Sepulang dari Taman itu, Van langsung menuju kamarnya. Ketika melewati ruang televisi, disana kedua orang tuanya dan adiknya menoleh ketika menyadari Van yang baru saja pulang. Mereka bertiga menatap Van yang terus berjalan sembari menunduk dengan tatapan kosongnya, menaiki tangga menuju kamarnya tanpa menoleh sesaat sekali pun kearah mereka.
Melihat itu, Vin langsung berdiri dari duduknya hendak menyusul Van ke kamarnya. Namun, Ayahnya menahannya membuat Vin menoleh padanya yang kini tengah menggelengkan kepalanya bermaksud mengisyaratkan agar tidak menghampiri Van.
Vin menghela nafasnya, akhirnya ia kembali duduk disamping Ayahnya sembari menatap pintu kamar Van dengan sendu. Sementara itu kedua orang tuanya hanya bisa diam sembari menatap Van yang kini telah memasuki kamarnya, meskipun begitu, mereka juga mencemaskannya.
Ayah Van sangat tahu betul bagaimana Van, maka dari itu ia memilih untuk memberikannya Van waktu untuk menyendiri jika dalam keadaan seperti ini. Sedangkan Vin sejujurnya sudah tak tahan lagi, tetapi karena Ayahnya melarang pada akhirnya mau tak mau ia harus menuruti keinginan Ayahnya itu.
Bundanya sama seperti Vin, ingin sekali menghampiri Van yang seperti sedang dalam keadaan yang tak baik-baik saja, tetapi ia tak bisa berbuat banyak jika sudah Suaminya sendiri yang membuat keputusannya.
"Yah, Vin gak bisa diam aja, Vin mau nyamperin abang dulu." Ujar Vin yang kembali berdiri tetapi langsung mendapat tatapan tajam dari sang Ayah membuat laki-laki remaja itu menghela nafas.
"Dengar, sekali Ayah bilang jangan, ya, jangan. Biarkan dia menyendiri dulu, jangan ganggu dia sementara waktu ini." Tegas Ayahnya itu, lalu beranjak dari duduknya menuju kamarnya sendiri.
Bundanya yang sedari tadi diam pun menatap kasihan pada putra keduanya itu, "Udah, gak usah khawatir ya, Sayang. Kakak kamu pasti baik-baik aja, bagaimana pun keputusan Ayah gak bisa kita tentang, Bunda juga sama kaya kamu, kok, tapi Bunda juga percaya sama apa yang Ayah bilang. Biarin Kakak kamu sendiri dulu." Ujar Bundanya yang kini sudah berpindah duduk disamping Vin dengan memeluknya dari samping.
Vin meletakkan kepalanya itu dibahu kiri Bundanya dengan perasaan cemas.
Saat ini Van berbaring ditempat tidurnya sembari menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang terus tertuju pada seseorang. Entah kenapa bayangan wajah gadis itu ketika menangis dan tersenyum begitu jelas terlihat, padahal mereka berdua hanyalah orang asing yang tak sengaja pernah bertemu beberapa kali.
Van mengusap wajahnya dengan kasar, bayangan wajah gadis itu masih saja terlihat. "Gue bisa gila kalau kaya gini terus," Ujar Van.
Sejujurnya ia sedari tadi mencoba untuk tidur, tetapi entah kenapa begitu sulit dengan pikiran yang dipenuhi oleh gadis itu sendiri. Van berguling kekanan dan kekiri mencoba mencari posisi nyaman agar cepat tertidur lelap, namun tetap tak berhasil.
Ia pun akhirnya berdiri dari baringannya itu dan mengganti pakaiannya dengan kaos tanpa lengan berwarna hitam yang membuatnya terlihat semakin tampan jika para kaum hawa melihatnya.
Setelah menutup pintu kamarnya, ia dikejutkan oleh kehadiran adiknya yang ternyata sedang bersandar disamping pintu kamarnya. Vin yang menyadari kehadiran Van pun langsung menoleh dengan wajah berbinar, "Bang, lo gapapa, kan? Lo kenapa tadi pulang-pulang muka kusut amat kaya baju gak disetrika tahu gak?!" Tanya Vin yang kemudian mendengus ketika mengingat bagaimana Ayahnya begitu keras melaranya untuk menemui abangnya sendiri.
Van celingak-celinguk mencari kedua orang tuanya, "Ayah sama Bunda, kemana?" Tanya nya yang kini berjalan menuju ruang khusus untuk berolahraga.
"Gak tahu, tuh, kamar mungkin." Jawab Vin sekenanya yang membuat Van menoleh menatap adiknya itu dengan alis yang terangkat satu. "Kenapa, lo?" Tanya Van sembari mengambil handuk kecil baru yang tersimpan dilemari yang berada didepan ruangan olahraga.
Vin mendengus kesal, "Ayah." Jawabnya singkat yang membuat Van terkekeh sembari mencubit pipi tirus adiknya itu dengan gemas.
"Berantem lagi sama Ayah?" Van berjalan menuju samsak dan memukulinya sebagai pelampiasan, "Karena apa?" Tanya Van lagi.
Vin yang melihat itu sedikit kagum pada abangnya sendiri, bagaimana bentuk tubuh itu begitu terlihat jelas ketika Van sedang berolahraga seperti ini. Pantas saja semasa sekolah, banyak sekali para gadis yang mengejarnya hanya untuk menjadikannya sebagai pacar.
Mengingat itu, pernah sekali Vin menjadi bahan penitipan barang para gadis-gadis disekolahnya karena abangnya sendiri. Saat itu Vin tak berangkat bersama dengan Ayahnya seperti biasa dikarenakan ada urusan mendadak yang mengharuskannya pergi ke Kantor pagi-pagi sekali.
Kebetulan Van baru saja rapi dengan seragam lengkapnya, kemudian ikut sarapan bersama dengan Bunda dan adiknya. Van yang melihat adiknya dengan wajah yang ditekuk seperti itu pun bertanya, "Kenapa, lo?" Tanya Van yang langsung dijawab oleh Bundanya.
"Ayah udah berangkat ke kantor," Jawab Bundanya yang langsung diangguki oleh Van.
"Bareng gue aja, yuk!" Jawab Van yang sudah selesai dengan sarapannya. Namun Vin masih diam saja membuat Van menghela nafasnya melihat adiknya yang sudah seperti itu.
"Yaudah, gue gak rugi sih, lo mau dihukum gara-gara telat atau gak sekolah sama sekali tapi nanti dihukum sama Ayah."
Setelah mengucapkan itu, Van pun menyalimi Bundanya untuk berpamitan. Melengos pergi tanpa menyapa adiknya sama sekali sembari mengulum senyumnya.
Terdengar begitu jelas oleh Van jika Bundanya berkata, "Sayang, sana berangkat sama abang, nanti kamu telat. Emangnya kamu mau dihukum Ayah lagi, hm?"
Setelah itu Van tak mendengar apapun lagi dan langsung menghampiri motor ninja kesayangannya itu. Saat hendak menaiki motornya, ia melihat adiknya yang sudah berdiri dengan helm yang sudah terpasang dikepalanya, melihat itu Van rasanya ingin tertawa.
"Buruan naik, lama lo, ah!" Ketus Van pura-pura kesal. Vin pun yang mendengarnya mendengus kesal dan bisa Van pastikan jika saat ini adiknya itu sedang mengumpati dirinya, meskipun begitu Van tidak peduli.
"Udah sampe, turun." Titah Van yang membuat Vin semakin kesal bukan main. Van pun menatap beberapa gadis yang mulai menatap mereka, terutama Van dengan tatapan memuja dan itu semakin membuat Vin kesal.
"Udah deh, sana lo pergi, Bang. Bikin mood gue tambah rusak aja lo!" Ketus Vin mengusir abangnya itu yang menurutnya sok kegantengan, padahal sedari tadi Van diam saja atau bahkan melakukan hal-hal seperti laki-laki bad boy pada umumnya yang memanfaatkan ketampanannya untuk tebar pesona atau mendekati para gadis.
Oh, ayolah, itu sangat bukan sifat seorang Van sama sekali. Laki-laki remaja itu sama sekali tidak pernah memanfaatkan ketampanannya untuk pamer atau semacamnya. Baginya, membahagiakan adik satu-satunya inilah yang paling penting dalam hidupnya setelah kedua orang tuanya.
Van terkekeh, "Gitu amat muka lo, iya, gue pergi nih, tapi lepas dulu tuh." Ujar Van sembari mengangkat dagunya yang tertutupi helm bermaksud memberitahukan adiknya untuk melepas helmnya.
Vin pun hampir saja melupakannya dan langsung melepaskan helmnya itu lalu melengos pergi tanpa menyalimi abangnya sendiri. Van yang melihatnya semakin puas menertawakan adiknya itu, lalu kembali melajukan motornya menuju sekolahannya itu. Memang sekolah Van dan Vin tidak sama, Ayah mereka sengaja melakukannya.
Setelah jam pulang, Van kembali menjemput adiknya itu dengan wajah yang masih ditekuk. Ia menghela nafasnya dan membuka helmnya sebentar untuk melihat lebih jelas adiknya.
"Lo kenapa lagi sih? Gue kira setelah pulang Sekolah, mood lo baikan dikit gitu, ini kayanya malah makin parah. Ada apa?"
Vin tahu jika sejak tadi banyak para kaum hawa yang berbisik bahkan ada pula yang berteriak histeris setelah Van membuka helmnya itu.
"Gimana gue gak kesal sih, Bang. Kalau gue jadi jasa penitipan barang!"
Alis Van terangkat, "Maksud, lo?" Tanyanya yang tak mengerti kemana arah pembicaraan adiknya itu.
"Banyak banget cewek yang nitipin barang inilah itulah sama gue cuma buat lo! Tas gue berat ini, pen gue buang aja rasanya, huh!"
Van melongo ketika mendengarnya, "Lho, kok jadi nyalahin abang sih, abang gak salah apa-apa juga."
"Ya, emang abang gak salah." Van yang mendengarnya semakin melongo, tak mengerti dengan adiknya. Ia pun menggelengkan kepalanya, "Udah lah, ayo, naik." Ajak Van yang kembali menggunakan helmnya, begitu pula Vin yang menaiki motor ninja abangnya itu.
Van yang sedang sibuk memukuli samsak pun menoleh ketika melihat raut wajah adiknya yang seperti menahan kesal terhadapnya. Ia hanya menggelengkan kepalanya sembari kembali fokus memukuli sekuat tenaga demi untuk menghilangnya pikiran dari gadis yang bahkan tak dikenalinya sama sekali.
Disisi lain, Ayah dan Bundanya kini tengah berada dikamar mereka. Mereka menatap langit-langit kamarnya memikirkan rencana kedepannya untuk anak-anak mereka.
"Bund," Panggil pria paruh baya itu yang berstatus sebagai suaminya.
"Apa?" Tanya Istrinya. Saat ini posisi mereka adalah Pria paruh baya itu bersandar pada ujung tempat tidur, sedangkan Istrinya bersandar pada dada bidang Suaminya.
"Menurut kamu, apa yang terbaik untuk anak-anak?"