FLASHBACK ON
Ibu Via menghampiri John yang baru saja selesai menghubungi seseorang di ruang tamu, "John," Panggilnya yang langsung membuat pria itu membalikkan tubuhnya, tersenyum menatap Mara yang ternyata memanggilnya.
"Aku udah panggilin Dokter kesini, sebentar lagi sampai," Ujar John yang mengira jika wanita itu menghampirinya karena membahas soal itu, padahal tidak sama sekali.
Ibu Via tersenyum mengangguk, "Oh, iya, makasih. Tapi sejujurnya aku bukan mau membahas soal itu," Jeda nya, membuat John mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" Tanya John tak mengerti kemana arah pembicaraan wanita itu.
Mendadak, entah kenapa Ibu Via begitu sulit untuk mengatakannya, tetapi jika tidak segera mengatakannya, maka semuanya akan kacau. Terutama, Mara tidak ingin Via tahu status Ayah kandungnya sendiri ini yang sudah mempunyai pendamping baru.
Ibu Via menghela nafas terlebih dahulu sebelum berkata, "John, sebelumnya aku minta maaf karena terpaksa gak bilang yang sebenarnya ke Via, aku... aku hanya-" John menyela ucapannya, ia tersenyum dan mengangguk, "Shh, udah, gak perlu dijelasin, aku paham, kok," Ujar John yang kini memegang pundak Mara, tetapi langsung ditepis oleh wanita itu.
John merasa tak enak, "Maaf, aku gak bermaksud," Ujarnya yang langsung diangguki oleh Ibu Via. Sebenarnya, ada banyak sekali yang ingin wanita itu katakan, hanya saja benar-benar begitu sulit, tak terpikir bahwa akan sesulit ini.
Namun, John yang melihat Mara seperti itu pun berkata, "Kalau masih ada yang mau dibicarain, bilang aja, Mar," Ujarnya yang membuat Ibu Via sedikit gugup. Pria itu seakan selalu tahu apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan oleh Mara, itulah kenapa Ibu Via bisa jatuh cinta kepada pria yang ada dihadapannya ini. Pria yang juga menyakitinya sedalam ini.
"John, lebih baik kamu gak usah datang kesini lagi. Maaf-" Lagi, John menyela ucapan Mara yang membuat wanita itu menghela nafas, "Apa?" Tanya John menatap Mara tak percaya.
Ibu Via memberanikan diri membalas tatapan John yang selalu berhasil membuatnya luluh, tatapan yang selalu pria itu tunjukkan kepadanya, tatapan yang juga membuat Mara begitu membencinya.
"John, tolong aku, kalau kamu ingin melihatnya bahagia, maka lupakan kami dan jagalah anakmu dari wanita itu." Ibu Via menitikkan air matanya, rasa sesak dihatinya yang sedari tadi ia tahan sudah tak bisa dibendung lagi.
John merasa ada yang menusuk hatinya, benar-benar sakit dari dugaannya. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain, bahkan tatapannya benar-benar kosong saat ini. Biar bagaimana pun, ia sadar jika telah menorehkan begitu besar luka dihati wanita itu.
John menggelengkan kepalanya, "Maaf, Mara. Aku gak bisa lakuin itu, dan asal kamu tahu Mara, sebenarnya selama ini aku gak pernah bahagia bersama wanita itu. Pernikahan itu sebuah kesalahan, yang benar adalah aku dan kamu."
Alis Ibu Via mengerut, "Apa maksud kamu, John?" Tanya nya, sembari menatap John menyelidik. John balas menatap Mara dengan tatapan penuh luka dan kerinduan, "Aku gak pernah menyentuhnya, Mara." Ujar John mengatakan yang sebenarnya.
Tentu saja hal ini membuat Ibu Via benar-benar terkejut, tetapi ia langsung menggelengkan kepalanya karena masih sangat sulit dipercaya.
"Mustahil, itu benar-benar mustahil, John." Mara menggelengkan kepalanya, lalu mengalihkan tatapannya kearah lain, "Sepasang Suami-Istri yang sah, tinggal satu atap, enggak, gak mungkin, itu pernyataan yang konyol, John."
Mendengar itu tatapan John menjadi serius, "Itu fakta. Mara, lihat aku, tatap mata aku, Mar! Dan karena itu, aku belum dikaruniai seorang anak sampe saat ini dari wanita itu. Anakku hanya Via, hanya dia, Mar. Anak dari aku sama kamu. Percaya sama aku, Mar!" Kini kedua tangan John berada dipundak Ibu Via dengan erat membuat wanita itu benar-benar kesakitan.
"John lepas, sakit!" Namun, John tetap tak melepaskannya yang membuat Mara mau tak mau menampar pria itu dengan kesal, perbuatannya itu membuat John tersadar atas apa yang telah dilakukan pria itu pada Mara, wanita yang sangat dicintainya.
John menatap Mara yang kini sudah menangis dengan tatapan rasa bersalah, lagi-lagi ia menyakiti Ibu dari anaknya, "Mara," Lirih John, tetapi Ibu Via tak menjawabnya, masih menangis terisak, "Mara, maafkan aku, Mar..." Lanjutnya lagi.
"Lebih baik kamu sekarang pergi dari rumahku." Usir Ibu Via yang membuat John menggelengkan kepalanya, "Gak mau, Mar, aku gak akan pergi dari sini sebelum Dokter datang." Ujar John yang membuat Ibu Via akhirnya mau tak mau mengalah.
John tersenyum senang sembari menatap punggung Ibu Via yang berjalan pergi menuju kamar Via. Ia mengulum senyumnya, tak lama datanglah seorang Dokter, langsung saja John membawanya menuju kamar putrinya.
John dan Mara harap-harap cemas menunggu didepan kamar anak mereka, namun Mara yang mondar-mandir sedari tadi membuat John menghela nafas. Ia kemudian menarik Mara agar duduk, terlihat tatapan protes dari wanita itu, "Duduk dan tunggu." Ujar John dingin.
Ibu Via mendengus kesal, sedangkan itu tak lepas dari pandangan John sedari tadi. Pria itu tersenyum geli melihatnya. Rasanya ingin sekali memiliki wanita ini seutuhnya kembali dan menjadi miliknya lagi, hanya miliknya. Mengingat itu, ia menjadi penasaran apakah Mara sudah memiliki pengganti dirinya atau belum?
"Mar," Panggil John, Via langsung berdiri karena pintu kamar Via akhirnya terbuka. Sedangkan John menghela nafas panjang lalu ikut berdiri disamping Mara.
"Gimana keadaannya, Dok?" Tanya Ibu Via dengan raut wajah yang benar-benar khawatir. Karena setelah selesain makan tadi, Via kembali jatuh pingsan membuat Mara maupun John benar-benar terkejut.
Dokter itu tersenyum, "Nak Via, baik-baik saja. Dia hanya merasa terbebani oleh pikirannya," Jeda Dokter itu, menatap John dan Mara bergantian, "Apa kalian sering bertengkar dihadapannya?" Tanya Dokter itu membuat John dan Mara menatap satu sama lain.
Seketika ingatannya tertuju saat tadi sore, dimana sikap Via tiba-tiba aneh padanya. "Apa mungkin Via tahu sesuatu?" Batin Ibu Via dalam hati. John tidak tahu, sepertinya ada yang tak diketahui oleh Mara sehingga Via bisa tertekan seperti itu.
Dokter itu pun menghela nafas, "Baiklah, saya sarankan jangan sering bertengkar didepan anak kalian karena itu bisa membuat psikisnya terganggu, usahakan jaga pola makan dan tidurnya, ya, saya permisi."
Mara pun mengangguk, "Terima kasih, Dok." Ujarnya yang langsung masuk kedalam kamar putrinya.
Sedangkan John langsung mengantarkan Dokter itu menuju keluar rumah, "Mari saya antar, Dok." Ujar John yang langsung diangguki oleh Dokter itu.
Setelah sampai didepan rumah, Dokter itu kembali berbicara, namun kali ini lebih serius, "Apa anak anda memiliki masa lalu yang membuatnya trauma?" Tanya Dokter itu dengan serius.
John yang mendengarnya langsung mengerutkan keningnya, "Trauma, maksud Dokter apa, ya?" Tanya nya meminta penjelasan. Dokter itu menggelengkan kepalanya, bagaimana mungkin seorang Ayah tidak mengetahui perihal anaknya yang membutuhkan pertolongan seperti ini.
"Sepertinya anak anda harus dibawa konsultasi ke psikiater, Pak, sebelum semakin terlambat."
Setelah mengatakan itu sang Dokter langsung pergi meninggalkan beberapa pertanyaan dibenaknya. John merasa sedari awal melihat sikap putrinya itu memang ada yang tak beres, bagaimana bisa anak seumuran Via bisa berperilaku masih seperti anak-anak, bahkan Mara sendiri tak mengatakan apapun kepadanya, ini tak bisa dibiarkan.
John masuk kembali kedalam rumah, lalu menuju kamar Via untuk menemui Mara. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada anaknya itu.
"Mara, ikut aku sekarang." Ujar John dingin sembari menarik paksa lengan Ibu Via secara kasar. Mara memberontak, akan tetapi tenaga John lebih besar darinya.
"Gak mau, kamu tuh kenapa sih?! Gak mungkin aku ninggalin Via dalam keadaan kaya gitu!" Bentak Ibu Via keras membuat John terpaksa menggendongnya dan membawa Mara ke sebuah tempat yang dimana seharusnya malam ini rencana pertemuan mereka berjalan dengan lancar.
Setelah sampai disebuah Taman, John langsung keluar dari mobilnya dan membukakan pintu untuk Ibu Via. Terlihat begitu jelas jika Mara begitu marah terhadap apa yang baru saja John lakukan padanya.
"Ayok, kita perlu bicara." Ujar John dingin, sedangkan Ibu Via menatap John datar, "Gak ada yang perlu dibicarakan lagi, John. Semua sudah selesai!" Jawab Ibu Via kemudian berbalik hendak pergi dari Taman itu, namun dengan cepat John menahannya.
John menatapnya tajam dengan sebelah tangannya yang mencekal pergelangan tangan Ibu Via dengan erat, Mara meringis kesakitan, "Katakan yang sejujurnya, apa yang telah terjadi pada anak kita selama ini?!" Tanya John.
Mara menghela nafas panjang, "Gak ada yang terjadi sama Via, dia baik-baik aja, John." Jawab Ibu Via, tetapi jawaban itu belum bisa membuat John merasa puas.
"Jangan bohong kamu, Mar! Cepat katakan yang sebenarnya, apa yang terjadi sama dia selama ini?!"
"Aku udah bilang, John, kamu harus percaya itu!"
"Sayangnya, aku gak bisa mempercayai ucapan kamu yang satu ini. Aku adalah Ayahnya, Mara, aku berhak tahu apa yang telah terjadi pada putriku!"
Mara terkekeh sinis, "Apa kamu bilang? Ayah? Ayah macam apa yang pergi meninggalkannya hanya demi bersama wanita lain, sekarang kamu kembali dan mengatakan bahwa kamu juga adalah Ayahnya?"
Nafas John tersengal-sengal, emosinya berusaha ia tahan sedari tadi. Ia tidak ingin kehilangan Mara dan Via, begitu bahagianya akhirnya Tuhan mempertemukannya kembali dengan mereka. Itu artinya, Tuhan memberiku kesempatan untuk memperbaiki apa yang salah selama ini dalam hidupnya.
"Mar, jangan kira aku gak tahu apa-apa, sekarang kamu jawab pertanyaanku. Apa Via punya trauma?"
Ibu Via membulatkan matanya, ia berpikir bagaimana John bisa mengetahui itu? Ini tidak boleh sampai terjadi, John belum saatnya megetahui semua ini, ia tidak ingin pria itu tahu bahwa selama ini mereka hidup dalam kepedihan, jika sampai John tahu, pasti pria itu akan menertawakannya.
"Jaga ucapan kamu, John! Putriku baik-baik saja selama ini, dan kamu, jangan pernah berani merusak kebahagiaannya, sekali saja kamu menyakitinya, maka aku tak akan membiarkan kamu bertemu dengannya lagi, ingat itu!"
Setelah itu Ibu Via meninggalkan John di Taman itu sendirian, mematung atas apa yang baru saja Mara katakan padanya, hatinya juga sakit, benar-benar sakit. Baiklah, John akan mencari tahu sendiri, tanpa Mara, ia bisa mencari tahu sendiri.
John menghubungi seseorang yang diyakininya bisa membantunya dalam permasalahannya ini, "Halo, saya butuh bantuan kamu." Ujar John, kemudian berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sementara itu Ibu Via berjalan kaki menuju rumahnya kembali, dengan tangis yang sedari tadi sudah tak bisa terbendung lagi, terlalu banyak rasa sakit yang ia rasakan, dan Mara tak ingin merasakannya lagi, ia juga tak mau Via sampai merasakan kesakitan yang Ibu Via rasakan selama bertahun-tahun ini.
"Maafkan Ibu, Vivi, ini semua Ibu lakukan demi kebaikan kamu." Lirihnya sembari memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya, karena dinginnya malam ini.
FLASHBACK ON