Andre tengah duduk di kursi keberasarannya dengan perasaan kacau. Ia merasa kepalanya benar-benar pusing dan sama sekali tak bisa berpikir jernih.
Masalah besar baru saja menyapa. Alena ternyata hamil, dan usia kehamilannya sudah empat minggu. Dan kini, gadis itu meminta pertanggungjawaban Andre agar segera menikahinya.
Bukan Andre tidak mau menikahi Alena. Pria itu sangat mencintai sang gadis sejak dulu. Namun, ia tak punya nyali untuk terus terang pada istri dan ayahnya. Terlebih, ia tak berani meminta izin langsung pada sang ayah yang notabene memiliki watak yang keras.
Andre menikah dengan Silvy bukan atas dasar cinta. Ia tidak mencintai Silvy, meski wanita itu sangat mencintainya. Andre hanya sebatas menurut pada kehendak ayahnya. Andre tak punya pilihan lain, selama ini ia hidup dalam tekanan ayahnya.
"Argh ... apa yang harus aku lakukan?!" tanya Andre putus asa. Ia lalu mengacak-acak rambut dengan frustrasi.
"Halo, Sayang." Silvy tiba-tiba datang saat Andre tengah kalut.
"Akh, hai. K-kamu ke sini?" Andre sempat kaget dengan kedatangan Silvy.
"Iya. Aku mau ada acara di tempat temen. Karena kebetulan lokasinya satu arah sama kantor, ya aku putusin buat mampir sekalian pamitan."
Andre tertawa kecil. Ada rasa bersalah sebenarnya. Selama ini Silvy senantiasa berperan sebagai istri yang sempurna untuk Andre. Hanya saja, wanita itu belum bisa memberikan seorang anak untuk Andre.
"Pamitan, kan, bisa lewat VC, Sil."
"Akh, enggak. Lebih enak pamitan langsung." Silvy menghampiri Andre lalu mencium punggung tangan pria itu.
"Aku nggak lama, kok. Sebelum Mas pulang, aku pastiin udah ada di rumah."
"Iya, hati-hati, ya."
"Hu um. Bye, Sayang." Silvy pun melambaikan tangan kemudian berlalu dari ruang kerja suaminya.
Setelah sang istri pergi, Andre kembali duduk bersandar lalu memijit-mijit pelipis. Ia sama sekali tak punya nyali untuk terus terang soal kehamilan Alena pada Silvy.
Napasnya terembus dengan kasar. Andre perlahan melirik ponsel yang sejak tadi terletak di atas meja. Ia mendadak teringat dan rindu dengan gadis simpanannya itu.
Andre lalu menghubungi Alena. Ia hanya sebatas ingin tahu detik ini sang gadis sedang apa dan di mana.
"Halo, Len." Andre langsung menyapa ketika panggilan telepon baru saja Alena terima.
"Ya?"
"Eum, kamu lagi di mana?"
"Masih di toko."
"Oh, udah makan?"
Hening
"Len?"
"Aku udah tiga kali nyoba makan, tapi hasilnya selalu keluar terus."
Jawaban Alena sontak membuat dada Andre terasa nyeri. Harusnya, dalam kondisi Alena yang tengah lemah begini, Andre sebagai ayah si jabang bayi harusnya berada di dekat Alena. Ia mungkin tidak akan bisa merasakan bagaimana mualnya perut Alena saat ini, tapi setidaknya dengan kehadiran Andre mungkin akan membuat rasa sakit pada diri Alena sedikit berkurang. Sayangnya Andre tak bisa melakukan hal itu.
"Kamu mau makan apa? Nanti aku suruh orang buat beliin sekaligus antar ke situ."
"Aku maunya diakui sama Mas."
"Len, bisa nggak sih, jangan bahas hal itu terus?! Kasih kesempatan buat aku berpikir, Len!"
"Ya udah, aku akan kasih kesempatan Mas untuk memikirkan hal ini matang-matang. Selama Mas berpikir, jangan buru-buru hubungin aku, dan jangan datang ke apartemen aku lagi."
"Len, k-kamu berani ngomong seperti itu sama aku?! Len, Lena?!"
Andre merasa sangat kesal karena Alena memutuskan sambungan telepon secara tiba-tiba. Ini kali pertama gadis itu berani melawan padanya.
Andre mencoba menghubungi Alena kembali. Namun, sama sekali tidak Alena angkat. Ia merasa benar-benar diabaikan kali ini.
"Argh, sial! Kamu udah berani melawan aku sekarang, Len?!" Andre meletakkan ponsel di tempat semula dengan kesal. Ia mencoba mengatur napas. Emosinya benar-benar terpancing hanya karena Alena sudah berani melawan padanya.
***
Alena tengah menanti adiknya--Daffa--di kantin kampus. Ia duduk sambil mengaduk-aduk orenge juice tanpa tahu harus berbuat apa. Ia merasa sangat pening memikirkan masalah besar dalam hidupnya. Gadis itu tidak sadar kalau sejak tadi ada sepasang mata di jauh sana yang tak henti-henti memandangnya dari kejauhan.
"Hayo, ngalamun pasti." Daffa baru saja datang dan sukses membuat Alena terkaget.
"Udah kelar, Fa?" tanya Alena yang detik ini mulai fokus dengan adiknya.
"Udah, dong. Kalau belum, ngapain aku tiba-tiba ngejongkrok di sini?" Daffa duduk di depan Alena dan mulai menyantap bakso yang sudah ia pesan.
Alena memerhatikan cara makan Daffa yang benar-benar seperti orang kelaparan, tak peduli kuah bakso itu masih mengepul. Ia justru merasa sedih harus menyampaikan berita buruk ini pada adiknya.
"Fa?"
"Hem? Opo? Ndang ngomong. Aku lagi fokus menikmati bakso, tapi tetep dengerin Mba ngomong, kok." Daffa terlihat makin lucu saja di mata sang kakak.
"Mba ada rencana pindah keluar kota."
"Hah? Mba mau pindah? Kenawhy?" tanya Daffa terkejut.
Alena menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk pergi dari kota ini demi keselamatan bayi dalam kandungannya. Alena merasa ragu kalau Andre akan bersedia tanggung jawab dan mau menikahinya.
"Mba punya bisnis lain di Bandung, dan harus Mba tangani langsung. Daripada Mba bolak-balik, ya, mending Mba stay di sana aja," jawab Alena yang jelas berbohong.
"Lah, terus, toko kosmetik punya Mba yang di sini, mau digimanain? Jangan bilang kalau aku yang harus urus ya, Mba?" Daffa ketar-ketir.
"Nggak lah. Kamu fokus kuliah aja. Mba udah minta tolong Fika buat handle toko Mba yang di sini."
Daffa hanya manggut-manggut. Sebenarnya ia merasa keberatan jika sang kakak pergi. Tapi mau bagaimana lagi. Ini sudah menjadi keputusan Alena. Sebagai adik, Daffa tidak berhak melarang.
"Yo wes, ati-ati yo di Bandung. Jangan lupa kasih tau Bapak Ibu di Magelang, soal niat Mba mau pindah keluar kota. Biar mereka nggak khawatir gitu, Mba," saran Daffa.
Alena mengangguk patuh. Ia akan segera memberi kabar tentang niatannya yang ingin pindah keluar kota pada kedua orang tuanya. Meski terasa sangat berat untuk mengatakan hal ini.
"Ish, aku lupa." Daffa lantas menepuk jidat, kemudian kedua matanya jelalatan menjelajahi seisi kantin.
"Kenapa, Fa?" Alena tampak bingung.
"Aku janji sama salah satu dosenku nanti mau nonton film bareng," jawab Daffa.
"Kamu janjian sama dosen kamu? Cewek apa cowok, tuh? Kok mahasiswa sama dosen bisa deket gitu? Sampe mau nonton bareng segala." Alena tampak curiga. Dulu sewaktu kuliah, ia tak pernah dekat dan terlalu akrab dengan dosennya, apalagi sampai punya planning ingin menonton film bersama.
"Idih, ini dosennya cowok, Mba. Orangnya sama aku udah kayak temen. Lagian, beliau juga masih muda ini." Daffa memilih menoleh ke belakang, dan ia langsung menemukan seseorang yang dimaksud.
Seorang pria dengan kemeja putih bermotif garis-garis kecil yang duduknya tak jauh dari Daffa, kini tengah melambaikan tangan ke arahnya.
"Eh, Kak Angga! Gabung sini!" ajak Daffa sambil mengisyaratkan dengan tangan agar lelaki bernama Angga itu bergerak mendekat.
Alena pun merasa heran dengan tingkah Daffa. Sepertinya adiknya itu sudah sangat akrab dengan dosen yang dimaksud.
Angga Hermawan adalah seorang dosen musik. Ia baru dua bulan mengajar di kampus ini. Pria berusia tiga puluh dua tahun itu tadinya tinggal di USA untuk urusan studinya.
Angga memilih duduk tepat di sebelah Daffa. Tanpa Alena tahu, orang yang sejak tadi memandangnya dari jauh sana adalah Angga.
"Mba, kenalin, ini dosen sekaligus sahabat aku, namanya Kak Angga. Orangnya enak banget diajak ngobrol loh." Daffa memperkenalkan sang dosen pada kakaknya.
"Alena." Gadis berusia dua puluh lima tahun itu mengulurkan tangan.
"Angga." Angga menerima uluran tangan Alena. Mereka pun berjabat tangan. "Kamu sama sekali nggak ingat sama aku, Len?"
"Loh, kalian berdua udah saling kenal, to?" Daffa tampak bingung.
"Maaf, apa sebelumnya kita pernah ketemu?" Alena pun tak kalah bingung. Ia merasa asing dengan wajah Angga.
"Ya, pernah ketemu sekali."
"Oh, ya? Kok aku nggak ingat, ya?" Alena makin dibuat bingung.
Angga tersenyum sekilas. Ia benar-benar gemas dengan gelagat gadis di depannya.
"Kita pernah ketemu di resepsi pernikahannya Bojes dan Fika."
"Tunggu, tunggu. Bojes, Fika ...?" Alena mulai mengingat-ingat apakah ia pernah bertemu dengan Angga di resepsi pernikahan sahabatnya itu atau tidak?
"Ya. Waktu di resepsi mereka, kamu sempat nyanyi di sana, dan aku orang yang mainin gitar di sebelah kamu."
Alena mengerutkan kening. Ia lalu menatap Angga dengan intens.
"Kakak orang yang main gitar di sebelah aku?" tanya Alena.
Angga pun mengangguk. Ia merasa Alena benar-benar lupa dengannya.
"Akh, udah aku ingat-ingat, tapi aku nggak begitu ngeh sama Kakak. Maaf." Alena merasa sungkan karena ia tak sekali pun ingat dengan Angga.
"Nggak apa-apa, Len. Yang penting kan sekarang kita udah ketemu lagi, malah udah kenalan tadi."
"Ciye, ciye, CLBK nih ye," ledek Daffa. Ia merasa ada kecocokan di antara dua orang itu.
"Jadi Kak Angga ini temannya Kak Bojes?" Alena mulai tertarik untuk mengobrol lebih jauh dengan Angga.
"Ya, kita temenan dari dulu. Dan, setelah Bojes menikah, aku pergi ke USA untuk nerusin sekolahku di sana. Balik ke sini baru beberapa bulan."
Alena mengangguk-anggukkan kepala. Pantas saja ia merasa asing dengan wajah Angga. Mereka hanya sekali bertemu, itu pun dua tahun yang lalu. Dan setelah itu Angga pergi keluar negeri selama dua tahun itu pula.
Mereka bertiga mulai larut dalam obrolan ringan. Ternyata benar apa kata Daffa. Angga orangnya enak diajak ngobrol dan mudah bergaul. Pun Alena setuju-setuju saja saat Angga memintanya untuk ikut menonton film bersama.
***************