Keningnya berkerut ketika melihat ponselnya terdapat 10 panggilan dari nomor yang sama yang tidak ia ketahui. Langsung saja ia menscrollnya, nomor yang sama yang mencoba menghubunginya.
"Siapa ini yang nelpon?" Gumamnya begitu pelan. Tiba-tiba ia teringat saat semalam mengabaikan ponselnya yang berdering itu karena malas. "Oh, jadi ini yang nelpon malam-malam kemarin."
Ia pun mengabaikannya menunggu nomor itu menghubunginya kembali. Entah apa alasannya sehingga Ibu Via benar-benar menunggunya seperti orang bodoh. Bahkan Ibu Via rela tak keluar kamar karena penasaran dengan nomor itu.
Ibu Via tidak menyangka jika telah mengetahui si pemilik nomor yang tak dikenalnya itu. Ia sudah menguap beberapa kali, kantuknya masih ia tahan sedari tadi.
Keberuntungan berpihak padanya, ponselnya itu kembali berdering dari nomor yang sama. Ibu Via membulatkan matanya, buru-buru ia mengangkat panggilan itu dengan sopan.
"Halo?" Ibu Via menggigit bibir bawahnya, harap-harap cemas. Entah kenapa tiba-tiba tangannya meraba dadanya yang berdegub kencang. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya sendiri.
Lima belas menit sudah panggilan itu berlangsung tetapi tak ada sahutan dari seberang sana. Kening Ibu Via berkerut, ia melihat layar ponselnya yang masih menampilkan panggilannya yang tersambung lalu menempelkannya lagi di telinga.
"Halo... dengan siapa ini?" Tanya Ibu Via memberanikan diri bertanya. Ia menghela nafas, "Baiklah, mungkin salah sambung. Maaf, saya matikan tel..."
"Mara," Panggil seseorang diseberang sana. Ibu Via terkejut, matanya melotot, tubuhnya menegang mendengar suara seseorang yang begitu dirinya kenali.
Entah perasaan apa ini, hatinya mendadak tenang ketika mendengar suara itu. Matanya sudah memerah, jantungnya berdetak lebih kencang. Selama ini Ibu Via berpikir jika dirinya hanya mencintai orang itu sesaat saja, tetapi ternyata salah. Deguban jantung itu masih sama setiap kali mendengar atau melihat hal yng berkaitan dengan laki-laki itu.
Namun, ia menggelengkan kepalanya. Hatinya tidak boleh goyah lagi hanya karena orang brengsek itu. Pandangan matanya berubah menjadi tajam, siapapun yang melihatnya pasti akan tahu betapa kebenciannya begitu terlihat jelas dimata Mara, Ibu Via.
"Dari mana kamu tahu nomorku?" Tanya Mara dingin. Suaranya bahkan mendadak berubah tidak seperti tadi yang sopan dan lemah lembut. Tentu saja suara itu yang begitu seseorang itu rindukan, namun bagaimana pun seseorang itu tahu jika kesalahannya benar-benar fatal.
"Mara, aku minta maaf." Mendengar itu Ibu Via hanya diam dengan air mata yang sudah mengalir membasahi kedua pipinya. Jujur, ia paling benci mendengar kata maaf yang keluar dari mulut laki-laki, apalagi jika laki-laki itu benar-benar brengsek.
"Aku gak butuh maaf dari kamu."
Terdengar helaan nafas dari seberang sana, bisa Ibu Via tebak jika pria itu sudah menghela nafas berarti keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Pasti pria itu sedang frustasi, tetapi entah apa penyebabnya.
Oh, lihatlah. Bahkan Ibu Via masih sangat mengingat betul bagaimana pria itu ketika sedang kacau sekalipun.
"Mara, aku gak tahu harus kaya gimana lagi. But... I miss you so much."
Ibu Via menangis mendengar suara pria itu. Pria yang telah meninggalkannya saat dirinya akan melahirkan Via. Pria yang sangat ia benci dan sampai saat ini masih dibenci. Hatinya tak bisa berbohong jika ia begitu sesak dan sakit selama bertahun-tahun ini memendam kerinduan yang mendalam.
Ia pun tak mengerti mengapa pria itu memiliki nomor ponselnya padahal dirinya sudah mengganti nomor ponsel lamanya dengan yang baru. Ia tidak ingin pria itu tahu jika dirinya tengah menangisi si brengsek itu.
"Buang jauh-jauh rasa rindumu itu. Namaku Qiesha bukan Mara, berhenti memanggilku dengan nama itu!"
Pria itu tersenyum tipis mendengarnya, asal kalian tahu jika dulu sewaktu SMA, John selalu memanggilnya dengan nama belakangnya saja.
"Mara, temui aku nanti malam di Taman yang dulu sering kita kunjungi sewaktu SMA. Aku akan menunggumu meskipun kamu takkan datang, karena aku percaya pasti kamu akan datang."
Ibu Via mendengus kesal mendengar kalimat akhir itu, "Aku gak akan datang, sudahlah John, kita sudah berpisah jadi lupakan semuanya dan jalani hidupmu dengan perempuan yang kamu cintai!"
John menggelengkan kepalanya tak terima mendengar ucapan yang dilontarkan mantan Istrinya itu. Matanya mendadak mengeluarkan air mata, lihatlah betapa dirinya tak mau kehilangan sesosok perempuan seperti Mara, Ibu Via.
Selama ini John hanya cinta pada Mara, perempuan satu-satunya yang memiliki kesabaran yang luar biasa terhadap sifatnya setelah Ibu kandung John sendiri. Bahkan karena kesalahannya dimasa lalu itu, Ibu John meninggal dunia.
"Mara, aku gak mau kehilangan kamu lagi. I hope you come back again, Mara."
John tanpa rasa malunya berbicara dengan suara yang parau, tentu saja Ibu Via tahu jika pria itu sedang menangis. Sejujurnya ia pun terkejut, tak menyangka jika pria itu akan menangis karenanya.
"CUKUP, JOHN! AKU UDAH MUAK SAMA SEMUANYA, TENTANG KITA UDAH BERLALU, SEKARANG CUMA MASA LALU. BELAJARLAH MENGHARGAI KEPUTUSAN YANG UDAH KAMU AMBIL ITU DAN JANGAN MENYESALINYA. AKU BUKAN WANITA YANG MUDAH KAMU RAYU DAN MAU KEMBALI LAGI BERSAMA KAMU DENGAN MUDAH, JOHN."
"Tapi, Mara..."
"JOHN!" John menangis dalam diam, betapa besar luka yang ia torehkan pada hati orang yang dirinya cintai itu. Ia sadar jika dirinya sendiri yang telah mengambil keputusan itu tanpa berpikir apa yang dirasakan oleh Mara saat itu setelah mendengar keputusannya.
"Mara, aku gak peduli. Pokoknya aku bakal nungguin kamu di Taman nanti malam, aku akan menunggu kamu, Mara. Ingat itu!"
Panggilan itu pun dimatikan sepihak oleh John. Ibu Via yang mendengarnya benar-benar frustasi, ia berteriak-teriak histeris, benar-benar tidak mengerti dengan sikap John yang selalu seenaknya padanya, pada perasaannya.
Ibu Via benci pada dirinya sendiri yang terlalu lemah, ia terlalu lemah jika tentang John Sheikh, pacarnya sedari SMA lalu kemudian pernah bermimpi membangun rumah tangga bersama-sama.
Namun mimpi itu hanyalah mimpi buruk untuknya, rumah tangga mereka harus hancur karena seorang perempuan yang lebih muda darinya saat itu.
"I HATE YOU, JOHN SHEIKH! I HATE YOU!"
Seketika pikirannya tertuju pada John yang mengajaknya bertemu. Apa yang akan pria itu bicarakan? Mengapa seperti sangat penting?
"Apa selama ini dia benar-benar mencariku dan Via?" Batin Ibu Via lalu duduk ditepi ranjang dengan wajah yang ditutup dengan kedua tangannya.
Tak lama terdengar suara seseorang yang sedang menangis dari luar kamar. Ibu Via pun mendongakkan kepalanya, lalu keluar dari kamarnya.
"Via?" Gumam Ibu Via karena ia berpikir jika yang baru saja menangis adalah Via, putrinya.
Namun, setelah diluar kamar tak ada Via disana. Kemudian rasa khawatir mulai menyelimuti hatinya, takut terjadi sesuatu pada Vianya itu.
Namun pintu kamar Via tertutup rapat, saat hendak mendekati pintu kamar Via, suara televisi terdengar begitu jelas. Maka dari itu, Ibu Via pun memutuskan untuk menuju ruang tengah karena berpikir Via sedang menonton televisi disana.
"Vivi, kamu nangis kenapa?" Tanya nya sembari berjalan menuju ruang tengah. Keningnya mengerut, tak ada siapapun diruang tengah. Hanya televisi yang menyala tanpa ada seorang pun disana.
Ibu Via pun menghela nafas, lalu mematikan televisinya. Mungkin Via berada didalam kamarnya, ia pun langsung kembali menuju kamar Via untuk memastikan putrinya itu baik baik saja.
Setelah sampai didepan kamar Via, ia pun mengetuk pintunya berkali-kali namun tak ada sahutan dari dalam sana membuatnya semakin khawatir bukan main.
"Vivi, Sayang, kamu didalam kan, Nak? Buka pintunya," Teriak Ibu Via sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar Via.
Kemudian knop pintu pun ia putar, ternyata tidak dikunci. Ia pun masuk kedalam kamarnya dan menutupinya lagi. Saat berbalik ia akhirnya bisa menghela nafas lega melihat keberadaan putrinya yang tengah terlelap.
Namun tak berangsur lama ketika melihat sesuatu yang dibawa tidur oleh Via, ia pun mengambilnya dan ternyata adalah sebuah figura foto dirinya dengan Via ketika Via berulang tahun.
Ibu Via pun menyimpannya kembali figura foto itu dan dipajang kembali diatas meja dekat tempat tidur Via. Kembali mendekati putrinya, ia terkejut sekaligus khawatir melihat mata Via yang membengkak.
Ternyata benar dugaannya, suara tangisan tadi adalah Via. Tetapi entah apa yang membuat putrinya kembali menangis seperti ini.
Diusapnya kepala Via dengan sayang, sesekali mengecup pelipisnya.
"Kamu bikin Ibu khawatir, Sayang. Kamu kenapa nangis?"
Ibu Via berbicara saja seolah Via akan mendengarkannya meskipun kenyataannya tidak.