"Aku? "
Genessa menunjuk diriny sendiri dengan bingung. Perkataan Amarise yang mengatakan sudah menunggunya sedari lama membuatnya sungguh bingung. Ia pun melihay kesekeliling memastikan sekali lagi bahwa yang ditunjuk itu adalah dia.
Tapi yang ia liat hanya seorang gadis yang kedinginan, dua orang laki-laki yang juga kedinginan dan seorang laki-laki yang tidak kedinginan namun memandanginya penuh makna. Mereka berempat yang tadi berdiri bersamanya menatap Genessa penuh makna lebih tepatnya. Bahkan satu dari mereka merasa tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Melihat sebagian besar mereka kedinginan, Genessa pun bingung. Gadis itu tidak merasakan kedinginan sedikit pun. Ia hanya merasa aneh. Seperti ada yang menyuruhnya lari lima putaran dan kemudian menyuruhnya minum obat batuk.
Sembari Genessa kebingungan, tanpa ia sadari Amarise semakin mendekatinya. Genessa melihat Amarise lekat-lekat bahkan ia mundur kebelakang sedikit karena terkejut melihat Amarise terlalu dekat.
Tiba-tiba Genessa merasakan tangan Amarise menyentuhnya, rasanya menyengat. Pandangannya mulai memutih, gadis itu merasa seperti pingsan. Sebelum pingsan ia melihat aura keungunan disekitar Amarise melebar dan mata pendeta suci itu bersinar menyilaukan. Hal yang berikutnya yang ia ingat hanya putih.
****
"Hey, bangun. "
Genessa merasa tubuhnya di goyangkan oleh seseorang, ia pun membuka matanya dan merasa tubuhnya terasa sangat ringan tapi detik berikutnya ia merasa pusing.
Gadis itu melihat kearah orang yang sudah membangunkannya. Seorang wanita dewasa dengan sorot mata yang hangat. Wajahnya sangat cantik. Rambutnya keperakkan. Matanya berwarna ungu cerah yang tidak pernah Genessa lihat sebelumnya.
Sadar dirinya di pandangi begitu lekat, ia membuka mulutnya kembali. "Hei, berdirilah"
Wanita itu membantu Genessa berdiri, Genessa tidak dapat melepaskan pandangannya dari wanita itu. Wanita yang di pandangi seperti itu terlihat biasa saja. Seperti hal seperti ini sudah biasa terjadi.
Ketika merasa Genessa dapat berdiri dengan benar. Wanita itu melepaskan pegangannya dan tersenyum menatap Genessa. "Sudahlah jangan pandangi aku seperti itu. Perlukah aku mengubah wajahku? Mungkin nenek-nenek akan lebih baik walau aku sangat menyukai wajahku yang sekarang ini? "
Genessa yang sedari tadi diam berusaha untuk menjawab. " A. A. Ap-? "
Wanita cantik berambut perak itu menghela nafasnya.
Genessa kembali mencoba untuk merangkai kalimatnya kembali. "A-apa anda ma-malaikat? " Genessa berusaha bersikap sesopan mungkin di depan wanita itu.
Genessa melihat wanita itu tersenyum. Saat wanita itu tersenyum nafasnya tertahan sebentar. "Tidak Genessa. "
Gadis yang namanya disebut itu bingung bagaimana wanita cantik ini bisa tahu namanya.
"Ba-Bagaimana kau bisa tahu? " Sangat sulit bagi Genessa untuk berada didekat bahkan berbicara dengan wanita itu. Ia merasa seperti tikus di selokan Skoupidia.
"Panjang ceritanya. Nanti aku akan ceritakan. Sekarang lebih baik kau sadarkan dirimu dan coba lihat sekelilingmu"
Genessa mengangguk dengan susah payah dan melihat kesekelilingnya yang membuatnya sangat bingung.
Di depannya terdapat sebuah lorong. Baik atap, lantai maupun dindingnya seperti terbuat dari es. Genessa tidak dapat melihat ujung dari lorong itu, tapi lorong itu sangat terang bahkan tidak ada obor maupun lampu sihir yang menempel di dinding-dindingnya.
Genessa melihat ke samping, dimana wanita cantik yang tadi membangunkannya berdiri. Wanita cantik itu tidak menampakkan wajah terkejut tapi lebih seperti melihat jauh ke arah lorong itu. Genessa mengikuti arah pandangnya tapi tidak melihat apa-apa.
Lama kelamaan ia melihat cahaya biru semakin besar dan semakin dekat ke arah dirinya. Cahaya itu bergerak semakin dekati mereka atau lebih tepatnya mendekati Genessa.
"HUAAA!! " cahaya itu ternyata benar-benar berhenti tepat di depannya. Genessa yang terkejut jatuh kebelakang dengan bokongnya terlebih dahulu menyentuh lantai es.
Wanita cantik itu tetap tidak menunjukkan keterkejutan sama sekali.
Ia malah mengajak bicara cahaya biru itu.
"Antarkan kami kepada dia. "
Terdengar suara jentikan jari, terlihat es-es disekitar mereka berderak dan munculah kristal-kristal es yang berpusar di sekitar mereka. Detik berikutnya mereka sudah tiba ditempat lain.
Genessa tidak dapat berdiri dengan benar. Baik tubuh dan pikirannya tidak bisa menerima ini. Ia berpikir lebih baik ia berdebat dengan Antony, pemilik toko roti yang culas daripada harus berhadapan dengan ini.
Gadis itu merasa ingin muntah. Saat ia merasa ingin muntah terdengar suara seorang wanita. "Jangan muntah di tempatku bodoh! "
Kemudian Genessa tiba-tiba merasa hangat dan nyaman. Ia merasakan seperti perasaan hangat karena merindukan kekasih yang sebentar lagi akan ditemui tapi kehangatan itu dapat menghilangkan mualnya.
"Itu cinta bodoh! Dia itu bulan! Banyak orang saat merindukan kekasihnya di malam hari akan melihat bulan. Dan mengingat kenangan-kenangan manis dan hangat bersama pasangannya. Makanya kau merasa hangat yang seperti itu! "
Genessa yang sudah merasa nyaman menegakkan tubuhnya.
Bulan?
Ia mendongak dan seorang wanita serba biru. Rambutnya panjang berwarna biru berkilauan seperti es. Bola matanya berwarna biru jernih. Garis wajahnya sangat angkuh. Wanita itu memakai baju berwarna biru yang terlihat cerah disekitar bagian leher sampai pinggang namun lama-kelamaan gelap sampai ke lantai. Gaun itu juga sangat panjang karena wanita itu duduk di singgasana yang tinggi di atas sana dan ujung gaun wanita itu bahkan masi melebar di lantai tempat Genessa berdiri.
Keseluruhan dari tempat itu sungguh biru terlihat terbuat dari es. Bahkan singgasana yang diduduki wanita itu berwarna biru es.
Semua hal ini membuatnya bingung. Ia terus berpikir aneh-aneh. Sampai ia mendengar suara wanita itu lagi.
"Kau sangat berisik! Berhentilah berpikir. "
Genessa mendongak kembali dan menatap wanita itu bingung.
Bagaimana dia bisa tahu?
"Tentu aku tahu bocah! Sekarang berentilah berpikir. Kau membuatku pusing. "
Genessa pun berusaha tidak memikirkan apapun tapi kenyataan wanita serba biru itu tahu terus mengusik pikirannya.
Wanita biru itu merasa ini lebih baik dan tersenyum puas. Sekarang ia berganti melihat ke arah wanita di samping Genessa.
"Aku sudah menduga, kau duluan yang akan menginjakkan kaki di tempatku. "
"Kalian kenal?" Tanya Genessa.
"DIAMLAH! " wanita biru itu memandang Genessa dengan kesal. Genessa memilih kembali terdiam dan menunduk.
Wanita cantik disebelah Genessa pun mulai berbicara. "Tentu, aku tahu saat aku pertama kali melihat Genessa. "
"Ka-kapan kita bertemu?"
"Ya ampun, bocah! Kau memang tidak bisa dibilang dengan kata-kata. "
Detik berikutnya Genessa merasa sekitar mulutnya dibungkam. Ia meraba-raba mulutnya. Ada sebuah lingkaran es yang mengelilingi seputar mulut sampai kebagian belakang kepalanya. Seperti cincin besar yang menyangkut di kepalanya. Genessa berusaha mengeluarkan suaranya tapi yang terdengar hanya..
"Eemm errr. Amm. Emmm.. Umm!!! "
"Ah lebih baik" kata wanita serba biru.
"Karena aku adalah Amarise. Selanjutnya akan kujelaskan nanti. Waktu kita tinggal sedikit karenamu" Kata wanita cantik di sebelah Amarise.
Wanita cantik itu mendongak. "Wanita itu adalah Fresca. Salah satu dari kelima penguasa Terra pada jaman sebelum gempa terjadi.
Genessa yang tidak bisa mengeluarkan suara. Hanya melebarkan matanya tidak percaya.
"Dan sepertinya aku harus mengkoreksi bukan aku yang menemukanmu tapi kamu yang menemukan aku. "
Fresca pun terdiam.
Wanita cantik itu kembali berbicara. "Jadi jika kau datang menemuiku seperti ini. Sepertinya 'dia' sudah bergerak? "
Fresca pun berdiri tapi masih tetap di singgahsananya.
Fresca melihat kebawah dan menatap wanita cantik bermata ungu itu.
"Kau benar, Diana"
****