Seorang lelaki tengah berdiri tidak tenang di balkon kamarnya. Ia menggigit ujung kuku ibu jarinya, bingung harus berbuat apa. Bahkan ia jalan mondar-mandir di posisi itu.
"Gue harus gimana ya Allah?!! Argh!!" emosi orang itu sambil sedikit menjambak rambutnya.
Ia duduk di kursi yang ada di situ, mengetuk-ngetuk kecil meja di situ sambil berpikir.
"Apa gue benar-benar manusia yang gak tahu diri ya Allah?? Gue gak bisa diam aja kayak gini sementara orang yang sudah sangat baik ke gue sedang dalam bahaya... Sial!! Gue harus lakukan sesuatu!"
...
Felix, Elven, Calvin, Irsyana dan Ivi tengah makan malam bersama di rumah Ivi.
"Pa, kok mama gak ikut makan malam bareng kita sih?" tanya Irsyana.
Felix,Ivi,Calvin saling melirik. Sementara Calvin, ia diam sejenak.
"Hmm Sayang.... kalau lagi makan, gak boleh bicara ya.." ucap Ivi berusaha memecahkan keheningan.
"Hm iya aunty maaf..." ucap Irsya dengan bibir sedikit cemberut.
Selesai makan, Ivi langsung membereskan semua itu dibantu oleh Irsyana. Lalu, Bi Sri mencuci peralatan yang kotor.
Mereka pun berkumpul di ruang tengah.
"Gimana vin? Sudah temukan pengganti Joe?" tanya Felix.
"Itu masalahnya kak... Sampai sekarang belum ada yang bisa dipercaya.. Aku trauma kak.." ucap Calvin menutupi wajahnya.
"Mungkin kamu belum dapetin pengganti Joe karena kamu masih belum bisa kasih kepercayaan ke orang lain karena kamu pernah percaya tapi malah dikhianati.. Tapi Vin, gak semua orang seperti itu.. Cobalah untuk percaya pada orang baru tapi tidak terlalu menaruh harap.. " ucap Ivi menenangkan.
Calvin mengusap wajahnya.
"Aku benar-benar stress mikirin semua masalah ini kak.. Semuanya terlalu rumit untuk dipahami.. Satu masalah belum selesai eh malah nambah lagi.." kesal Calvin.
Irsyana duduk di samping Calvin.
"Pa, maafin Irsya ya.. Irsya gak bisa bantu apa-apa untuk semua masalah yang menimpah papa... Maaf pa.." ucap Irsyana sendu.
Ia memeluk lengan Calvin.
"Gak apa-apa.. Tapi, papa mau mulai sekarang kamu jaga jarak dengan wanita sialan itu!" Calvin sedikit meninggikan nada bicaranya di akhir kalimatnya.
"Maksud papa siapa?" tanya Irsyana heran.
"Irene.. Jauhi dia!" tegas Calvin
"Tapi, kenapa pa?"
"PAPA BILANG JAUHI YA JAUHI IRSYA!!!" Bentak Calvin membuat Irsyana tersentak dan menjauhi diri dari Calvin.
"JANGAN JADI ANAK PEMBANGKANG!" Emosi Calvin dan meninggalkan mereka semua yang menatapnya tak percaya.
Irsyana terisak.
"Hiks... Kenapa papa bentak aku? Hiks..." tangis Irsyana. Ivi sedih melihat hal itu. Calvin yang sekarang benar-benar berubah. Ivi mendekat ke Irsyana.
Ia memeluk anak itu dari samping.
"Hey... Jangan nangis donk... Irsyana kan perempuan kuat kayak aunty... Jadi, gak boleh cengeng... " bujuk Ivi.
"Tapi kenapa Papa bentak aku ty? Aku salah apa? Hiks..." tangis Irsya di pelukan Ivi.
"Kamu gak salah sayang... Papa kamu mungkin sedang dalam situasi yang rumit.. Sehingga, dia gak bisa kontrol amarahnya... Maafin Papa kamu ya... Ingat, kamu gak boleh benci papa kamu... Bagaimana pun, dia sangat menyayangi kamu" Ivi mengusap kepala Irsyana.
"Hiks.... Iya ty.. Aku gak akan mungkin benci Papa... Tapi, kenapa aku harus menjauhi Mama?"
"Mama kamu itu pengkhianat" ceplos Elven kesal.
"Ma-maksud abang apa?"
"Sssttt... Elven... Jangan bicara seperti itu" lerai Ivi.
"Tapi Mom, ini semua juga karena Irene! Coba aja dia gak bocorin semua file perusahaan, mungkin masalah ini gak akan ada di antara kita! Dia itu gak tahu diri! Sudah ditampung sama keluarga kita tapi malah ngelunjak! Aku bersumpah akan membalas semua perbuatan dia!" emosi Elven.
"Boy, jangan bicara seperti itu di depan Irsyana... Bagaimana pun, Irene adalah mamanya" Felix berusaha menenangkan amarah Elven.
"Dad, dia memang seorang ibu. Tapi dia adalah ibu yang gak berakhlak! Dia manusia yang gak paham tentang hal kemanusiaan. Aku akan tetap balas dia!" emosi Elven dan meninggalkan mereka.
"Hiks.... Apa mama Irsyana seburuk itu ty?" tanya Irsyana tak percaya.
"Maaf sayang.. Tapi aunty harus mengatakan iya soal mama kamu.. Kamu harus menjauhi mama kamu jika kamu gak ingin kehilangan Papa kamu dan kami semua" ucap Ivi sendu.
"Irsyana, Akel minta kamu mengerti keadaan ini. Kamu sudah cukup dewasa untuk memahami semua keadaan ini. Jauhi dia atau kamu yang akan kami jauhi! Saya tahu kamu adalah darah dagingnya, dan saya paham kamu tentu memiliki sebagian sifat buruknya, saya juga akan mengawasi kamu. Bukan, bukan karena saya tak percaya, tapi ini demi keluarga ini. Maaf karena saya harus mengatakan ini karena bagaimana pun, buah jatuh tak kan jauh dari pohonnya, bahkan meskipun kamu adalah keturunan adik saya sendiri tapi kamu adalah janin yang terlahir dari wanita rendahan itu!" tegas Felix. Ivi sungguh tak percaya atas apa yang diucapkan Felix.
"Hon..." lirih Ivi. Dan Felix hanya mengendikkan bahu seolah mengatakan 'Whatever'. Ia lalu meninggalkan keduanya.
"Hiks... bahkan sekarang akel juga membenci aku" lirih Irsyana.
"Maaf sayang, akel mungkin sedang emosi." tenang Ivi
"Gak apa-apa kok ty.. Aku maklum kok kalau akel bersikap seperti itu.. Maafin aku ty.. aku permisi" pamit Irsyana ke kamarnya. Ivi benar-benar bingung dengan situasi ini.
"Ya Allah... tolong bantu kami untuk bisa menyelesaikan semua permasalahan ini" gumamnya dan pergi menyusul Felix.
.....
Alfi dan Irene baru saja tiba di depan rumah Irene dan Calvin. Saat masih di dalam mobil...
"Makasih untuk semuanya kak... Aku beruntung bisa mengenal kakak" ucap Irene dengan senyum bahagia.
Tanpa Irene sadari, Alfi mengeluarkan smirknya.
"Sama-sama... Semoga kamu dan dia bisa segera berpisah ya" ucap Alfi dengan senyum licik nya.
"Ah.. kakak tenang saja.. Kami akan segera berpisah.."
"Hm rumah kalian kenapa gelap? Seperti tak ada penghuninya" ucap Alfi sambil melirik ke arah rumah Irene.
"Hm mungkin sudah tidur semua.. ".
"Oh ok.. Kalau begitu aku pergi ya"
"Iya kak... Hati-hati ya... Bye"
Alfi mengecup kening Irene sebelum Irene ke luar dari mobilnya. Alfi tersenyum miring dan ia kembali melajukan mobilnya.
Irene memasuki pekarangan rumah yang gelap dan sepi.
"Kenapa gelap sekali? Apa si bodoh itu tidak menyalakan lampunya?" racaunya sendiri. Ia lalu membuka pintu, namun pintu itu terkunci.
"Sial! Pintunya dikunci! Bagaimana aku masuk?!" Irene berusaha memencet bel rumah namun bel rumah itu tiba-tiba saja tidak berfungsi.
"Kenapa bel nya tidak berfungsi sih?! Ada apa ini?" gerutu Irene.
Ia lalu merogoh tasnya dan mengambil handphonenya. Ia berusaha menghubungi Calvin namun ia tidak bisa.
"Ini kenapa aku gak bisa hubungi dia? Apa handphonenya mati? Atau dia ganti nomor?" gumam Irene. Ia mencoba untuk menghubungi Irsyana. Teleponnya tersambung namun tidak diangkat.
....
Irsyana tengah menangis di kamar sambil memeluk bantalnya.
"Hiks... Kenapa keluarga kamj menjadi seperti ini ya Allah?? Kenapa??" tangis Irsyana.
Drrrtttt....
Handphone Irsyana yang terletak di nakas pun berdering. Irsyana mendengarnya dan mengambil handphone itu. Saat melihat layar di handphone itu, ia langsung meletakkan handphone itu kembali di nakas.
"Maaf ma, Irsya harus jauhi mama mulai detik ini juga" gumamnya.
.....
"Ini lagi anak satu handphonenya aktif tapi gak mau angkat... Pada ngapain sih sampai pada ngelupain aku?!" emosi Irene. Ia berusaha menghubungi nomor Ivi namun nomornya sedang tidak aktif.
"Ivi kok tumben sih nomornya gak aktif? Kenapa pada samaan gini? Apa jangan-jangan mereka udah tahu semuanya?" gumam Irene.
"Gak! Gak mungkin! Aku belum dapet semua yang aku mau! Ini gak boleh berakhir dulu! Pokoknya aku harus dapetin semuanya dulu baru terserah mau bagaimana! Lalu, aku harus tidur di mana? Uangku habis lagi untuk investasi di perusahaan Alfi! Sial!" Irene lalu duduk di kursi yang ada di teras rumahnya. Hingga tanpa sadar ia pun telah memasuki alam mimpinya.