Suara langkah kaki Iqbal bergerak cepat. Aku dan Zakky mengikutinya di belakang. Panggilan darurat yang diterima Iqbal membuyarkan suasana konyol kami. Iqbal mulai serius. Aku menoleh ke samping kanan. Banyak orang berhamburan melangkah super tergesa-gesa. Tunggu dulu, sebelumnya kupikir tempat ini sepi kering tandus tapi lihat lah sekarang tempat ini ramai orang-orang berjas hijau yang dibelakangnya ada logo fenrir sibuk memegang tablet. Ada yang membawa tumpukan kertas, kebel-kebel besar, sibuk menghubungi seseorang. Aku tahu ini lantaran ada orang berbicara sendiri sambil menekan sesuatu ditelinganya, persis orang bertelpon. Ada yang bawa ayam. What!!
Aku tidak tahu apa yang kutulis. Kita anggap salah tulis saja ya.
Iqbal menoleh kebelakang. "Lihat itu." Kata Iqbal menunjuk ke arah kaca berlapis. Padahal terlihat jelas kaca ini bertumpuk tapi tetap saja jernih. Tidak ada yang janggal. Aku dan Zakky menoleh. Ada hologram menunjukkan waktu hitung mundur. Kurang satu menit lagi. tapi cahaya hijau itu menyala redup dan terang layaknya jam beker siap berdering.
"Sebentar lagi." kataku sembari menatap hologram itu. Zakky menghembuskan napas, "Benar. Semoga aja semuanya selamat." Kata Zakky. "Semoga tuhan masih mengampuni kita."
"Kiamat sudah dekat. Persiapkan diri kalian sebentar lagi menyaksikan pertunjukan teater dari tuhan." Kata Iqbal. Kami melintasi lorong berbelok ke kanan, ada persimpangan belok kiri, di ujung lorong ada lift. Kami tidak menaikinya. Belok kiri. Astaga berapa jauh lagi kami akan sampai. Rasanya tadi lewat nggak se-jauh saat ini. Hadeh. Astaga menyebalkan sekali saat ini, aku masih penasaran.
Kurasa Iqbal amnesia mendadak. Dari tadi sepertinya muter-muter nggak ketemu jalan keluarnya. Aku mulai kesal. Aku benci menunggu. "Bal. ini ke mana sih, dari tadi nggak nyampe-nyampe." Gumamku. Iqbal tidak menjawab. Astaga ada apa dengan ni anak. "Mungkin lagi nggak pengen diganggu." Zakky menyikut tanganku. "Astaga." "Sebentar lagi. lu sabar aja." Kata Iqbal yang kini mulai buka mulut. "Ke mana?" tanyaku. "Ruang utama. Di sana mungkin semua orang udah pada ngumpul. Menunggu hitungan mundur." Iqbal masih mempercepat jalannya. Kami berusaha menyamakan gerakan supaya tidak tertinggal dibelakang. "Maksud lu kumpul dengan orang-orang berpakaian rapi dengan tampang garang itu? Idih pengen berak rasanya."
"What!! Berak? Lu nggak lihat tuh jam?" tanyaku sedikit kaget saat Zakky mengucapkan kata berak sembarangan. Jijik dengernya. Lagian siapa yang berani sempet-sempetin berak saat nasib dunia tengah dipertaruhkan. Ada-ada aja. "Yup. Memangnya ada apa?" tanya Zakky sok polos. Lihat wajahnya sekarang, bibir dibuat semungil mungkin dengan pipi rada ditiruskan. Matanya berputar ke mana-mana. "Dan lu masih pengen berak?" tanyaku.
"Kalau boleh sih ya nggak apa-apa. Ehh Bal bisa lu tunjukin arahnya nggak?" Jawab Zakky enteng. Iqbal hanya tertawa kecil. aku tahu ini bercanda tapi rasanya sedikit pengen baku hantam. Dan aku lebih memilih tidak menanggapi perkataan Zakky. Kembali fokus kedepan melintasi lorong.
Kami pun tiba. Pintu besar terbuka perlahan setelah Iqbal menunjukan jam tangannya ke arah sensor. Terdengar suara riuh. Benar saja banyak orang di sini. Hampir semuanya memakai jas khusus fenrir lalu lalang sepertinya mereka sibuk. Hanya aku dan Zakky yang masih mengenakan jacket biru daleman hem kuning dan kemeja warna merah yang Zakky kenakan.
Di ujung terdapat monitor besar dan lebar. Di sana berkumpul orang yang kami temui sebelumnya. Iqbal datang menghampiri. Aku dan Zakky mengikutinya di belakang. Aku masih sibuk melihat-lihat ruangan ini. Benar-benar sebuah masa depan. Yah aku tahu ini norak tapi biarlah. Seperti melihat film bertema masa depan. Sekarang aku bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri seluruh ruangan ini menggunakan hologram. Bahkan lantainya pun terbuat dari kaca ber-hologram. Persis kayak simulator. Jadi kalau kita menginjakan kaki di sini seperti menginjakan kaki di atas air. Ada semacam percikan-percikan air. Kalian bisa bayangkan sendiri lah.
"Semua sudah siap?" tanya Iqbal pada seseorang mengenakan command uniform cokelat. Jenderal Mahyan. Orang itu menoleh ke belakang. "Oh sudah datang ternyata. Tenang saja Prof semua sudah terkondisikan. Sekarang hanya menunggu. Lihat! Seluruh area pos fenrir di dunia sudah terisi penuh. Di tambah lagi segala teknisi persiapan ke bawah tanah beres." Kata Jenderal Mahyan tersenyum. Orang ini ramah. Mahyan melirik-ku ke belakang melihat aku dan Zakky. "Hey kita belum berkenalan." Kata Mahyan melihatku. Melangkah mendekatiku. Sekarang ia berada didepanku dan Zakky. Aku masih diam tidak membalas.
"Oh salam kenal Jenderal Mahyan." Zakky mencoba mengambil situasi. Mengulurkan tangan. "Salam kenal." Mahyan tersenyum. Membalas jabatan tangan Zakky. Aku juga menjabat tangannya Mahyan. Besar dan kasar permukaan tangan Jenderal Mahyan saat menjabat. Layaknya laki-laki gagah ia terlihat super cool. Ditambah pribadi yang ramah katanya Iqbal ia adalah God Eater paling berbakat saat ini. Aku juga menyadarinya dari gelang yang ia gunakan berbeda dengan yang lain. "Jadi Iqbal sudah memberitahumu tentang fenrir atau sampai sekarang kalian belum tahu mengapa kalian datang kesini?" tanya Mahyan.
"Kami sudah mengetahuinya." Kataku. "Jadi begitu. Mulai sekarang kalian bukan anak sembarangan. Seluruh God Eater di sini adalah pilihan. Eiitts tunggu dulu. Bal apakah mereka jadi masuk menjadi God Eater? " Mahyan Menepuk pundak Iqbal yang tengah berbicara dengan teknisi di depan layar monitor. Iqbal melihatku dan Zakky bergantian. "Jadi. Aku sudah membicarakan hal ini dengan mereka." Kata Iqbal. "Oh syukurlah jadi. Kukira kau malah menuntut mereka. Kayak semacam dipaksa gitu. Ternyata tidak. Kalian tidak keberatan?"
"Untuk apa?" tanya Zakky.
"Mengemban tanggung jawab umat manusia." Kata Mahyan. Kami berdua saling tatap. Aku menghembuskan napas mengangkat bahu. Zakky juga demikian.
Kami berdua mengangguk.
"Baiklah sudah diputuskan. Selamat bergabung di fenrir." Kata Mahyan.
"Mohon bimbingannya." Kataku. Mahyan mengangkat bahu menggaruk-garuk rambut yang menutupi mata biru kirinya. "Terlebih dahulu kalian akan mengalami masa pelatihan. Pengecekan tubuh. Fenrir akan memantau kalian dari awal hingga akhir. Mereka tidak salah menilai, apa yang mereka nilai adalah hasil perkembangan kalian. Hingga akhirnya kalian akan ditugaskan di tim apa. Itu semua tergantung hasilnya. Jika baik lebih-lebih diluar ekspetasi kalian beruntung akan ditugaskan di tim tingkat atas. Kalau sebaliknya. Kalian tahu maksud pembicaraanku ini." Kata Mahyan.
Aku dan Zakky masih mendengarnya antusias. Baikah ini sebuah tantangan.
"Tapi tenang saja. Fenrir juga mempertimbangkan tingkat kecocokan kalian dengan sel oracle. Meski terkadang skill bertempurnya bisa dibilang kurang bagus, ia masih ditempatkan di tim atas. Tapi menurut hasil perkembangan di seluruh cabang fenrir orang yang memiliki tingkat kecocokan tinggi juga memiliki bakat tersembunyi. Gaya bertarung yang unik dan rata-rata memiliki hasil pelatihan yang luar biasa." lanjut Mahyan.
"Aku sendiri terkejut. Kalau kalian adalah kandidat God Eater yang memiliki tingkat kecocokan paling tinggi dalam sejarah fenrir."
Aku sudah mendengar perkataan ini yang menyebtkan bahwa aku dan Zakky memiliki tingkat kecocokan paling tinggi. Sejak menginjakaan kaki di ruangan pertama yang kami temui. Orang berkemeja putih itu yang bilang di hadapan kami. Aku masih ingat wajahnya yang masih ragu akan fakta. Aku sendiri tidak tahu. Kami belum mengalami masa pelatihan. Iqbal mungkin tahu hal ini menyembunyikan dari kami. Lagian kata Iqbal pernah melakukan tes pada kami. Dan seingatku sekarang aku baru pertama kali bertemu Iqbal selama dua tahun kebelakang. Kapan ia melakukan tes itu padaku dan Zakky. Itu masih menjadi pertanyaan yang berputar-putar dalam otakku ketika pertama kali tba di tempat ini.
"Ini akan akan dimulai." Kata Mahyan.
"STATGMEN KODE A AKAN DIMULAI DALAM HITUNGAN SATU. DUA TIGA!" suara seseorang dalam pengumuman. Iqbal menekan tombol di layar monitor. Tiba-tiba terasa bergetar di seluruh ruangan ini. Aku dan Zakky merasakaannya. Seluruh orang diruangan ini. Tidak seluruh orang di bangunan ini mungkin meresakan hal yang sama. Aku melihat hologram peta dunia. Berwarna biru dan surut-temurut menjadi warna putih. Aku tidak mengeti maksud hal itu. Tapi sepertinya apa yang dibicarakan Iqbal terjadi.
Seluruh tempat fenrir bergerak menggali kedalam tanah. Menuju kerak bumi.
"Mohon dinikmati. Hanya butuh berberapa saat untuk kembali ke semula." Kata Mahyan tersenyum. Sikapnya santai. Aku menelan ludah menoleh ke arah Zakky. Zakky menelan ludah, mungkin ini pertama kali baginya merasakan getaran semacam gempa. Memegang sesuatu dengan raut wajah tegang. Aku tertawa kecil melihatnya.
"Mungkin terasa nikmat. Tapi berbeda dengan dia." Aku menunjuk Zakky. Mahyan menoleh. Tertawa terbahak-bahak. Rambut yang menutupi mata kirinya terambai ke kanan kiri. "Kayaknya temanmu itu butuh arah jalan ke kamar mandi. Lihat mukanya. Seperti anak kecil naik jungkat-jungkit tapi berada di bagian paling atas. Tertahan di sana dan meunjukan wajah cengengnya sambil pipis dipopok." Kata Mahyan mengolok-olok Zakky. "Kurasa begitu. Mungkin dia sekarang sudah kencing dicelana." Kataku.
"Hey Zak. Lu nggak kencing dicelana kan?" kataku tertawa melihatnya.
"Diam lu." Katanya ketus.
Lima belas detik berlalu. Perlahan-lahan getaran itu mulai mereda. Suasana yang tadinya bergetar hebat sekarang sudah mulai normal. Zakky sekarang duduk lemas, tidak memegang pegangannya tadi. Aku menggeleng-geleng. Layar di monitor kembali menunjukkan peta dunia berwarna putih. Di tengah-tengahnya masih terdapat waktu yang berhitung mundur. Tabrakan asteoroid akan segera terjadi. Semua orang terpaku melihat layar monitor. Tidak lagi yang sibuk bertugas.
"HANTAMAN AKAN SEGERA MENDARAT. DALAM HITUNGAN." Suara pengumuman itu lagi. Aku menghembusakan napas, menelan ludah. Melihat sekeliling banyak orang juga antusias melihat angka yang berhitung mundur tersebut.
LIMA!!
EMPAT!!
TIGA!! Kali ini keringatku mulai bercucuran. Sialan padahal suhu ruangan ini tidak panas. hangat aja tidak.
DUA!! Layar di hologram menggambarkan bongkahan asteoroid besar tengah mendekat. Sangat dekat. Tinggal berberapa meter saja.
SATU!!
TIITTT!!! Suara nyaring terdengar.
Sekali lagi guncangan dahsyat terjadi. Menggoyahkan tempat ini. Guncangan ini begitu terasa. Aku terjungkal begitu juga yang lain. Zakky apalagi, ia sudah jatuh tersungkur di lantai. Aku mencoba membantunya berdiri duduk dikursi. "Ya ampun. Diluar dugaanku guncangan ini berbeda dari yang dahulu." Kata Mahyan terlihat memegangi meja di sampingnya. Masih berdiri tegak walaupun sedikit terguncang. Aku menoleh. "lu nggak apa-apa Zak? Muka lo kok pucet gitu." Tanyaku melihat wajah Zakky tertunduk. "Brisik lu. Gua bukan anak kecil." katanya. Aku tidak membalas perkataan Zakky. Nggak mau mulai perang lagi.
Aku berdiri melihat keadaan sekitar. Orang-orang duduk berlindung. Waspada, sembari memegangi pegangan besi. Ada yang bersandar di tembok. Ada yang jongkok sambil melindungi kepalanya. Lebih mirip langkah awal ketika gempa melanda. Banyak orang bersembunnyi di bawah meja. Aneh. Hologram hijau itu menunjukkan kondisi normal. Seluruh benua tampak berwarna merah tapi di bawah permukaan struktur bumi yang terlihat di layar pojok berwarna hijau. Sepertinya semua berjalan lancar. Iqbal juga terlihat sibuk di depan monitor sana. Kayaknya ada kendala teknis.
"STAGMEN KODE A SELESAI BEROPRASI!!" suara pengumuman itu terdengar lagi. "DALAM KEADAAN SEKARANG KITA TERHUBUNG DI ZONA FENRIR. SELAMAT DATANG."
Zona fenrir? Batinku. "Cek. Cek. Halo." Suara seseorang. Aku kenal suara orang ini. Benar saja. Saat aku menoleh ternyata Iqbal yang berbicara. Suaranya terdengat di seluruh penjuru bangunan ini. "Sekarang asteoroid sudah menghancurkan permukaan-"
Tiba-tiba jendela beton itu terbuka. Dari samping kanan dan kiri. Aku mencoba mendekati melihat ke arah cahaya putih di sela-sela beton itu. Di bawah ada banyak orang berkumpul dalam satu ruangan besar. Luasnya bukan main. Jutaan orang tertampung di bawah sana. Aku yang berada di atas sini melihat lautan manusia berkumpul di bawah. Berbentuk persegi yang sisi-sisinya tidak bisa ku lihat batas jarak pandangku. Ruangan yang tertata rapi berwarna putih.
"Dari cabang timur fenrir semua sudah teratasi. Untuk kalian yang masih bingung sedang berada dimana. Saya ucapkan selamat datang di kerak bumi." Kata Iqbal. Sontak suara riuh langsung terdengar sampai ke sisni. Orang-orang saling toleh. Berbicara dengan yang lain, ada yang menangis. Ada yang mulai panik. Memang benar dan wajar mereka panik. Sekarang mereka berada di tempat yang tidak lazim, kerak bumi. Setahu yang mereka kenal, kehidupan bisa berlangsung di permukaan bumi. Bukan di dalam bumi. Secara harfiah memang tidak tampak didalam tanah seperti tanah-tanah dilangit layaknya orang dikubur hidup-hidup. Sekarang mereka hanya bisa menempati bangunan luas berwarna putih, didalamnya ada lautan manusia.
"Harap tenang." Ucap Iqbal. Menghentikan keramaian. "Saya paham perasaan tak masuk akal yang kalian pikirkan. Tidak mungkin adalah kata yang cocok dikondisi saat ini. Tapi itu semua tidak benar. Inilah kenyataannya. Kita di kerak bumi, berlindung dari kiamat permukaan. Memang terdengar seperti omong kosong, tidak masuk akal dan gila. Fenrir. Tempat yang kalian injak sekarang berkat fenrir. Untuk umat manusia. Seorang Ilmuan terkenal dan kebanyakan orang tidak tahu betapa besar jasanya. Kalau tidak percaya apa yang aku katakan tentang kiamat silakan lihat hologram samping kalian." Jelas Iqbal.
Sedetik kemudian muncul hologram di depan orang-orang. Mereka terkejut. Tiba-tiba ada benda di depan mereka. Hologram itu berisi tulisan dan sebuah video. Lebih tepatnya sebuah CCTV yang menggambarkan kondisi di permukaan. Fenrir sengaja memasang alat untuk mengawasi keadaan permukaan. Orang-orang antusias melihat siaran langsung keadaan permukaan. Banyak kepulan asap melintasi layar. Bekas tabrakan asteoroid mulai tampak.
Orang-orang pun kaget.
Semuanya rusak parah. Tanah mendadak tandus. Tumbuhan menjadi hangus. Sungai dan lautan manjadi kering meninggalkan bekas menguap. Semua mendadak hangus tanpa sisa. Bangunan-bangunan rata dengan tanah. Ada seutu timbulan mengerucut tumbuh menjulang tinggi. Tidak hanya satu. Ribuah benda aneh itu tumbuh saling menyilang. Kerucutan itu sepertinya disebabkan asteoroid. Ada semacam guratan bebatuan warna merah. Entah aku sendiri melihatnya baru pertama kali ini. Aku juga tercengang melihat siaran langsung tersebut. Dalam hitungan menit hamper seluruh permukaan bumi berubah tak hidup. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Yang tampak hanya hamparan tanah rusak dan kering. Ditambah timbulan benda aneh benbentuk seperti pilar meruncing menghiasi pemandangan horror tersebut.
Keringatku mulai mengalir melintasi pipiku. Masih berdiri sidikit bergetar. Orang-orang mulai percaya. Sangat syok melihat siaran langusung tersebut. Ada yang menutupi mulutnya saking syok-nya. Suara isak tangis sudah mulai terdengar. Bersedih atas tempat tinggalnya hacur rata menjadi tanah. Iqbal beridiri kokoh melihat lautan manusia dari atas. Entah apa yang tengah ia pikirkan saat ini. Sepertinya hal ini sudah biasa terjadi. Dari tatapan Iqbal menjawab pertanyaanku. Jenderal Mahyan berjalan mendekati Iqbal. tersenyum menepuk pundak Iqbal. membuyarkan lamunannya. "Kehilangan itu sudah biasa. Jangan biarkan rasa pahit it uterus mengikatmu dalam belenggu. Umat manusia sekarang tidak butuh hal itu. Yang dibutuhkan sekarang adalah hasrat bangkit. Hanya itu saja. Bangkit dari keterpurukan. Mencoba mengalihkan pandangan dari yang awalnya menoleh ke belakang sekarang ubahlah pandangan itu lurus ke depan. Kaca mobil di depan kenapa kok dibuat besar dan panjang? Dan kenapa kaca sepion mobil dibuat kecil? mengapa tidak dibuat setara saja, biar adil. Kalian tentu tahu maksud perkataanku ini. Fokus berjalan menatap masa depan jauh lebih berarti ketimbang berjalan kedepan dengan ancaman menoleh kebelakang. Maka jadinya hancur, tidak konsisten dan nyawa taruhannya. Sekarang hapus air mata yang mengalir di pipimu. Berdiri dari posisi jongkokmu, rapatkan dada dan busungkan. Tarik napas sedalam-dalamnya dan patenkan dalam hati. Aku tidak akan menyerah!! Dunia ini memang memanggil kita satu persatu untuk dihakimi. Dunia sudah berakhir. Tapi apakah kita hanya pasrah pada takdir tuhan? Kalau hanya aku sendirian biarlah aku yang menanggungnya sendirian. Biarkan aku berdiri dihadapan kalian untuk melindungi serpihan cahaya harapan kalian. Tapi aku yakin, aku tidaklah sendirian. Aku yakin hal itu. Jika kalian setuju apa yang kukatakan saat ini kepalkan genggaman kalian!! Acungkan ke atas!! Dan teriaklah sekeras mungkin!!" Teriak Mahyan dalam akhir pidatonya.
Suara riuh luar biasa terdengar sampai telingaku. Suara seruan orang-orang menggetarkan dinding kaca. Baru kali ini aku melihat hal ini.
Aku terdiam mendengar pidato Jenderal Mahyan.
Bulu kudukku seketika bergetar menggetarkan seluruh badanku. Aku menghela napas. Menatap Jenderal Mahyan. Posisi tangannya terncung keatas. Seluruh orang melihatnya. Suara tepukan tangan juga terdengar meriah di seluruh ruangan itu. Zakky yang masih duduk termenung bertepuk tangan. Aku kaget melihatnya.
Aku ikut bertepuk tangan.
Iqbal menatap ke bawah. Ke arah lautan manusia berkumpul. Menepuk pundak Mahyan. "Terima kasih yan." Kata Iqbal. Mahyan hanya tersenyum. Giginya yang rapi dan rambut menutupi mata kirinya membuatnya tampak keren. Iqbal menekan tombol di layar hologramnya. Ada suaran desisan pelan. Ruangan putih itu masing-masing sisinya terbuka lebar. Cahaya putih ikut masuk menyilaukan. Orang-orang melihat hal itu mundur selangkah.
Tampak pemandangan kota dan gunung-gunung menjulang tinggi. Sungai-sungai mengalir deras. Ada air terjun layaknya pemandangan dipermukaan. Gedung-gedung menjulang tinggi berwarna-warni. Astaga aku tidak tahu apa yang terjadi. Apa ini beneran di kerak bumi? Atau hanya ilusi buatan. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tidak percaya. Orang-orang menatapnya bengong. Zakky apalagi, ia sekarang sudah sepenuhnya tidak mual-mual. Air liurnya menetes ke lantai. Segera aku menyikut Zakky. Menghentikan percemaran lantai yang ia lakukan. Nggak malu apa dilihat orang-orang. Mahyan menghela napas. Tersenyum, "Selamat datang di dunia bawah. Disinal kalian akan tinggal. Disinalah kalian akan terlindungi." Kata Mahyan. Orang-orang mulai keluar untuk melihatnya.
Aku tidak tahu seberapa maju fenrir. Ini mustahil. Sangat mustahil. Sebenarnya semaju apa fenrir sekarang ketimbang dulu yang katanya jepang dan amerika adalah secuil perkembangan teknologi sekarang. Iqbal mendekatiku. "Ini rumah lu sekarang Mal." Katanya. "Zak." Menatap Zakky. "Sebenarnya gua nggak tahu mau bilang apa. Semaju apa fenrir? Dan sebenarnya fenrir itu apa? Ini semua mustahil kalau lu pikir logika. Teknologi mana yang bisa membuat tempat-tempat menggali kedalam bumi. Dan ini jauh banget dari permukaan. Gua nggak habis pikir kalau lu ada sangkut pautnya sama fenrir."
Iqbal terkekeh.
"Tapi di sini nggak mustahil Mal. Ini semua buktinya. Sekarang yang gua minta sekarang adalah lu berdua. Fenrir butuh God Eater. Umat manusia butuh penolong saat semua hampir nggak ada harapan." Kata Iqbal.
Aku dan Zakky saling pandang. Aku mengangkat bahu, Zakky hanya mengangguk. Iqbal tersenyum.
"Sepertinya menarik." Kataku. Iqbal mengulurkan kepalan tinjunya. Aku tertawa. "Emang perlu ya?" Iqbal juga tertawa. "Biar formal gitu loh." " Tapi bukan masalah. Yang penting kita semua baik-baik saja. Itu sudah cukup buat gua." Kata Zakky memberikan tinjunya. "Astaga. Apa boleh buat kalau gitu." Aku pun memberikan tinjuku.
Ketiga tinju kami bertemu. Ini bukanlah sebuah akhir, tapi sebuah awal perjalanan.
***
Kami berdua keluar dari bangunan fenrir tersebut. Benar saja yang kulihat. Di sini ada sebuah dunia tersendiri yang amat begitu luas. Sejauh mata memandang hanya nampak gedung-gedung, tumbuhan, sungai mengalir, rumah-rumah kecil dalam suatu kawasan, di sekitar sungai masih terdapat batu granit membentuk Kristal besar warna ungu. dll. Mungkin itu untuk para warga atau apalah. Padahal di kerak bumi masih mempunyai struktur kimia yang perlu diwaspadia tingkat ketinggiannya. Seperti silikon, aluminium, besi, kalsium, natrium, kalium, alium, magnesium. Liahtlah sekarang. Fenrir mampu istilahnya menambah pasokan oksigen yang awalnya sedikit menjadi banyak. Manggunaan tumbuhan sebagai penyokongnya dan selebihnya adalah jasa teknologi. Angin berhembus membuat rambutku bergoyang. Selepas pengumuman dari Iqbal yang bawasannya pembagiaan wilayah cabang timur dari markas fenrir pusat sudah ditentukan. Pembagian tempat tinggal orang-orang, peraturan yang berlaku, dan larangan-larangan penting. Semuanya mengetahui apa yang perlu dilakukan. Aku pergi menemui kedua orang tuaku. Betapa terkejutnya mereka melihatku berlari memeluk Mama. Mama menangis melihatku khawatir denganku, mengelus rambutku dan berkali-kali mencium keningku. Papa tidak memarahiku, juga senang melihatku selamat sampai ke tempat ini. Aku mencoba menenangkan Mama, tapi tetap saja tidak bisa. Sifat alami seorang ibu saat anaknya keluar dan mendadak tidak kembali hingga suatu saat tak terduga ia kembali. Yah kurang lebih begitu.
Aku menceritakan semuanya dari awal sambil mengantarkan mereka ke lokasi tempat tinggal penduduk. Saat pertama kali pegi bersama dua temanku membuat camp acara malam minggu. Bertemu Iqbal, melihat asteoroid, pergi ke tempat fenrir, dapat cerita dari Dr, Sakaki, hingga akhirnya pada saat ini. Di sela-sela pembicaraan Mama selalu saja keluar air matanya, Papa dan aku berusaha menenangkannya, berkali-kali aku bilang ehh Mama jangan nangis dong, Akmal baik-baik saja kok. Lihat. Aku memperagakan gaya binaragawan. Mencoba membuat lelucon. Mama sedikit mendingan. Aku juga mengatakan bahwa sekarang aman, ini tempat tinggal kita. Masih beruntung ada yang mau menolong kita semua. Fenrir itu baik. Itu yang kukatakan pada mereka.
Zakky juga begitu. Ia bertemu dengan kedua orang tuanya, dua kakak perempuan dan adik perempuannya. Sangat terkejut melihat Zakky kembali saat adiknya berterak-teriak memanggil nama Zakky pada Mamanya. Zakky ketahuan dan tidak jadi mengejutkan kedua orang tuanya, padahal ia ingin diam-diam dari belakang mengagetkan Mama dan Papanya harus berakhir dengan teriakan adiknya. Aku merasa kasihan saat melihat Zakky pasrah dimarahi kedua kakak perempuannya terutama Mamanya. Tertunduk lesu. Lihat dia sekarang, adik perempuannya sekarang ikut menarik-narik rambut Zakky. Aku tidak tahan melihatnya. Batinku ngakak banget.
Aku lebih memilih tidak memperhatikan Zakky dan berjalan sambil ngobrol dengan Mama. "Mama sekarang nggak perlu khawatir lagi, di sini kita aman Mama dan Papa bisa hidup tenang di sini. Akmal nggak bakal ninggalin mama kok. Akmal di sini. Hmmm…. Kira-kira rumah yang akan kita tempati bagaimana ya? " kataku memegang tangan mama. "Rumah nggak penting Mal. Yang penting sekarang keluarga kita udah lengkap kembali. Sejak pengumuman di tv dan tiba-tiba ada evakuasi darurat Mama bingung sekali mau ngapain saat itu. Papamu datang dan menuntun Mama pergi bersama ke lokasi pengungsian." Kata Mama. "Kalau kamu tahu Mama saat itu super panik Mal. Jujur ini pertama kalinya Mamamu super panik saat terjadi sesuatu. Mau bawa ini lah, itu lah. Hadeh. Papa lihatnya hanya bisa pasrah dan ngingetin ini darurat bukan malah sibuk persiapan. Ya nggak Ma?" Potong Papa. Aku tertawa mendengar penjelasan Papa. Mama mulai membantah. "Yah nggak gitu juga kali Pa. Mama kan hanya mempersiapkan semua kemungkinan terburuk. Kalau nanti di pengungsian nggak makan gimana? Papa sakit Akmal juga sakit terus siapa yang salah?"
"Tuh kan lihat. Sangking paniknya Mamamu nggak sadar kalau kamu saat itu lagi keluar rumah. Inget nggak. Papa sengaja nggak beritahu Mama dan lebih milih diam. Yah kamu tahu sendiri lah Mal apa jadinya kalau Papa bilang kalu kamu lagi keluar rumah dan belum pulang." Kata Papa mencubit pipi Mama.
Aku dan Papa tertawa. Mama hanya diam dengan wajah merahnya. Baru sadar saat itu Aku keluar rumah. Padahal saat itu hanya Mama yang paling cerewet soal pertanyaan keluar rumahku. Yang inilah yang itulah. Hadeh.
"Tapi nggak Papa kok Mal. Mamamu mulai tersadar saat kami dibawa ke ruangan putih berbentuk persegi panjang. Menunggu di sana dan terjadi getaran. Berberapa jam Mamamu selalu tanya tentangmu dan Papa hanya bisa menjawab semua akan baik-baik saja, dan yah terjadi deh. Kita akhirnya bertemu."
"Mama mau nangis Mal saat pengumuman suara tadi yang katanya permukaan sudah hancur. Lihat di layar siaran langsung Mama udah nggak kuat. Khawatir kalau kamu masih berada di permukaan. Papa langsung memeluk Mama dan selalu saja menenangkan Mama. Lihat dirimu sekarang. Kamu berdiri disamping Mama." Mama menatapku. Air matanya mulai keluar lagi. Astaga ini sudah keberapa kalinya.
Aku mengusap air mata Mama yang turun. "Ma. Udah berapa kali Mama nangis. Akmal baik-baik saja. Kayaknya Akmal udah tiga kali deh bilang kalau Akmal baik-baik saja. Tuh kan sampai hafal. Sekarang Mama jangan sedih lagi ya. Malu dilihat orang." Kataku berbisik. Aku menenangkan Mama. Menyandarkan kepalaku pada bahu Mama. Mama masih terlihat muda, begitu juga dengan Papa. Meski umur mereka terpaut dua tahun tidak menjadikan halangan untuk saling mencintai. Kadang aku terlihat seperti adik dari Papaku, itu kata orang-orang. Daripada terlihat seperti ayah dan anak. Saat berjalan seperti ini. Mungkin banyak orang menganggap aku dan Mama seperti sepasang kekasih. Dan Papa sebagai orang ketiganya. Setan. Ups maaf Pa hanya bercanda. Tidak lebih. Jangan baca tulisanku ini ya Pa. Nanti malah kena ceramah lagi. huhuhu. Saat mengandungku umur Mama masih terbilang muda. Papa kala itu juga sudah menjadi pengusaha muda. Dan lahir lah aku di keluarga tercinta ini.
"Mama kalau nangis tambah cantik lho. Yah nggak Pa?" tanyaku.
"Hmmm… gimana ya." Kata Papa.
Mama langsung menoleh. Papa melihatnya gelagapan. Tidak siap. Langsung melotot.
"Ehhh iya bener, bener banget malah. Kamu memang tidak pernah salah bicara Mal." Buru-buru Papa menjawab. Berusaha menghindari penyebab perang dunia ke VI. Aku melihatnya hanya bisa tersenyum canggung. Papa takut sama Mama. Lebih baik aku tidak berulah kali ini. Atau bakalan kena batunya entar.
Kami berjalan di pinggir sungai. Airnya jernih, bagian dasar sungainya kelihatan, banyak batu-batuan terliaht berwarna putih, hitan, dan abu-abu. Banyak batu granit di sini. Aku melihat ke arah gedung-gedung pencakar langit itu, sama persis seperti pertama kali melihat bangunan fenrir pertama kali. Kenapa semua modelnya harus sama. Berbentuk kotak dan berwarna hitam gelap. Ditambah ada logo fenrir warna putih di berberapa bagian. Layaknya markas raksasa. Ini baru cabang-bukan pusat. Aku masih tidak bisa membayangkan kalau berada di sana mungkin baru melangkah ke pintu masuk langsung tersesat. "Kok bisa di sini ada langit ya Mal." Tanya Mama. "Itu teknologi, Ma. Menurutku hanya berberapa rekayasa virtual belaka. Tapi yang aku heran ini semua tampak nyata layaknya menciptakan matahari buatan." Jelasku. Mama sepertinya tidak paham. Hanya mengisaratkan anggukan kepala. Aku tahu itu hanya dibuat-buat. "Mama lihat hologram itu?" aku menunjuk hologram warna hijau di seberang sungai, depannya Kristal granit warna ungu. "Penumpukan virtual warna hijau itu bisa dimanipulasi dalam sekala besar dan lebar. Layaknya monitor computer tapi ukurannya luas banget. Dan kita bisa mengendalikannya, mengubah warnanya, meningkatkan kepekatan cahanya dan lain-lain. Kurang lebih seperti itu. Jadi ini semua hanya rekayasa. Tidak ada di kerak bumi ini langit asli yang sama dipermukaan. Kalau nggak ilusi." Jelasku sekali lagi.
Mama kali ini mengangguk paham. Papa juga ikut melihat ke arah langit, menatap matahari. "Benar-benar luar bisa perkembangan di sini. Papa juga kaget ada dunia di bawah permukaan. Teknologi, tanah, gedung-gedung, sungai, perkampungan, bahkan tumbuhan dapat hidup di sini. Orang yang mendirikan fenrir bukan orang sembarangan." Kata Papa. "Akmal juga kagum Pa, di sini walaupun virtual tapi terasa nyata dan benar adanya." Kataku.
Lima belas menit berjalan kami sekarang tiba di depan lokasi tempat tinggal baru kami. Sebuah rumah berukuran sedang dengan design kuno warna putih. Tidak salah lagi, aku sudah mengecek alamat lokasi. Benar ini rumahnya. Ada hologram hijau terbang mengambang di depan rumah ini. Aku memperlihatkan gelang hitam yang kupakai pemberian Iqbal sebelum pergi dari ruangan itu. Jam tangan milik seorang God Eater. Tidak ada pelantikan atau upaca masa bodoh untuk mengangkat seseorang menjadi God Eater. Hanya berberapa orang yang bisa mengangkat seseorang menjadi God Eater. Salah satunya Iqbal. Aku dan Zakky diberi Jam tangan ini. Katanya Iqbal segala pertanyaan atau segala kebutuhan bisa diketahuii lewat jam tangan ini cukup menyentuhnya dan berberapa hologram muncul dan bertanya layaknya Jarvis di fil Iron Man. Memiliki kecerdasan buatan. Keren banget sumpah. Tapi aku belum melakukan itu. Nanti saja. Cukup memperlihatkan jam tangan ini seperti yang dilakukan Iqbal maka pagar virtual warna hijau yang mengelilingi rumah pun terbuka. Simpel, lebih terkesan sebuah game.
Kami masuk ke dalam rumah. Tidak buruk bentuk dalamnya. Semuanya belum tertata rapi, debu-debu masih menumpuk tebal di keca dendela. Ada berberapa kardus dan plastic berisi perabotan rumah. Perabotannya masih sama seperti di rumah, meja, kursi, Tidak bertingkat dan hanya memiliki tiga kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu dapur. Hari ini aku memutuskan untuk tetap bersama Mama dan Papa. Mungkin dengan sedikit bantuan memindahkan meja dan kursi. Bersih-bersih rumah. Gila, apakah semua rumah bentuknya seperti demikian? Perlengkapan bersih sudah ada, meja, kursi yang sudah disiapkan, terlebih lagi setiap kamar ada kamar mandinya. Kira-kira berapa biaya yang dikeluarkan fenrir untuk memfasilitasi jutaan orang. Setiap keluarga punya rumah. Bayangakan saja kalau ada sekitar dua ratus juta keluarga, berarti ada dua ratus juta unit rumah yang sudah disiapkan. Aku tidak berani membayangkan. Aku dikejutkan saat Mama memanggilku tengah duduk di sofa masih berbungkus plastik. "Mal?" tanya Mama.
Aku salah tingkah. Mengedipkan mata berberapa kali untuk bisa tetap fokus. "I-iya Ma?" kataku. "Malah ngelamun. His nggak baik. Bantuin Mama kek." "Leh ini Akmal lagi nunggu perintah. Ma." "Yah peka sedikit nak. Masak harus nunggu perintah." Mama mulai mengomel. Aku memasang muka nggak tahu apa-apa. "Terus Akmal harus ngapain?" tanyaku. Mama berbalik menghembuskan napas, aku masih pura-pura tidak peka. Papa dari tadi pembicaraan udah mulai membuka plastik perabotan itu. Berjalan di sampingku membawa banyak plastik. "Kamu bagian bersihin kamar mandi. Masalah lantai biar Mama kamu, dan Papa yang menata kursi, sofa ini. Paham?"
Aku mengangguk. Berjalan pergi. Mulai membersihkan tiga kamar mandi di rumah ini. Tidak terlalu kotor hanya saja bagian dalamnya penuh sarang laba-laba.
Menyebalkan. Hari ini aku akan sibuk. Aku menghembuskan napas melihat banyaknya sarang laba-laba kamar mandi. Ini masi satu belum dua sisanya. Astaga.
Satu jam terlewat. Sekarang aku tengah duduk dilantai sambil kipas-kipas. Gila. Padahal kebagian jatah di air. Tapi kok panas. aku berkali-kali menarik napas dan menghembuskannya. Seluruh kamar mandi sudah beres. Bersih mengkilap, seluruh bak terisi penuh dengan air. Lantai rumah juga sudah Mama bersihin. Meja-meja dan kursi sudah tertata rapi. Sekarang Mama dan Papa tengah merapikan kamar mereka. Aku dapat kamar di sebelah ruang tamu. Aku berdiri melangkah menuju dapur. Masih kosong. Tidak ada apa-apa. Aku buka lemari es. Kosong. Astaga aku masih lupa kalau kami belum beli makanan apa-apa. Bodohnya aku.
"Kira-kira belinya di mana ya?" Aku berpikir apakah di sini ada supermarket. Kalau iya mungkin bakalan beli disitu. Tunggu dulu, uangnya dari mana? Haduuuhhh…malah repot sendiri gimana sih. Aku merongoh saku celanaku. Syukurlah dompetku tidak tertinggal. Isi uangnya juga masih lumayan. "Ma. Aku keluar sebentar ya." Kataku sembari melewati kamar Mama dan Papa. "Ke mana Mal?" kata Mama keluar dari pintu. "Mau pergi beli sesuatu Ma. Masak isi rumah nggak ada Makanan sama sekali." "Kamu punya uang?" "Untung dompet Akmal nggak ketinggalan." Kataku memperlihatkan dompet ke Mama. "Kamu yakin kalau di sini ada supermarket?"
Aku berhenti melangkah. "Siapa tahu ada." Kataku tersenyum.
Aku keluar rumah. Cahaya masih silau menyinari. Ku halangi dengan tanganku agar tidak menilaukan. Ini kawasan perumahan. Aku menoleh ke samping. Banyak orang juga tengah sibuk membersihkan rumah baru mereka. Aku pergi menyusuri jalan. Sesekali melihat kanan dan kiri. Banyak kompleks perumahan. Jalan setapak yang berbelok-belok. Kanan rumah, kiri rumah, depan rumah. Belok lagi ke kanan. Ada rumah lagi. belok lagi ada rumah lagi. Wuih, nggak ada habis-habisnya. Aku menekan tombol di layar jam tanganku. Hologram hijau muncul menampilkan berberapa tombol panel. "Peta." Kataku. "Baik tuan." Kata jam tangan itu setelah aku berkata. Langsung berubah gambar menjadi hamparan layar peta tiga dimensi. Keren. Aku tengah di antara ribuan kawasan perumahan. Tidak sulit untuk keluar. Tinggal mengikuti arahan dari suara Jarvis.
"Supermarket." Kataku. Layar hologram langsung menandia dengan tanda merah di suatu tempat. Sukurlah hari ini kami bisa makan. Aku pun pergi ke tempat itu.
Dua menit sampai. Masuk, ambil dua keranjang di pintu masuk. Beli semua yang dibutuhkan. Pembelian di supermarket dalam bumi masih menggunakan cara lama. Datang, pilih, setorkan ke kasir. Beres. Petugas kasir laki mengenakan seragam fenrir warna hijau.
Aku merongoh saku celanaku bersiap mengeluarkan dompet dengan gaya sok kaya. Paling hanya habis sedikit.
"Semuanya dua ribu Xel." Kata kasir laki-laki itu. What!? Xel? Itu apaan? Aku bingung mau gimana. "Xel apaan ya mas?" tanyaku. Dan terlebih lagi ngapain bilang mas woi. "Uang." Katanya. Ok aku langsung paham. Mata uang di sini menggunakan nama yang disebut xel. Dan aku tidak tahu itu mata uang apa.
Aku tekan jam tanganku. Muncul hologram seperti biasa. "Mata uang xel." Kataku cepat. Langsung proses dan muncul penjelasan. Bla bla bla bla mendengarkan suara Jarvis ala jam tangan. Yang penting intinya mata uang yang digunakan dalam fenrir. Tidak jauh beda dengan dolar atau ponsterling. Tapi ini jauh lebih tinggi nilai kursnya. "Berapa xel yang kupunya." Kataku. Diproses dan muncul penjelasan. Di pojok kanan atas ada nominalnya. "What!!" kataku kaget.
Suaraku terdengar mengagetkan petugas lain. Mereka menoleh ke arahku. Sang kasir laki-laki itu masih menunggu pembayaranku. Aku menutup mulut melihat ke segala penjuru. Dan memutuskan untuk bersikap normal lagi, anggap saja ini tidak ada. Aku menghembuskan napas mencoba tenang. Ok padahal ini tidak ku duga-duga. Pasti dia yang ngelakuin ini.
"Bagaimana caraku membayarnya." Kataku sok cool. "Tinggal letakkan kartu virtual atau bayar cash." Kasir laki itu melihat gelangku. "Atau kau bisa meletakkan jam tangan hitam itu." Tambahnya menunjuk gelang tanganku.
Tidak sulit, sepeti yang kulakukan membuka kunci rumah.
Aku meletakkan jam tangan di atas sensor. Clik!! Selesai memindia.
Aku keluar dari supermarket itu membawa dua kantong plastik penuh. Sekarang hanya tinggal kembali ke rumah.
***
"Bal woi." Kataku menghubungi Iqbal. Layar hologram menampilkan wajah Iqbal. "Ha. Apaan. Tiba-tiba bae lu telpon gua. Pake jam tangan lagi. udah bisa ni cara pakainya." Kata Iqbal. "Udah nggak penting. Ini uang gua kok banyak banget anjir. Lu dapet dari mana. Gila lihat nominalnya."
"Leh. Bagus dong, lu sama Zakky bisa beli semuanya."
"Zakky juga dapet?" tanyaku.
"Ya iya lah masak lu doang, gak adil dong. Hey bilang apa dulu dong sama gua." Iqbal memasang tampang sok cool. Mataku berputar putar melihatnya. Jijik. Aku lebih memilih diam tidak membalas. "Sekarang gimana?" "Maksud lu?" "Apa yang gua lakuin jadi God Eater?" Iqbal terlihat menandatangani sesuatu. Seseorang datang sepertinya datang kepadanya menyerahkan sesuatu.
"Lu bakal jalanin latihan yang Mahyan bilang." Kata Iqbal. "Ehh btw lu sekarang ada di mana?" tanya Iqbal melanjutkan. "Kamar. Lagi lihat keluar jendela." "Oh. Setiap sore ada pembagian makanan dari pihak fenrir. Jadi lu jangan cemas sama semua orang." Aku menoleh melihat layar. "Tentang uang xel?" "Sesuai system dunia permukaan. Semua orang bisa kerja kalau mau dapat uang. Markas pusat Fenrir sudah punya putusan tentang itu. Sekali lagi lu bisa bernapas lega." Jelas Iqbal.
���Mulai besok Mal, lu sama Zakky bakal latihan. Gua udah hubungin semua mentor untuk ngelakuin latihan uji coba. Datanya bakal gua kirim." Lanjut Iqbal.
"Oh. Ok." Kataku.
"Udah, ada perlu lagi nggak. Gua masih ada kerjaan nih." Kata Iqbal. "uh ok Bal. sorry buat lu repot tentang masalah nggak jelas ini." Kataku.
"Nggak masalah Mal. Sudah kewajiban gua, sahabat lu. Yah walaupun nggak selalu sama lu." Kata Iqbal. Aku tersenyum, malah teringat masa SMP saat aku, Zakky, dan Iqbal selalu bersama.
"Oh iya. Makasih uangnya. Gua tadi nggak ngucapin."
"Tunggu dulu, nggak semudah itu. Lu punya utang sama gua, ok. Inget." Katanya.
Sudah kuduga Iqbal bakal bicara gitu. Aku menurut. "Suatu saat aje ya. Bayarnya."
"Terserah lu."
Layar hologram pun mati. Aku beranjak dari tempat tidur. Keluar kamar, ke dapur. Membuat secangkir kopi. Mama sedang tidur di kamar dengan Papa. Mereka kelihatannya capekk. "Hmm. Memang harus ya. Merepotkan sekali.
Aku kembali ke kamar. Menyentuh jam tangan, muncul hologram mencari internet, Cuma sekedar baca-baca. Banyak yang tidak ku ketahui tentang fenrir dan asal-usul Gilbert Einsten. Segala sesuatu aku perlukan sekarang.
Benar saja. Mengakses internet menggunakan jam tangan ini tidak perlu paket data. Gratis. Lumayan.