Chereads / Im Yours / Chapter 3 - Part 3 (Pahlawanku)

Chapter 3 - Part 3 (Pahlawanku)

Setelah menonton film dengan Angga dan Daffa, Alena lalu mengantarkan Daffa ke tempat kos. Cukup lama Alena singgah di tempat kos adiknya itu. Mau pulang langsung ke apartemen ia masih merasa malas. Sampai waktu menunjukkan pukul delapan malam, barulah Alena berpamitan untuk pulang.

Alena pulang dengan mengendarai mobilnya sendiri. Di tengah-tengah jalan, Alena merasa ada yang tidak beres dengan mobilnya. Mobil yang ia kendarai tiba-tiba terasa berat, seperti ada ban yang kempes.

Alena memutuskan untuk turun dan mengecek ban mobilnya. Rupanya benar, kesialan itu baru saja menyapa. Ban mobil depan sebelah kanan ternyata kempes.

"Aih, kenapa harus kempes di tengah jalan?" Alena bingung karena ia sama sekali tidak bisa mengganti ban, pun di sekitarnya tidak ada bengkel yang dekat.

Gadis dengan tank top hitam dilapisi cardigan bernuansa cokelat pekat dipadukan dengan celana jeans panjang itu memilih meraih ponsel dari dalam mobil. Ia berniat menghubungi Daffa untuk membantu masalahnya. Namun, belum juga menelepon Daffa, perasaannya sudah tidak enak.

Alena mendengar suara langkah kaki beberapa orang mendekat. Gadis itu lantas berbalik badan. Ia langsung terkejut ketika mendapati ada tiga orang pria asing tengah berdiri di depannya.

"K-kalian mau apa?" tanya Alena panik.

Ketiga pria itu hanya saling cengengesan. Mereka menatap Alena dengan tatapan lapar.

Alena bergerak mundur. Ia merasa bahaya akan segera datang. Gadis itu memutuskan lari saat tiga orang pria itu posisinya sudah sangat dekat.

"Mau lari ke mana, Cantik?" Seorang pria dengan jaket kulit hitam menghadang Alena sambil tersenyum miring.

Alena benar-benar panik. Ia hanya takut disakiti oleh mereka. Apalagi kondisinya saat ini tengah mengandung. Alena hampir menangis ketika ketiga pria yang rata-rata berkulit sawo matang itu kini sudah mengepungnya.

"Malam-malam begini sendirian aja, Neng? Jalan sama kita-kita bentar mau nggak?" Lelaki bertubuh kurus itu menggoda gadis di depannya. Tak tanggung-tanggung ia pun mencolek dagu mulus Alena.

"Jangan pegang-pegang! Akh ...!" Alena seketika memekik saat dua dari tiga pria itu memegangi lengannya.

"Cantik-cantik nggak boleh galak begitu, dong. Seneng-seneng dululah sama kita, baru kita lepasin." Pria yang tidak ikut serta memegangi Alena kini bergerak mendekat dan berusaha mencium Alena.

Alena berontak. Menggeleng-gelengkan kepala cepat, saat lelaki berjaket kulit itu menangkup wajahnya, memaksa Alena menyerahkan bibirnya.

"Lepasin, tolong ...!"

"Argh ...!" Pria yang berniat melecehkan Alena tiba-tiba mengerang kesakitan. Ada seseorang yang tiba-tiba menjambak rambutnya dari belakang, menyeret, kemudian memberi bogem mentah pada wajahnya hingga ia jatuh terjengkang.

Seorang pria dengan pakaian formal itu menghampiri Alena. Memberi isyarat pada kedua lelaki di depan sana bersedia membebaskan Alena. "Kalau elo beneran laki, lawan gue. Jangan beraninya sama cewek!"

"Elo siapa?! Nggak usah ngatur-ngatur gue! Banyak bacot!"

Kedua pria itu lantas melepaskan Alena. Mereka bergerak maju melawan si pria penantang tersebut sambil memasang kuda-kuda untuk menyerang.

Pria dengan kemeja putih itu tidak lain adalah Angga. Ia tersenyum remeh, menyisingkan lengan bajunya, mengatur strategi untuk melawan kedua cecunguk di depannya.

Satu pukulan berhasil Angga daratkan pada salah satu pemuda di hadapannya. Ia menangkis cepat, saat lawan yang lain hendak memukul.

Sepuluh menit mereka lewati dengan pergulatan sengit. Kedua lelaki itu Angga hajar habis hingga terkapar dengan kondisi babar belur.

Angga berkacak pinggang sambil mengatur napas yang tadi sempat memburu. Ia menatap Alena di sebelah sana. Tersenyum, lalu berjalan menghampiri gadis itu.

"K-Kak Angga, awas!"

Dosen muda itu seketika jatuh tersungkur setelah mendapatkan pukulan balok kayu di punggungnya. Pria pertama yang berhasil Angga tumbangkan tadi nyatanya kembali bangun, dan mencari-cari senjata untuk memukul sang lawan.

Kedua temannya bergerak membantu mengeroyok Angga. Mereka menghajar habis dosen yang sudah terkapar tersebut. Bahkan tak segan-segan sampai menendang Angga.

Alena panik bukan main. Ingin menolong, tapi sama sekali tak bisa bela diri. Sampai akhirnya ia mengeluarkan jurus andalan yang selalu dilakukan seorang wanita saat sedang ketakutan. "Tolooong ...! Ada orang dikeroyok, tolong ...!" Ia berteriak sekencang mungkin, sampai akhirnya ketiga pria itu memilih kabur menyelamatkan diri karena takut akan banyak orang yang datang.

Alena bernapas lega. Ia segera menghampiri Angga yang sudah terkulai tak berdaya di atas aspal.

"Kak Angga ...." Dengan cemas Alena menatap wajah Angga yang telah babak belur. Ia meletakkan kepala pria itu di pangkuannya, mencoba membangunkan. "Kak Angga ... bangun, Kak ...." Alena menepuk-nepuk kedua pipi dan mengguncang-guncangkan tubuh sang dosen. Seketika Angga membuka mata, kemudian terbatuk-batuk sambil memegangi dada.

"Sa-sakit, Len ...," rengek Angga, dan hal ini makin membuat Alena panik.

"Da-dadanya sakit?" Alena dengan lugunya mengusap-usap dada Angga. Yang diusap pun tersenyum geli.

"Usap terus, Len. Agak mendingan," pinta Angga sambil memasang wajah memelas. Padahal dalam hati ia sangat senang diperlukan begini oleh Alena.

"A-aku obatin lukanya di apartemen aku, ya? Kita pulang pake taksi. Mobilku ban-nya kempes."

Alena berusaha membantu Angga untuk duduk. Angga kembali terbatuk-batuk kemudian meringis kesakitan. Ia lalu merogoh saku celananya dan meraih kunci mobil di sana.

"Pake mobilku aja. Nanti aku minta bantuan temen buat ganti ban kamu," pinta Angga.

Alena pun menurut. Ia menerima kunci mobil Angga kemudian memapah Angga untuk berdiri.

***

Alena membawa Angga ke apartemennya. Ia lalu membantu sang dosen untuk duduk di sofa ruang tamu, kemudian bergegas menuju dapur untuk mengambil air hangat dan handuk kecil guna membersihkan luka Angga.

Mangkuk putih berisi air hangat, Alena letakkan di atas meja ruang tamu. Ia melepas cardigan dan mengikat rambutnya, lalu duduk di samping Angga untuk menyeka luka pada wajah pria yang sudah menolongnya.

Bagi lelaki normal, melihat penampilan Alena saat ini adalah hal yang sangat menyiksa. Tank top hitam yang dikenakan Alena sukses membuat Angga berkali-kali menelan ludah.

Alena mengernyitkan dahi. Saat tengah mengompres wajah Angga, pria itu tiba-tiba memejamkan mata, sambil komat-kamit.

"Oh, Tuhan ... lindungilah hamba dari godaan setan penggoda menggairahkan di dekat hamba ... hamba ini masih Dedek Gemes. Hamba belum siap ternodai, Tuhan."

Alena lantas terkekeh geli. Baginya, tingkah Angga sangat menggelikan.

"Kakak doa apaan, sih? Sembarangan banget ngatain aku setan penggoda." Alena kurang setuju dirinya dikatai setan penggoda oleh Angga.

"Kenapa cardigan-nya pake dilepas, sih, Len? Etapi nggak apa-apa ding kalau dilepas. Itung-itung aku cuci mata," gurau Angga. Hal ini sontak membuat Alena tertawa.

"Ternyata benar ya, apa yang dibilang sama Daffa. Kakak itu orangnya humoris dan enak diajak ngobrol."

"Dan point-nya kamu mendadak jatuh cinta kan, sama aku?" tebak Angga. Alena kembali tertawa.

Setelah mengobati luka Angga, Alena putuskan untuk membuatkan minuman untuk pria itu. Namun, saat kembali menemui sambil membawa secangkir cokelat hangat, ia mendapati sang dosen tengah tertidur di sofa ruang tamu.

Ada perasaan haru mengingat kembali Angga rela babak belur demi menyelamatkan dirinya. Cokelat hangat itu Alena letakkan di atas meja. Ia beranjak ke kamar, mengambil selimut, dan menyelimuti tubuh Angga sampai sebatas leher.

Alena duduk bersimpuh di samping Angga. Menatap dalam wajah Angga yang masih terlihat tampan meski dihiasi bekas luka tonjokan.

"Aku kalau lagi merem, tambah ganteng, kan?" ledek Angga. Kemudian membuka mata dan langsung mendapati wajah kaget Alena.

"Ish! Aku pikir, Kakak udah tidur. Diminum gih cokelatnya." Alena mencoba bersikap sebiasa mungkin meskipun sebenarnya ia merasa gugup jika dekat-dekat dengan Angga.

**********