"Ma, Mama!!!"
Perempuan berambut panjang itu sudah berlari mengikuti bangsal yang didorong menuju ruangan bernuansa putih, beraroma obat-obatan, dan dipenuhi petugas medis serta orang-orang sakit.
Tangisnya tak henti-henti melihat Mamanya yang sudah berlumuran darah dan tak sadarkan diri.
"Maaf, Mbak. Silakan menunggu di luar!" Seorang perawat menghalangi dan langsung membuat perempuan cantik itu berhenti.
"Tolong selamatkan Mama saya!" ucap perempuan kacau itu, "saya mohon selamatkan Mama saya!!!" sambungnya dengan tangis yang tak henti-hentinya. Tangis yang begitu terlihat kacau dengan peluh di dahinya dan wajah yang begitu menyedihkan.
Fara, perempuan berambut panjang sedikit kecoklatan. Perempuan yang memiliki nama lengkap Difara Adinda Putri. Perempuan malang itu terus merutuki dirinya, harusnya Fara yang tertabrak bukan Mamanya. Harusnya Fara melindungi Mamanya, bukan sebaliknya. Fara akan benar-benar membenci dirinya sendiri jikalau terjadi sesuatu pada Mama, Fara tidak akan pernah memaafkan dirinya.
Sementara di dalam ruangan beberapa dokter junior sudah memeriksa keadaan pasien. Mereka semaksimal mungkin berusaha . Jalan satu-satunya adalah dengan melakukan operasi setelah tadi seorang perawat menjelaskan secara detail kondisi pasien.
"Bagaimana ini, dokter Vi sedang mengambil cuti," ungkap dokter cantik bernametag dr. Carissa. Dokter muda itu tidak bisa melakukan operasi tanpa adanya dokter tersebut, karena operasi bedah ini ada dibawah wewenang dan keahlian dokter itu.
"Hanya dokter Vi yang bisa mengatasi ini semua!" sahut dokter lainnya.
"Mengapa dokter Vi harus mengambil cuti!" Para dokter muda di ruangan tersebut malah berdiskusi.
"Dokter Alan saja, saya akan memanggilnya," ucap dokter Zeela saat mereka semua terdiam bingung.
Setelah mendapatkan tatapan setuju dari para dokter muda, Zeela langsung berlari keluar dan menuju ruangan dokter Alan, agar dapat segera melakukan operasi mendadak tersebut.
Melewati Fara yang sudah terduduk di lantai tak berdaya dengan air mata yang sudah bercucuran tanpa henti, rasanya ia ingin mati saja. Semua impiannya seakan sirna karena wanita berharga dalam hidupnya sedang bertaruh nyawa demi menyelamatkannya.
"Kak Fara."
Seorang gadis remaja merengkuh tubuh rapuh yang sudah duduk lemas di lantai. Keduanya pun berpelukan, menangis menumpahkan segala yang mereka rasakan. Terlihat sangat menyedihkan dua kakak beradik menangis, tangisan yang sangat memilukan.
"Harusnya Kakak yang sekarat!" seru Fara menyeka sisa air mata dipipi Adiknya.
Raina menggeleng. "Sudah Kak, ini semua musibah. Jangan menyalahkan diri sendiri!"
"Sekarang yang Mama butuhkan adalah doa kita," cecar Raina seorang gadis remaja yang merupakan Adik kandung Fara, wajah mereka memiliki kesamaan yaitu terdapat tahi lalat di wajah. Fara tahi lalat di dahi kanan sedangkan Raina tahi lalat di ujung pinggir bibir sebelah kiri.
-----
"Kita ungkap kembali kecelakaan sepuluh tahun lalu!" cerca lelaki berkacamata dengan tangan yang bersedekap dada menghadap seseorang. Air muka datar dan dingin, penampilan santai, itulah gambaran lelaki berkacamata tersebut.
"Kemungkinan akan sangat sulit Vi," jawab lelaki yang sejak tadi berkutat di depan labtop, "tapi, aku bisa melakukan hanya saja kasus tersebut sudah ditutup rapat-rapat." kata Galih yang kini sudah menatap Alvi.
Alvi menghela napas lalu menyeruput teh hijau kesukaannya dengan pandangan lurus ke depan. Ia sangat cinta Teh hijau, jika ia merasa stres dan penat ia akan minum teh favoritnya tersebut. Lelaki dingin berkacama dan penyuka teh hijau tersebut bernama lengkap Alvian Dirgantara, seorang dokter bedah di salah satu Rumah Sakit ternama di kota tersebut.
Drettt...
Drettt...
Drettt...
Ponselnya bergetar membuyarkan lamunan Alvi. Saat menatap benda persegi panjang itu raut wajah Alvi sekerika berubah, ia malas mengangkat panggilan dari tunangannya tersebut. Dan akhirnya ia diamkan saja ponselnya, dan memilih untuk merebahkan diri di sofa lalu mulai memejamkan mata.
"Sudah ku duga!" decak Galih melongos begitu saja setelah melihat hampir dua puluh kali panggilan tak terjawab, sementara sang empunya ponsel sudah tertidur dengan pulas.
-----
Hujan sejak pagi sampai maghrib ini seolah mewakilkan perasaan Fara, semester seolah ikut merasakan apa yang ia rasakan. Bahkan Fara sudah tidak bisa menangis lagi, saking sudah kering air matanya.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari. Sudah tiga hari Bu Aina masih tak sadarkan diri setelah operasi dilakukan. Tidak pernah bosan juga Fara menemani dan tetap setia menunggu Bu Aina sadar.
"Mah, Fara cari makan dulu ya sekalian sholat isya." Fara pamit pada Mamanya yang masih terpejam tak lupa ia mengecup kening Mamanya dengan lembut.
Fara keluar ruangan lalu melangkah menuju kantin, dari tadi siang ia belum mengisi perutnya yang kecil. Hanya kurang dari lima belas menit Fara sudah menyelesaikan makan malamnya, dan ia segera bergegas menuju masjid rumah sakit ini. Menunaikan kewajibannya sebagai muslim, walaupun ia belum bisa sepenuhnya menaati perintah Allah, setidaknya ia tidak akan meninggalkan kewajibannya yaitu sholat lima waktu.
Setelah selesai sholat Fara bergegas menuju rumah sakit, hujan tidak lagi lebat hanya gerimis kecil saja, dan itu tidak masalah bagi Fara. Ia hanya perlu berlari lalu sampai.
"Hujan ini nggak berhenti-henti dari pagi," keluh Fara saat dirinya sudah sampai di depan rumah sakit, berdiri dipinggir seraya mengusap-usap rambutnya yang sedikit basah.
"Hujan itu rahmat Allah."
Suara ngebas tersebut seketika membuat Fara terdiam, suara yang tidak asing di telinganya. Perlahan tapi pasti Fara menoleh dan seketika matanya terbelalak.
Alvi. Batin Fara dengan tatapan yang sangat terkejut.
Alvi Dirgantara ada dihadapannya, menatapnya dengan tatapan yang serius. Membuat ia tidak bisa berkata-kata lagi. Dadanya tiba-tiba sesak seolah oksigen terhisap oleh makhluk yang ada dihadapannya itu. Ini seperti bom atom yang jatuh ke hati Fara, sangat mengejutkan.
"Assalamualaikum, apa kabar Fara?" sapa Alvi dengan senyum manis yang sangat jarang ia perlihatkan ke sembarang perempuan.
Fara diam seribu bahasa. Ia masih tidak percaya bahwa detik ini ia bertemu kembali dengan Alvi. Fara memilih untuk pergi begitu saja meninggalkan Alvi yang masih terpaku di tempatnya.
"Tunggu Fara!!!"
Fara berhenti. Namun barusaja Alvi mendekat, Fara sudah menggeleng kecil lalu kembali melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan Alvi.
Sebenci itukah Fara kepadanya?
-----
Sejak mulai kembali bekerja Alvi samar-samar mendengar desas-desus pada perawat yang tak sengaja ia dengar. Dan itu membuat satu beban pikiran bagi Alvi.
"Harusnya dokter Alvi."
"Iya dokter Alvi lebih hebat dan handal."
"Dokter Alvi sudah hebat cakep pula."
"Idaman banget banget calon suamieble hihi."
Seperti itulah percakapan beberapa perawat yang tak sengaja ia dengar ketika melintas menuju ruangannya.
Saat itu juga setelah selesai mengoperasi pasien, ia langsung bertanya pada rekan dokternya. Dokter Carissa menjelaskan bahwa tiga hari yang lalu ada pasien tertabrak yang harus segera dioperasi namun karena tidak ada dokter Alvi, maka digantikan oleh dokter Alan. Setelah operasi keadaan pasien jauh lebih stabil namun beberapa jam menjadi kritis dan sampai sekarang belum sadarkan diri.
Mendengar penjelasan dokter Carissa tentunya membuat Alvi merasa bersalah sebagai dokter, tapi ia tidak menyalahkan dokter Alan yang sudah berusaha keras.
Seharusnya ia mengambil cuti tidak mengambil cuti selama seminggu hanya karena kepentingan pribadi ia mengorbankan pasien.
Saat siang hari ketika Alvi ingin memeriksa Bu Aina--pasien yang diceritakan dokter Carissa. Saat itu juga ia tak sengaja melihat seorang perempuan yang keluar ruangan Bu Aina dan berlalu menuju arah yang berlawanan dengannya.
Seperti tidak asing. Batin Alvi saat tak sengaja melihat sekilas dan kini hanya melihat punggung yang semakin jauh.
Alvi dirundung rasa penasaran, akhirnya setelah salat magrib ia kembali melihat ruangan Bu Aina. Dan saat matanya mengedarkan pandangan ke dalam ruangan, seketika jantungnya berhenti berdetak.
Fara!
Ya, perempuan yang tak asing itu adalah Fara-gadis yang dulu dekat dengannya. Gadis dingin yang sangat susah ditaklukkan oleh lelaki manapun kecuali dirinya.
Setelah Alvi tahu ia diam-diam mengikuti Fara yang sudah bergegas menuju kantin bahkan sampai ke masjid pun Alvi ikuti dari jarak yang cukup jauh.
Sampai akhirnya ia memberanikan diri. Berdiri di sebelah Fara dengan jarak tentunya. Dan kemudian sengaja membalas dumelan Fara.
"Hujan itu rahmat Allah," celetuk Alvi yang membuat suasana seketika hening walaupun rintik hujan mengisi kekosongan.
Fara diam, terlihat segitu terkejut saat mata teduh itu menatapnya. Membuat Alvi tersenyum manis, sangat tidak berubah. Hanya saja dulu Fara berambut sebahu hitam, kini gadis itu sudah tumbuh menjadi perempuan hebat yang kuat.
"Dokter Alvi!"
Seketika lamunan Alvi buyar saat suara keras dokter Carissa menyadarkannya kembali pada kejadian yang sangat luar biasa hari ini, ya hari Alvi kembali bertemu dengan Fara, gadis yang ia cintai.
"Ada apa, Ca?" tanya Alvi pendek.
"Udah ga ada jam kan?"
"Udah selesai, aku tidak ada shift malam hari ini," jawab Alvi seadanya.
Carissa tersenyum samar. "Aku nebeng ya Vi, please. Mobil aku lagi di bengkel, mau minta jemput Abah nggak enak udah malam."
"Yaudah aku anter."
Sekali lagi Carissa tersenyum bahagia. Ini first bagi Carissa karena selama ini ia tidak pernah satu mobil dengan lelaki berkacamata dingin itu.
Di lain tempat. Air mata Fara keluar lagi, ia menangis. Menangis telah bertemu kembali dengan orang yang paling ia benci sekaligus orang yang paling ia cinta, sampai sekarang? Entahlah. Yang pasti Fara begitu membenci manusia bernama Alvi Dirgantara.
"Kenapa kamu hadir kembali, aku benci kamu Alvi!"
"Aku benci!!!" teriak Fara lalu menunduk dan kembali menangis.
Menangisi kebohongannya karena mempercayai lelaki tampan itu.
Fara menatap pantulan dirinya didepan cermin kamar mandi, ia pun membasuh wajahnya di wastafel. Ia tidak ingin kembali menangis hanya demi lelaki sialan itu.
Semua sudah selesai sejak sepuluh tahun yang lalu.
-----