"Wat … kamu kenapa diam saja sejak tadi?" tanya Tom. "Wat?!"
Wat tersentak masih dengan ketampanan dan juga sikap sempurnanya. Ia hanya menggelengkan kepalanya, kemudian kembali memalingkan pandangannya, melihat seseorang yang sejak tadi sedang ia perhatikan.
"Kamu lihat siapa, Wat?" tanya Tom lagi.
Mata Wat terus memperhatikan seseorang yang mengingatkannya pada seseorang.
"Wat?!"
Mata Wat membesar, ia beranjak dari tempat duduknya.
Kakinya melangkah pelan mengikuti kata hatinya, yang penasaran dengan seorang pria yang kini sedang berjalan menyusuri koridor.
Wat berlalu begitu saja, meninggalkan tiga temannya yang masih duduk di tempat semula, mereka berkumpul.
Wat mengepal tangannya kuat, menghampiri pria itu.
Kini jarak langkah mereka tidak begitu jauh. Wat mengikuti pria itu dari belakang, sembari terus memperhatikan kepalanya dengan harapan pria itu menoleh ke belakang.
Tiba-tiba pria itu berhenti melangkah dan membuat Wat ikut mengerem langkahnya.
Ia diam ketika pria itu berbalik badan dengan mata yang langsung tertuju untuk menatapnya.
Deg!
'Ini benar dia?!' batinnya hampir tidak percaya.
"M—aaf … aku membuatmu tersentak," ujar pria itu, kemudian berlalu begitu saja.
Wat hanya diam, benar-benar terpaku. Ia masih mengepal tangannya kuat, kemudian berdecak, kesal pada dirinya sendiri yang tidak bisa berkata apapun di depan pria itu.
'Benar dugaanku … dia bukanlah orang New York asli,' batinnya lagi, menambahkan.
***
"Lin!"
Lin menoleh, masih menutup tas, usai menyimpan ponselnya.
"Win?" sapa Lin, sedikit terkejut dengan kedatangan Win, lagi. "Sudah selesai daftar ulangnya?" tanya Lin kemudian.
"Belum. Tadi antre dan aku … memilih untuk datang menemui kamu lebih dulu," jawabnya.
"Aku?" tanya Lin dengan mata membesar dan menunjuk dirinya sendiri.
Win mengangguk dengan senyuman.
"Ada apa, Win?" tanya Lin, heran.
"A—ku ingin meminta kontak atau media sosial kamu. Boleh?" tanya Win.
Lin diam sejenak. Ia hanya kaget, bukan berpikir.
"Lin?"
"Oh! I—ya, boleh kok."
Lin membuka tasnya kembali untuk mengambil ponsel dan menunjukkan kontaknya kepada Win.
Win menerimanya dengan senang hati.
"Setelah ini, kamu hendak kemana?" tanya Win.
"A—ku harus segera pulang," jawab Lin seolah tersentak.
"Aku antar, ya."
"T—tidak perlu. Aku bisa naik bajaj atau taksi kok. Lebih baik, kamu mengantre saja dan segera daftar ulang, agar tidak semakin lama lagi," ujar Lin, menolaknya secara halus.
"Oh … baiklah kalau begitu."
"Aku … pamit duluan, ya," ujar Lin.
Win tersenyum dan mengangguk.
"Silakan."
Lin berlalu, meninggalkan Win dengan langkah yang terlihat terburu-buru.
'Sepertinya Lin grogi berada di dekatku. Ia begitu gugup dan kerap tersentak. Huft … karena sudah begitu, aku harus bisa menyukainya, agar Lin tidak kecewa. Ya Tuhan … biarkan aku mencintai seorang wanita, sekali ini saja … aku hanya tidak ingin membuat Lin terluka, karena ini semua bermula dari kesalahanku. Ya … aku harus bertanggung jawab.'
***
Braak!!!
"Apa ini, Lin?!" tanya Wat membanting berkas yang sedang di susun oleh Lin, di kamar.
"Berkas," jawab Lin, tanpa menoleh pada Wat.
"Kamu kuliah, tanpa sepengetahuanku?" tanya Wat.
Lin kini menatap Wat yang terlihat begitu marah padanya.
"Marahlah padaku … bukankah kamu pernah bilang, tidak akan membatasi gerakku?" tutur Lin.
"Tapi—"
"Tapi kuliah ini adalah salah satu impianku, Wat. Andai kamu tidak menikahiku saat itu, kini aku sudah berada di semester atas, bukan seorang mahasiswa baru lagi," sahut Lin, berbicara seolah melawan Wat.
"Lin … aku juga harus menunda kuliahku. Itu karena apa?! Karena menunggu kamu melahirkan."
"Oh, jadi sekarang kamu menyesal karena ada Pin dan juga Nas, iya?!"
"Bukan begitu—"
"Marahlah padaku, kecewalah padaku dan menyesal cukup karena kehadiranku saja. Tidak perlu membawa anak-anak, Wat. Adanya mereka, juga bukan karena keinginan mereka. Tetapi kita yang merencanakan dan mengusahakannya!!!"
"Lin!"
Tangan Wat mengepal kuat, tidak mampu membentak Lin lebih dari itu.
Apalagi melihat Lin yang kini sudah terlihat emosi, dengan air mata yang sudah tidak sanggup ditampung, sehingga mulia bercucuran, membasahi pipinya.
Lin menunduk, menangis tersedu, sudah tak mampu lagi ditahan olehnya.
Sementara Wat menghela napasnya, berusaha berlapang dada untuk mengalah pada sang istri. Ia melangkah hanya sejengkal, menarik pelan kepala Lin dan mendekapnya. Tangan kanannya mengusap pelan rambut Lin, sementara tangan kirinya menepuk bahu wanita yang kini sedang menangis, karenanya.
"Maafkan aku, Lin ... aku hanya khawatir kamu akan berhenti di tengah jalan. Ada Pin dan Nas yang masih sangat membutuhkanmu," tutur Wat.
"Aku sedang berusaha untuk pindah kelas malam, Wat … agar aku bisa menjaga mereka saat kamu kuliah. Aku hanya menitipkan mereka padamu sebentar saja, beberapa jam saja," balas Lin.
Wat menggigit bibir bawahnya, berusaha memutar otaknya untuk berpikir lebih dalam lagi, agar masalahanya dapat terselesaikan saat itu juga.
"Kita pakai jasa baby sitter saja dan biarkan mereka berada di rumah orang tua kamu. Setiap pulang kuliah, kamu bisa menjemputnya," ujar Wat, memberikan jalan keluar untuk sang istri.
Lin menengadahkan kepadalnya, ia menatap Wat dengan tatapan yang begitu sendu.
"Aku yang menjemputnya? Kenapa bukan kita?"
"Kamu percaya padaku, bukan? Tapi di kampus tidak memperbolehkan mahasiswanya sudah berstatus menikah di semester muda. Kamu paham, bukan?"
Lin menganggukkan kepalanya, mengerti maksud Wat.
Ada beberapa kampus yang memiliki peraturan, setiap mahasiswa tidak diperbolehkan untuk menikah di semester muda. Biasanya batasan tersebut hanya sampai di semester lima, selebihnya, peraturan tersebut tidak berlaku lagi.
"Lin …," panggil Wat, masih mendekap Lin.
"Hm?"
"K—kamu … bisa berangkat dan pulang kuliah sendiri, bukan? A—tau aku sewakan sopir untuk antar jemput kamu?" tanya Wat, sebenanrnya sedikit khawatir istrinya akan marah dan kecewa lagi padanya.
"T—tidak apa-apa …," jawabnya terdengar biasa saja.
Wajah Wat jelas menunjukkan kalau ia sangat lega mendengarnya. Ia tersenyum dan memberikan kecupan di kepala Lin.
***
Wat dan Lin sedang sarapan bersama di meja makan. Wat memperhatikan barang apa saja yang dibawa sang istri di dalam tas. Lin terlihat sedang menata isi tasnya dan Wan mendapati ponsel Lin yang hancur di bagian layar.
"Lin, berikan handphone mu," pinta Wat mengulurkan tangannya.
Lin menoleh, menatap Wat ragu.
"Sini," pintanya lagi dengan anggukkan.
Lin memberikannya dengan perasaan takut, karena ponsel tersebut adalah pemberian dari Wat.
"Kenapa bisa hancur seperti ini?" tanya Wat. "Sejak kapan? Kenapa aku baru menyadarinya, ya?"
"I—itu … jatuh. Saat aku pergi daftar ulang ke kampus, ada pria yang tidak sengaja menabrakku dari belakang. A—aku juga tidak berhat-hati sampai handphone itu lepas dari genggaman," jawab Lin.
"Huft … nanti malam kita beli lagi yang baru, sementara pakai ini dulu, tidak masalah?"
Lin tersenyum, menganggukkan kepalanya, senang.