'Ada banyak kesengsaraan pada sebuah hati yang telah hancur berkali-kali.
Sedikit yang mulut bisa bawakan untuk hadir ke permukaan,
tapi banyak yang mata bisa kisahkan untuk yang sadar.
Tanpa kata membiru, tanpa isakan pilu.'
"Tentu. Kamu mau dengar darimana?"
Tenggorokan Isaac terasa tercekat melihat wajah kaku Agatha. Ia terus melihat wajah dengan ekspresi itu. Benar memang ada senyum di wajah gadis itu. Tapi pun Isaac tidak bisa melihat ada cahaya di wajah Agatha kala ia tersenyum seperti itu.
Seakan kisah yang akan ia ceritakan ini adalah kisah yang jadi bebannya dan akan membuatnya sangat teramat tidak aman. "Tidak apa kalau kamu tidak mau cerita." Kata Isaac sekali lagi, memberikan Agatha pilihan. Tidak pernah ia memberikan pilihan untuk gadis-gadisnya sebelumnya. Tapi yang satu ini terasa berbeda di kedua tangan Isaac.
"Aku mau." Jawab Agatha. Isaac diam lalu tersenyum, lega mendengarnya. Pria itu berdehem lalu ingin melontarkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang mengusiknya tiap melihat wajah sayu Agatha tiap Isaac dapati sedang melihat keluar jendela. Tapi kemudian ia menoleh pada wajah Agatha yang menunggunya dengan wajah tenang yang disinari lampu jalan yang ada di kejauhan. Pria itu kemudian mengurungkan niatnya. Ia tak mau memulai dengan sebuah pertanyaan, ia bisa saja salah memilih langkah.
"Kamu mau menceritakan darimana pun juga tidak apa-apa." Katanya. Meski sebenarnya ia sudah tahu sudut mana yang ingin ia gali lebih dalam. Tapi ia mau tahu sejauh apa Agatha sebenarnya ingin memperlihatkan siapa dirinya pada Isaac.
"Hm.. Darimana ya." Kata Agatha sambil mulai menggali pikirannya. Ia lalu menoleh kepada Isaac lalu meraih tangan pria itu. "Kenapa tiba-tiba, tuan?" Tanya Agatha sambil menggenggam satu persatu jari jemari Isaac. Pria itu mendekatkan tubuhnya sejengkal, menghapus jarak antaranya dan gadisnya ini. "Apakah aku tidak boleh tahu kehidupanmu?" Tanya Isaac sambil mengangkat dagu Agatha agar kedua mata mereka bertemu.
"Hm?" Bisik Isaac sambil menekan dahinya kepada dahi Agatha lalu mulai membawa tubuh Agatha untuk mengayun bersamanya, mengikuti arah deburan ombak, menari dengan pelan diiringi siulan lembut dari angin malam itu. Tangan Isaac yang diraih Agatha kini membalas tangan Agatha dengan genggaman yang kokoh, sedangkan tangannya yang lain turun mengelus punggung Agatha lalu berhenti dan menggenggam pinggang gadis itu.
Agatha merasakan sebuah aliran segaris tiap tubuhnya disentuh oleh kedua tangan tuannya ini. Seperti perasaan intim yang belum pernah ia rasakan dari Lucas yang hanya menyentuhnya kalau ia sedang kesal dan penuh dengan napsu. Agatha menggigil tiap mengingat kenangan itu. Kenangan Lucas sebagai kekasihnya yang di luar dari deskripsi biasa dan baik. Itu kisah yang berakar dalam di pikiran Agatha. Yang menghancurkannya. Yang perlahan menyakitinya selama ini.
Tangannya mendingin dan desiran darah di tubuhnya jadi menyakitkan, membuatnya letih dengan kehidupan, membuatnya ingin tidur di dasar laut yang menyaksikannya runtuh lagi. Lalu Agatha merasakan Isaac memperkuat remasannya pada tangannya. Seperti sebuah upaya pria itu untuk menghentikan gemetar tubuh Agatha. Gadis itu menengadah dengan sebuah senyuman lalu menghela napasnya lalu menjatuhkan kepalanya kepada dada Isaac. Ia ingin diam dulu sejenak. "Take your time, baby." Bisik Isaac.
Isaac melihat tubuh Agatha yang menggigil. Sebagian karena angin malam yang menelusup lewat celah jas Isaac yang kebesaran di tubuh Agatha. Tapi sebagian besarnya adalah karena sesuatu yang membuatnya teringat akan betapa lemah dirinya.
Isaac tahu tubuh di dekapannya ini pernah dicabik habis oleh suatu kejadian. Yang membuatnya lemah dan berserah. Tapi oleh siapa sebenarnya? Isaac melihat begitu banyak nama lelaki di berkas hidup Agatha. Tapi ia benar-benar tidak tahu di bagian mana Agatha benar-benar dihancurkan. "Agatha. Kalau ini berat untukmu, kamu tidak perlu memaksa dirimu." Kata Isaac sambil mengangkat tangannya lalu mengusap punggung Agatha.
"Kamu boleh tahu." Bisik Agatha saat ia menoleh kepada wajah Isaac yang menunduk, mengamati setiap inti wajah Agatha. "Aku mau kamu tahu."
"Baiklah. Kalau begitu ayo kembali ke mobil, malam semakin dingin." Kata Isaac. Tapi Agatha menggeleng. Tidak. Ia mau meleleh di hadapan lautan malam itu. Ia tidak mau mendengar gaung suaranya di dalam mobil Isaac, ia mau angin laut ikut mendengarkan kisahnya. Dan Isaac menyanggupinya.
Gadis itu menarik Isaac untuk duduk di pasir bersamanya. Isaac menurut lalu duduk di hadapan Agatha. "Aku.. pernah dijadikan piala bergilir." Kata Agatha sambil menunduk dan memainkan jari-jemarinya sendiri. "Lucas. Dia itu ketua geng di sekolahku. Dan.. Um.. Dan dia suka mengganggu cewek yang membuatnya tertarik." Agatha meremas tangannya yang mulai bergetar.
Semua perasaan itu muncul ke permukaan selagi pikirannya mulai dibanjiri sederet kejadian yang membuatnya semakin menggigil. Gadis itu mendekap tubuhnya sendiri selagi ia menarik napas lalu menghela dengan kasar. Kuat. Ia harus jadi kuat. Sekali ini saja. Di depan Isaac. Ia ingin kuat di depan Isaac.
"Agatha." Panggil Isaac dengan lembut bersamaan dengan sebuah tangan besar yang menangkup pipi Agatha dengan senyuman lesu kepada Agatha yang begitu rapuh. Tapi secepat sebuah lompatan tegangan listrik senyuman itu sirna. Isaac melihat wajah yang tak pernah Agatha hadirkan di permukaan wajahnya. Wajah apa itu ya? Isaac berpikir sejenak. Wajah yang ia pernah lihat pada ibunya. Wajah yang ia pernah lihat pada gadis-gadis yang berkata mereka kecewa padanya. Wajah binasa, wajah ketika perasaan mereka meleleh dan semua semesta di pikiran mereka hancur. Wajah kehancuran, pikir Isaac.
Cahaya pada mata Agatha meredup sesaat sebelum ia memejam dalam-dalam, merasakan aliran air yang jatuh saling bersahutan dari kedua matanya. "Dia menghancurkanku, Isaac." Bisik Agatha dengan bibir dan suara yang gemetar. "Satu tahun. Lucas membuatku terasa selayaknya cewek tak berguna selama satu tahun. Lalu Lucas menghilang tanpa kabar dan kembali seakan ia tak pernah memperlakukanku rendah." Kata Agatha.
Isaac tahu apa itu piala bergilir. Gadis-gadis yang dioper kesana kemari untuk dijadikan pemuas. Tapi yang Isaac tahu gadis-gadis seperti itu jadi piala bergilir karena kemauan mereka. Bukan karena unsur keterpaksaan. Semua tekanan itu, kini tercetak jelas untuk Isaac. Pria itu tak kuasa melihat Agatha yang perlahan hancur di hadapannya. Pria itu menarik Agatha untuk masuk ke dekapannya. Ia ada disini. Bersama Agatha. Ia ada sepenuhnya di hadapan Agatha. Tapi ia tidak bisa mengatakan itu. Mulutnya kelu. Jadi Isaac mendekap gadis itu semakin erat ketika Isaac mendengar isakan Agatha semakin cepat.
Lucas, si sialan itu, telah menyakiti Agatha. Yang manis, yang ramah. Isaac tak perlu mendengar gadis itu bersuara pun tahu kalau Agatha adalah gadis dengan hati yang murni, hati yang baik. Ia lahir kepada keluarga dingin dan Isaac pun bisa melihat itu dari cara ayahnya berbicara padanya ketika Agatha tak sengaja menelepon ketika mereka ada rapat. Isaac juga mendapati Agatha yang duduk dengan diam di bangku di depan kantor ayahnya yang kedengaran sedang bermain-main di dalam sana dengan Miracle.
Pria yang disebut Agatha sebagai papanya adalah pria tolol yang tak punya hati untuk membantu Agatha sama sekali. Dan Agatha menangkap sinyal itu. Ia hanya tak punya pilihan lain karena tak punya tempat lain selain rumah ayahnya untuk dijadikan tempat berpulang.
Isaac melihat seberkas dirinya pada setitik kisah Agatha yang harus menghadapi tekanan sebagai anak yang harus kelihatan baik-baik saja. Apa Tuan Ivy tahu soal ini? Soal Lucas pun menyakitinya? Ah, bagian itu tidak penting. Suara dan cerita pria itu tak terhitung lagi untuk Isaac, pria itu sampai hati menjual anaknya sendiri demi menyelamatkan perusahaannya.
Tapi kedua mata Isaac memejam. Kenyataan yang ia miliki juga tak baik dengan sempurna. Ia yang membeli Agatha. Ia menyetubuhi gadis itu di hari pertama. Ia memperlakukan Agatha rendah secara tidak langsug. Ia sama saja seperti Lucas atau Tuan Ivy. Ia adalah salah satu pria yang menyakiti Agatha.
"Agatha." Panggil Isaac pelan. Ia kini menghadapinya. Ia menyakiti semua orang juga selama ini. Ayahnya, Kay, ibunya, mantan-mantan pacarnya, teman masa SMA-nya. Dan dengan kenyataan ini, kenyataaan kalau ia pun menyakiti Agatha yang tak pernah menyakitinya menjadikan lingkaran setan Isaac bulat sempurna. Lalu semua alkohol itu. Semua waktu-waktu mabuk yang nyaris membunuhnya itu. Semua wanita yang Isaac sewa untuk memuaskan dirinya yang tidak puas. Semua itu hanya jadi seperti buah ceri diatas kue untuk Isaac.
Ia jadi pendosa yang sempurna adanya. Ia jadi benar-benar mirip dengan ayah yang ia benci sampai akhir hayat pria brengsek itu. Ia jadi semua hal yang seharusnya tak bersanding pada seorang malaikat seperti Agatha.
"Agatha, maafkan aku." Suara Isaac bergetar. Dengan terkejut, Agatha menengadah, mendengar suara tarikan ingus selain dari miliknya. Lalu mata Agatha membulat melihat Isaac. Isaac menangis. Agatha mengangkat kedua tangannya, meletakkannya pada kedua pipi Isaac yang mulai membasah, "A..Apa..-" Isaac menangkap kedua tangan Agatha dengan menggenggam dengan erat. Pria itu mencium kedua tangan yang meraihnya itu bergantian lalu membenamkan wajahnya pada tangan-tangan mungil itu.
"Aku juga sudah menyakitimu, Agatha. Seperti Lucas, seperti ayahmu." Kata Isaac sambil menoleh kepada Agatha dengan matanya yang memerah. "Aku telah membuatmu merasa rendah. Aku telah menghancurkanmu juga." Isaac kembali mengecup dan menghirup harum manis kedua tangan Agatha yang ia genggam semakin erat semakin ia tenggelam dalam rasa bersalahnya. "Aku tidak tahu yang lebih baik waktu itu. Kumohon maafkan aku." Suara Isaac tenggelam dalam isakannya yang semakin dalam.
Isaac akhirnya hancur lebur. Dan semua ini karena Agatha yang pasif. Agatha yang tak banyak buka suara, tapi banyak melayangkan senyum dan sentuhan yang terasa tulus untuk Isaac yang membatu karena kegagalannya untuk bertemu dengan orang yang benar-benar menginginkannya untuk sebagaimana dirinya. Agatha yang tak perlu berkata banyak untuk membuat Isaac melembek lalu mengindahkan semua keinginan-keinginan kecil gadis itu.
"Aku tidak tahu yang lebih baik waktu itu," ulang Isaac ketika Agatha akhirnya mendekap Isaac dalam lingkaran tangannya yang mungil. "Kumohon tetaplah ada disisiku."
***