya, Mas," ujar Yuanita, Istrinya.

Benar saja dugaannya sangat tepat. John sangat tahu bagaimana perilaku Istrinya selama bertahun-tahun menjalani rumah tangga bersamanya.

John menghela nafasnya, mencoba bersabar dengan sikap Yuanita yang selalu seenaknya. Istrinya itu kemudian berdiri dibelakangnya, memeluknya dengan mesra.

"Mas," panggil Yuanita setelah mengecup pipi Suaminya itu dengan mesra.

"Apa?" tanya John dengan malas, menunggu apa yang akan Istrinya itu inginkan. Posisi mereka saling menatap kearah cermin.

"Aku minta uang 10 juta dong, Mas," pinta Yuanita dengan sedikit rayuan pada John, Suaminya. Ini masih pagi dan Istrinya sudah membuatnya kesal menjadikan moodnya buruk hari ini.

John memicingkan matanya curiga, "Uang yang Mas transfer bulan kemarin udah habis emangnya? Kok, cepet banget?"

Yuanita pun langsung melepaskan pelukannya. Memunggungi Suaminya sembari mengulum senyumnya.

"Kurang dong, Mas. Aku kemarin shopping bareng temen-temenku, terus ke Salon buat perawatan. Mas, katanya hari ini ada barang branded keluaran terbaru, lho." Yuanita pun berbalik kembali menghadap kearah Suaminya itu dengan senyum yang mengembang dan John sangat tahu arti dari senyumannya itu. "Mas, belikan ya?" pinta Yuanita, kemudian senyumannya pun semakin mengembang dari sebelumnya.

"SUDAH CUKUP YUANITA!!"

Kesabarannya benar-benar sudah habis, John berdiri lalu berbalik untuk menghadap Istrinya itu. Bahkan menatap Yuanita dengan tajam. Istrinya hanya menatapnya sekilas karena takut dengan tatapan tajam Suaminya itu.

Bentakan John benar-benar membuatnya terkejut. Tak menyangka jika Suaminta kini sudah berani membentaknya, padahal dulu Suaminya itu saking begitu cinta terhadapnya takkan pernah berani melakukannya.

Yuanita tidak ingin takut jika hanya karena Suaminya seperti ini. Ia balas menatap John dengan tajam, kedua tangannya ia lipat didada serta dagu yang diangkat sedikit keatas menjadikannya sedikit angkuh.

"OH, JADI SEKARANG KAMU BERANI BENTAK AKU, HAH?!" Yuanita berdecih sinis, "Dasar Suami kurang ajar!" Umpatnya lalu berjalan menuju Walk in closet.

Namun langkahnya langsung terhenti ketika mendengar kembali bentakan dari Suaminya sendiri. John terkekeh setelah mendengar umpatan dari Istrinya sendiri itu.

"Lucu. Kok, gua dulu cinta banget ya sama cewek kaya gini?" batin John menyesalinya dengan kepala yang menggeleng menatap punggung Yuanita.

"KAMU YANG KURANG AJAR. KAMU SELALU MEMINTA INI DAN ITU. KETIKA SEKARANG SEDANG BERADA DIBAWAH, KAMU MALAH PERGI BERSAMA TEMAN-TEMANMU! MANA SIKAP SEBAGAI SEORANG ISTRI YANG BAIK?! GAK ADA SAMA SEKALI! MANTAN ISTRIKU JAUH LEBIH BAIK DARIPADA KAMU, YUANITA!"

Tanpa sadar John telah membandingkan Yuanita dengan mantan Istrinya yang dulu. Yuanita yang mendengarnya pun begitu sesak, tak menyangka bahwa Suaminya bisa melakukan ini padanya.

Begitulah cinta, jika salah satu diantara pasangannya merasa sangat dicintai, maka pasangannya itu akan berperilaku semaunya. Menjadikannya kurang menghargai usaha atau perjuangan yang telah diberikan pasangannya.

Yuanita memejamkan matanya sebentar, menenangkan dirinya sendiri. Sudah lama ia ingin memutuskannya, tetapi selalu gagal karena John yang begitu baik padanya.

"Kalau gitu, lebih baik kita cerai saja. Aku gak bahagia hidup sama kamu, John. Aku capek hidup susah kaya gini."

John menatapnya tak percaya. Ucapan yang baru saja keluar dari mulut Istrinya itu benar-benar diluar dugaannya. Ternyata usahanya selama ini hanyalah sia-sia.

Selama ini John rela meninggalkan istri dan anak satu-satunya hanya demi menikahinya. Sekarang ia semakin yakin bahwa Yuanita tak pernah benar-benar mencintainya.

Terbukti sudah sejak lama mereka menjalani hidup sebagai sepasang Suami-Istri, tetapi mereka belum memiliki keturunan. Yuanita tidak pernah ingin hamil.

Mengingat kata hamil ia jadi teringat pada anaknya. Pasti sekarang anaknya sudah tumbuh menjadi seorang remaja, entah itu tampan atau cantik. Ia akan mencari anak dan mantan Istrinya itu, bermaksud meminta maaf atas perbuatannya selama ini.

John hanya merasa ini adalah hukuman untuknya karena telah menyakiti mantan istrinya, terutama bayi itu. Pasti bayi itu tumbuh tanpa seorang Ayah disampingnya.

"Tuhan, jika memang ini dosa yang telah ku perbuat. Pertemunkanlah aku dengan mereka," batin John.

Sadar ketika melihat jarum jam yang menunjukan akan keterlambatannya bekerja, John langsung bergegas pergi menutup pintu kamarnya kencang.

Yuanita terkejut mendengar pintu yang ditutup kencang. Memijit pangkal hidungnya sebentar, ia merasa Suaminya mulai pelit uang padanya. Padahal selama ini John selalu memberunya uang yang jumlahmya tak bisa dibilang sedikit.

John sedang sibuk dengan berkas-berkasnya padahal ini sudah waktunya makan siang. Tetapi sepertinya pria itu tidak berminat untuk makan siang, bahkan untuk beranjak dari tempatnya pun enggan.

"Sibuk mulu, John," ledek Calvin, Sahabatnya. John menghela nafasnya kemudian kembali melanjutkan beberapa pekerjaannya yang menumpuk.

"Bisa gak, lo kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu?"

"John, lo kenapa sih?"

"Ini masih area Kantor, Vin," peringat John, takkan ada yang bisa membantahnya kecuali seorang Calvin.

"Gapapa kali, disini kan cuma kita berdua," bantahnya tanpa dosa. Setelah itu terdengar suara ketukan pintu dan masuklah salah seorang karyawan.

Calvin terkejut, menatap John yang kini menatapnya tajam. Menurut John, Calvin adalah orang yang menyebalkan, sulit diberi tahu, walau begitu Sahabatnya ini begitu baik dan pengertian. Satu-satunya teman yang tak pernah memanfaatkan kebaikannya hanyalah Calvin.

Hingga detik ini saja pertemanan diantaranya dan Calvin masih bertahan sejak dari SMA. Kini menjadi Sekretaris menggantikan Yuanita istrinya yang dulu sebelum menikah pernah bekerja dengannya sebagai Sekretarisnya.

Setelah kepergian karyawannya dari Ruangan, John langsung berucap, "Jangan lagi bantah apa yang gue bilang!" ujarnya memperingatkan Sahabatnya itu.

Calvin pun meringis, ia pasrah saja jika aura dingin dari seorang John mulai terlihat.

Kini mereka berdua sedang makan siang disebuah Warteg, tempat dimana dulu ketika masih SMA sering membolos. Letaknya yang memungkinkan berada dibelakang Sekolah memudahkan Calvin dan John.

"Lo kangen gak sih sama temen-temen sekolah?" tanya Calvin sembari menyuapi makanannya begitu lahap. Bagi Calvin hanya Warteg ini lah masakan terenak dan sangat pas dilidahnya.

"Kangen lah, apalagi..." ucapannya tiba-tiba terhenti, Calvin mengerutkan keningnya. Hampir saja John keceplosan bahwa ia merindukan mantan pacarnya.

"Apalagi... apa?" tanya Calvin. John menggelengkan kepalanya, menyuapi kembali makanan ke mulutnya.

Setelah ditelan John pun melanjutkan ucapannya, "Apalagi pas bolos bareng lo, dihukum suruh gombalin si Lela, anak guru yang pendiem culun itu."

Calvin yang sedang minum pun alhasil memuncratkan air minumnya yang sudah berada didalam mulutnya. Ia mengusap mulutnya menggunakan punggung tangannya lalu menoleh kearah John, "Sialan lo, ada-ada aja!" Ujar Calvin tak menyangka akan apa yang diucapkan John.

Tiba-tiba Calvin menatap John yang sedang minum dengan serius, sedangkan John yang menyadarinya pun balas menatapnya.

"Kenapa lo liatin gue kaya gitu?" tanya John heran. Calvin masih diam menatapnya intens membuat John yang risih mau tak mau menamparnya sedikit keras.

"Aduh, kenapa ditampol sih? Salah gue apa?!" kesal Calvin tak terima.

"Salah lo?" Calvin mengangguk, "Salah lo udah jadi temen gue," ujar John santai.

"John?" John hanya membalas dengan deheman tanpa menoleh karena sedang memainkan ponselnya.

"Lo gak kangen sama dia?" Pertanyaan ini membuatnya berhenti dari fokusnya pada ponsel. John sangat tahu siapa yang Calvin maksud itu, ia menoleh pada sahabatnya itu dan menatap Calvin yang sedang menatapnya juga.