"Kalau aku misalkan nginep di sini, boleh nggak, Len?" pinta Angga setelah menyeruput cokelat hangatnya.
Alena hanya garuk-garuk kepala. Ia tampak bingung harus mengizinkan Angga menginap di sini atau tidak. Pun ia juga takut kalau sewaktu-waktu Andre datang dan mengetahui ada laki-laki lain berada di apartemennya. Sudah dipastikan Andre akan marah besar.
"Hoaaamm ... aku ngantuk banget, Len. Kepalaku pusing, badanku juga pegel-pegel habis dikeroyok orang-orang tadi. Aku mana bisa nyetir kalau dalam kondisi begini?" Seenak jidat Angga berbaring di atas sofa. Tujuan ia meminta menginap di sini karena ingin berlama-lama dekat dengan Alena.
"Eum, gi-gimana ya, Kak?" Alena bingung.
"Nggak usah takut kalau aku akan macem-macem sama kamu. Kamu tau aku temannya Bojes kan? Kalau aku sampe berani macem-macem, aku akan suruh Bojes buat gorok leher aku."
"Waduh." Alena terkejut. Dengan ragu ia mengizinkan Angga untuk menginap di sini.
Alena kemudian pamit ke kamar guna bertukar pakaian dan bersiap untuk tidur.
Selesai menggosok gigi, Alena keluar dari kamar mandi kemudian menaiki ranjangnya. Ponsel di meja nakas terdengar berdering. Rupanya ada panggilan telepon dari Andre.
Alena mengembuskan napas panjang. Untuk saat ini ia sedang tidak ada mood berbicara dengan Andre. Namun, kalau tidak diangkat, Andre pasti akan marah.
"Ya, ada apa?" Alena mulai menata bantal kemudian berbaring.
"Kamu udah makan?"
"Eum, makan di luar tadi sama Daffa."
"Perutnya masih mual?"
"Kadang, sih. Kalau lagi banyak pikiran malah mualnya sering."
Terdengar suara tertawa Andre dari seberang sana. Alena hanya menanggapi dengan memutar bola mata malas.
"Bumil nggak boleh banyak pikiran, Sayang."
"Gimana nggak banyak pikiran kalau statusku aja belum jelas?!" Alena lagi-lagi membahas masalah status hubungannya dengan Andre. Terdengar embusan napas kasar dari pria itu.
"Aku minta maaf, Len. Aku masih bertahan dengan predikat pria pengecut."
"Mas, dari dulu Mas selalu bilang kalau Mas ingin punya anak. Sekarang aku lagi mengandung anaknya Mas, tapi kenapa Mas nggak mau nikahin aku? Apa aku gugurin aja anak ini?!" Alena mulai berani mengancam. Ia sudah cukup muak dengan alasan Andre.
"Jangan pernah bertingkah seenak kamu ya, Len? Aku udah rundingin hal ini sama Silvy."
"M-Mas udah bicarain hal ini sama Mba Silvy? La-lalu?" Alena sangat berharap kalau Silvy menyetujui Andre menikahinya. Tak peduli dengan caci maki Silvy nanti, yang Alena pikirkan saat ini hanyalah status hubungannya dengan Andre.
"Aku bilang sama Silvy kalau ada temanku yang tengah hamil tapi nggak bisa biayain anaknya. Dan, Silvy sangat setuju kalau nanti aku adopsi anak kamu."
Alena lantas tertawa miris. Tak habis pikir kalau Andre memiliki rencana sepicik itu padanya.
"Mas akan adopsi anak Mas sendiri? Mas akan mendidik anak ini agar nggak tau siapa ibu kandungnya? Mas kejam!" Alena refleks memutuskan sambungan telepon karena ia sudah tidak tahan lagi berdebat dengan Andre.
Gadis itu meletakkan ponsel di tempat semula dengan diiringi tangisan pecah. Ia merasa hidupnya memang sudah tak ada artinya lagi. Selama ini, ia telah melayani Andre dengan baik. Tapi kenapa Andre justru membalas ketulusannya dengan cara keji seperti ini?
Tak ada satu pun ibu yang ingin dipisahkan dari anaknya, apa pun dan bagaimana pun kondisi yang menuntutnya. Alena makin mantap meninggalkan Andre jika sikap pria itu masih semena-mena seperti ini.
***
"Diminum Mas, kopinya." Silvy meletakkan secangkir kopi hitam pesanan Andre di atas meja ruang tamu.
Suami istri itu tengah menikmati waktu santai mereka. Mumpung Andre tidak sedang dinas keluar kota, Silvy gunakan waktu langka ini untuk menghabiskan waktu dengan suaminya.
Wanita berusia tiga puluh empat tahun itu memposisikan dirinya duduk di sebelah kanan Andre. Sang suami langsung menyambutnya dengan menghadiahkan kecupan hangat pada keningnya. Silvy begitu menyukai pribadi Andre yang lembut dan mesra seperti ini. Ia tidak tahu saja kalau di luar sana Andre juga sering melakukan hal ini pada perempuan lain.
"Teman Mas yang mau ngasih anaknya ke kita itu, bisa nggak kapan-kapan aku ketemu orangnya?" Silvy mempertanyakan hal yang sejak tadi membuat kepala Andre benar-benar pusing memikirkan masalah ini.
Andre tak punya solusi lain. Ia memilih mengarang cerita pada Silvy kalau dirinya menginginkan mengadopsi anak. Semua ini ia lakukan karena ingin merawat anak yang kini tengah dalam kandungan Alena dengan baik. Meski hal ini harus tega melukai hati sang ibu kandung.
Andre tak mungkin berterus terang pada Silvy kalau ia memiliki wanita lain dan kini wanita itu tengah hamil anaknya. Masalah hancurnya perasaan Silvy, Andre tak begitu memusingkan. Ia hanya tidak mau ayahnya sampai tahu hal ini.
Andre adalah tipikal anak yang sangat berbakti pada orang tuanya, terutama sang ayah--Santoso. Tak sekali pun Andre berani membantah perintah ayahnya. Bahkan urusan jodoh pun, Andre menurut saja saat dirinya diharuskan menikah dengan Silvy.
"Boleh, kan, Mas, kapan-kapan aku ketemu sama orangnya?" desak Silvy.
"Eum, bo-boleh. Tapi nanti ya? Orangnya masih di luar kota, dan rencananya kalau kehamilannya udah besar, dia baru ke sini." Lagi-lagi Andre berbohong.
"Tapi kenapa orangnya ingin kita ngerawat anaknya, sih? Apa mungkin dia tau kalau aku belum hamil-hamil?" Silvy mulai merasa minder dengan kondisi dirinya yang sampai dua tahun lebih menikah dengan Andre, tetapi belum diberi amanah juga.
"Aku berencana mengadopsi anak karena buat mancing supaya kita punya anak. Kalau kata orang tua kan begitu. Kita ngerawat anak orang lain dulu, nanti lama kelamaan pasti akan dikasih amanah punya anak sendiri. Dan kebetulan, si dia juga udah punya anak, terus suaminya baru aja meninggal, jadi ya dia menawarkan calon anaknya untuk kita rawat nanti." Andre menjelaskan dengan susah payah. Berharap Silvy akan percaya dengan bualannya.
"Oh, jadi begitu. Bener juga sih apa yang Mas bilang. Nggak ada salahnya ya, kita ngurus anak orang dulu." Silvy sependapat dengan Andre.
"Dicoba aja dulu, Sil. Siapa tau kali ini jodoh." Andre makin meyakinkan Silvy.
"Aku jadi nggak sabar nunggu anak itu lahir." Silvy lalu bermanja-manja pada lengan suaminya. Ia lantas merasa terharu pada sikap bijak suaminya.
"Makasih banyak ya, Mas, udah mau menerima aku apa adanya. Meskipun sampai detik ini aku belum bisa ngasih Mas anak, tapi Mas selalu punya cara untuk meyakinkan aku bahwa aku ini yang terbaik buat Mas." Silvy mengulas senyum simpul saat Andre mulai membelai bibirnya, dan detik ini pria itu tengah bergerak mendekat lalu memagut bibir ranumnya.
Andre menikmati pagutan itu dengan pikiran kacau. Yang tengah ia cium adalah Silvy, tetapi pikirannya selalu tertuju pada Alena. Ia benar-benar merindukan kehangatan yang senantiasa diberikan oleh gadis simpanannya itu.