Disaat dua rembulan saling bertemu,
Dan rembulan yang bersinar redup menjadi terang
Keempat penjaga akan muncul dari balik kabut malam
Sang api akan murka,
Benteng batu akan tetap menjaga,
Akan datang kemarahan dari si polos
Dan ombak pun membeku
Disanalah muncul aurora yang seperti racun.
---
Sebagus apapun kota, pasti selalu ada yang kotor. Kotoran yang ingin dihilangkan namun tak ada habisnya, akhirnya diabaikan oleh para kaum atas. Pencuri, pelacur, pemabuk, semua hal yang sangat wajar yang dapat dilihat disini. Dari anak kecil sampai tua. Profesi yang mendarah daging.
Skoupidia (1) Alley, sebuah nama yang sangat menggambarkan keadaaan tempatnya. Bau busuk dari selokan yang tercium sepanjang tempat ini, baik siang maupun malam bau ini selalu tercium. Hanya ada lima hari dalam setahun selokan itu dibersihkan, Festival Musim Gugur, Festival Musim Semi, Hari Raya Panen, Hari Pembentukan Negara dan Upacara Kurios.
Siang hari menjelang malam upacara, semua pegawai kota baik prajurit maupun tukang cuci bersih turun ke jalan-jalan dikota untuk membersihkan jalan. Sejak Kesatria Ela mengabarkan ramalan dari Penyihir Agung kepada Grand Duke, Grand Duke yang berumur awal lima puluhan dengan tubuh tinggi dan rambut pirang pucat terus menerus menyisir rambutnya kebelakang dengan tangannya. Waktu yang sempit dengan persiapan yang tidak matang. Cukup membuat seorang Grand Duke yang biasanya tenang menjadi sedikit sangat panik.
Pria itu mondar-mandir setiap sudut kota memastikan sendiri persiapan untuk upacara yang singkat ini. Sesampainya pria itu di Skoupidia Alley, rasanya kepalanya seakan mau pecah. Sampah yang menumpuk di sudut-sudut, bau dari selokan yang sangat busuk. Saking baunya, bahkan sapu tangan yang sudah ia tuangkan parfum pun tidak dapat mengalahkan baunya.
"Buang semua sampah ini dan siram dengan air bunga dan air sabun." sang Grand Duke memijat pelipisnya sambil berpikir cara apalagi yang tepat untuk menutupi bau ini.
Kepala Tata Kota sedang sibuk di amphiteater kota untuk mempersiapkan upacara nanti malam. Kepala Tata Kota hanya mengirimkan seorang pemuda magang yang tidak mengerti apa-apa, yang bahkan tidak berani mengangkat kepalanya di hadapan sang Grand Duke. Grand Duke pun terpaksa turun tangan dan memerintahkan pasukan pegawalnya untuk membantu.
Ditengah-tengah kepusingan sang Grand Duke, pemuda magang dan para pasukan pegawal. Muncul kereta kuda dengan lambang Kuil Suci Yunan. Kereta kuda itu berhenti tidak jauh dari sang Grand Duke. Amarise pun turun dari dalam kereta itu di bantu Ela.
Grand Duke membungkukkan badannya diikuti oleh semua orang disana kepada Pendeta Suci Amarise. Amarise menjawabnya dengan mengangguk dan menyuruh mereka kembali melakukan aktifitasnya.
"Sepertinya anda sangat sibuk Grand Duke Grasta. "
"Ini bukan tempat yang pantas untuk anda kunjungi, nona Pendeta Suci" pria itu mengulurkan sapu tangan untuk menutup mulut Amaris dari bau busuk yang diterima Amaris dengan senang hati.
"Terima kasih, tuan. Aku tidak sengaja melewati tempat ini dan merasa sedikit penasaran."
"Tidak ada yang dapat dilihat dari daerah ini, tapi jika anda ingin tetap berkeliling disini saya akan menyuruh pengawal saya untuk menjaga anda. "
"Niat baik anda saya terima dengan senang hati tuan Grand Duke."
Grand Duke Grasta memberi tanda pada salah satu pengawalnya untuk menemani Amaris. Seorang kesatria dengan seragam abu-abu pun mendekati Amaris dan menunjukkan jalan. Amarise, Ela dan kesatria itu pun memasuki semakin dalam Skoupidia Alley.
---
Semakin kedalam walaupun bau busuknya semakin berkurang namun kemiskinannya semakin terlihat. Terlihat banyak orang di kanan kiri gang itu melihat rombongan Amaris dengan penasaran. Seorang anak kecil mencoba maju namun kembali ditarik oleh perempuan dewasa disana.
Rombongan itu berjalan semakin dalam, sampai pada sebuah perkampungan kumuh. Disana adalah sarang penjahat kelas teri di kota ini. Bangunan-bangunan reyot yang terbuat dari kayu dan kain perca yang dijahit asal memenuhi perkampungan ini. Tentunya perkelahian adalah sesuatu yang wajar di perkampungan ini.
Saat mereka masuk ke pusat perkampungan itu terlihat seorang pria tua berbadan besar dan bertumbuh gempal mengejar seorang anak kecil berpakaian kumal.
"Kau pencuri! Kembalikan rotiku!"
"Aku sudah memberimu satu koin perunggu!" jawab seorang anak kecil berpakaian kumal. Anak kecil itu berjongkok di atas salah satu bangunan reyot. Anak kecil itu memegang roti di tangan kirinya.
"Aku bilang satu koin perak bukan, satu koin perunggu!"
"Kau gila, mana ada roti keras ini seharga satu koin perunggu !"
Pria tua itu pun marah dan berteriak kepada anak itu. "Dasar kau pencuri, jika kau tidak bisa bayar kembalikan rotiku!"
Anak kecil itu malah memakan roti itu yang menyebabkan kemarah pria tua itu semakin menjadi. "Dasar sam--!!"
Amaris maju mendekati pria tua itu yang membuat pria tua itu menghentikan kata-katanya. Ela pun sempat menahannya namun Amaris menggelengkan kepalanya dan semakin mendekati pria tua itu.
"Akan ku bayar roti itu pak tua."
Pria tua itu pun menyeringai. "Baik bayar tiga koin perak !"
Anak kecil itu pun melompat turun dari atap bangunan reyot itu. "Kau gila ! Roti jelek ini hanya satu koin perunggu, dan kau! Tua bangka berengsek meminta satu koin perak dan sekarang minta tiga ! TIGA koin perak!"
Amaris memberi tanda kepada Ela. Ela pun memberikan tiga koin perak kepada pria itu. Pria itu tersenyum puas dan pergi secepatnya dari tempat itu.
"Kau gila! Kau membayar roti seharga daging! Jangan harap aku akan berterima kasih !" kata anak kecil itu. Amaris mengamati anak kecil itu dengan seksama.
Anak kecil itu memiliki badan yang kurus, pendek dan rambut kumal yang pendek. Warnanya tidak dapat di pastikan apakah pirang atau coklat terang karena sepertinya anak itu sudah tidak mandi berminggu-minggu. Namun yang bisa di pastikan mata anak itu berwarna coklat gelap.
"Ah kau sangat cantik."
Kesatria dan anak kecil itu hanya memandang Amaris bergidik dan menganggapnya sedang gila. Sementara Ela tidak berkomentar apa-apa.