Rumah besar khas Jawa Tengah itu berdiri megah di atas tanah seluas dua hektar dengan tanaman serut yang dipangkas rapi berjejer membentuk pagar hidup. Pemandangan yang mungkin hampir punah di tengah kota dengan beton tinggi berjejer memadati. Sebuah rumah klasik, joglo kedaton dengan pilar selebar satu meter dimana ukir jepara menjadi aksen tiap kakinya, menjadikan rumah tersebut terkesan sangat mewah. Apalagi disertai atap sirap dengan jati tua tanpa cacat, membuat hunian itu terlihat sangat elegan dan berkelas.
Gera memandang jauh ke depan, sebelum kakinya melangkah masuk kedalam. Berusaha mengikis semua memori yang mengingatkan biyungnya. Rumah yang dulu menjadi saksi kemanjaan dan cerianya kala itu. Saat sang biyung masih sanggup menyuapinya saat makan, mengambilkannya handuk saat mandi, menyelimutinya saat terlelap dan memarahinya saat lupa makan.
Rasanya sesak jika harus ditarik ke masa itu. Haruskah senang, atau sedih jika mengingat orang yang paling lembut dalam hidupmu harus pergi meninggalkanmu karna keegoisan seseorang?
Ya, selama ini Gera selalu berusaha menutupi kelemahannya dengan berpura tegar dan keras, demi memenuhi tuntutan sang romo untuk bisa menjadi penerus DANURDIRDJA. Sebuah nama yang sangat ingin Gera buang dari ktp nya kalo bisa. Ingin dia hidup sebagai rakyat jelata tanpa embel-embel "ningrat" yang tersemat pada nama belakangnya. Nama besar yang telah memisahkan dia dari biyungnya.
Gera sadar, dia takkan mampu melawan kekuasaan romo ataupun yangkung nya dengan posisi dia saat ini. Mungkin itu juga yang membuat kedua kakaknya memilih hidup dengan kemauannya sendiri daripada harus hidup di bawah tekanan nama besar keluarga. Dan satu-satunya jalan untuk bisa bertemu biyungnya lagi hanya dengan menjadi pewaris tunggal DANURDIRDJA GRUP. Menggantikan komisaris utama dan presdir sekalian agar tak ada lagi yang bisa menghalangi keputusannya.
Perlahan ku ayunkan kaki menuju pendopo, memasuki ruangan luas yang biasa digunakan eyang untuk acara keluarga. Kang Jono, emban setia romo berjanan menyambutku.
" Aden piyambakan?? Den Pandu mboten derek? " (Aden sendiri?? Den Pandu tidak ikut?)
" Ndak kang... saya cuma sebentar kog ada urusan sedikit sama romo "
" Owalah... kang Jono kinten badhe sare mriki." (Owalah... kang Jono kira mau nginep di sini.)
" Enggak kang... lain kali saja! "
" Wes lali boso ne dewe to le? wes ra iso ngowong jowo meneh? " ( Sudah lupa bahasa sendiri nak, sudah gak bisa bicara bahasa jawa lagi?) Suara berat nan khas menginterup percakapan kami. Suara yang selalu ditakuti semua penghuni rumah. Ya, dia adalah romoku. Pimpinan tertinggi di keluarga kami setelah yangkung kami PRABU DANURDIRDJA wafat dan menyerahkan kekuasaan penuh pada romo, KAMANDHANU DANURDIRJA. dan sejak itu juga, sifat dan sikap diktaktor yangkung menurun ke romo.
Karena sikap itu juga, aku harus hidup jauh dari biyung, yang lebih membela mas Pandu kala itu dan memilih kembali ke rumah eyah dari biyung. Dan sampai sekarang, aku gak bisa bertemu biyung, karna larangan aturan romo, sekali keluar jangan harap kembali lagi.
Dan itu juga yang membuat mas Pandu sampai sepuluh tahun tidak pernah kembali. Tapi mungkin hari romo sudah mulai luruh, buktinya mas Pandu ditarik pulang lagi.
" Ditakoni wong tuwo malah meneng wae ki piye? " (Ditanya orang tua malah diam saja ini gimana?)
" Mboten romo... " (tidak romo)
" Lha terus kenopo? wes lali aturan omah iki?" (Lha terus kenapa? sudah lupa aturan rumah ini?)
" Geh mboten ngoten romo... dangu teng luar ajeng ngomong kromo radi kagok! "( ya tidak begitu romo... lama di luar mau bicara bahasa kromo agak susah!)
" Cah goblok!!! bosone dewe kog nganti lali! " (Anak bodoh!!! bahasa sendiri kog sampai lupa!) .
"Geh mboten ngoten romo... Gera taksih emut... nanging geh niku... angel ngucapke.. ajrih nak salah... kedahe kromo inggil Gera ucap kromo alus... kedahe kromo alus.. malah ngoko... mumet mangke romo!! " (Ya tidak begitu romo... Gera masih ingat.. tapi ya itu...susah mengucapkannya.. takut salah.. harusnya bahasa kromo inggil Gera ucap kromo alus... harusnya kromo alus...malah jadi ngoko.. bingung nantinya romo!! "
" Bocah gendheng... ra isin ta karo biyung mu??? Biyungmu kuwi lulusan falsafah jowo.. mosok kowe turunane ra iso boso jowo!!!? " (Bocah gila... tidak malu dengan biyungmu??? Biyungmu itu lulusan falsafah jawa... kamu keturunannya tidak bisa bahasa jawa!!)
" Gera bakal pinter bahasa jawa kalau biyung selalu ada disamping Gera ngajari Gera dan tidak meninggalkan Gera sendiri saat Gera bener2 butuh seseorang untuk dijadikan pegangan hanya karna keegoisan seseorang! "
Romo yang sejak tadi sibuk dengan murai kesayangannya mendadak terdiam. Para emban perlahan menjauh satu persatu. Tau akan ada api yang meletup dan mungkin mereka yang akan jadi sasaran kedua tuannya. Apalagi bendoronya.. sudah dipastikan mereka akan jadi pelampiasan lahar amarah jika pertengkaran ayah anak ini terjadi. Raden cilik mereka pun sama, meski tak mengamuk, tapi akan membuat mereka kesusahan dengan berdiam diri dalam kamar tanpa mau makan dan minum. Dan itu jauh mengerikan karna jika sampai raden kecilnya sakit, ibu suri alias biyung mereka akan ngamuk karna dulu sebelum keluar dari rumah, mereka sudah diwejangi untuk mengasuh pola makan anak kesayangannya ini.
" Huh.... wes g usah dibahas meneh.. mesake embanmu nak nganti diamuk biyungmu !!" (Huh.. sudah tidak usah dibahas lagi.. kasian embanmu kalau nanti dimarahi biyungmu! ".
" Wes leren sek.. romo arep dawuh.. tapi mengko... ngaso sek nak kamar!! Gak kangen biyungmu? " (sudah istirahat dulu.. romo mau bicara.. tapi nanti.. istirahat dulu di kamar!! Gak kangen biyungmu?)
Ditatapnya wajah lelah berkharisma itu, Gera tau romonya juga masih sangat mencintai biyungnya.. tapi karna ego, mereka malah saling mennyakiti.
" Gera kangen atau tidak juga romo gak peduli. Gak mungkin kan tiba2 Gera bisa ketemu biyung? "
Aku tinggalkan romo menuju kamarku. Kamar yang selalu hangat dengan elusan biyung dan canda biyung. Tapi sekarang sunyi karena ketiadaannya.
Harum wangi sedap malam membuat jiwa ini menjadi sejuk. Selalu... wangi yang selalu dihadirkan biyung di kamarku agar aku mudah terlelep.
Sebelum ku tutup rapat pintu, ku lihat romo sedang merenung, memandang bingkai foto kecil yang sangat ku hafal.
Bingkai foto romo dan biyung saat masih sama-sama kuliah. Saat mereka masih bebas menjadi diri mereka sendiri tanpa ikatan aturan keluarga. Aturan yang membuat aku harus jauh dari yang namanya kedamaian.