Chereads / BERTEMU KEMBALI / Chapter 3 - Air Mata

Chapter 3 - Air Mata

"Vi, itu bukannya Rahma ya," lontar Galih saat mereka memasuki kafe.

Alvi mengedarkan pandangannya. "Mana?"

"Itu meja 13 pojok dekat jendela," tunjuk Galih. Membuat Alvi mengikuti arah yang Galih tunjukkan. Dan benar saja di sana ada sosok perempuan manis yang menjadi tunangannya selama lima bulan ini. Tunggu perempuan itu bersama seseorang!

Alvi melangkah menghampiri Rahma yang sedang tertawa lepas sambil sesekali mengunyah makanannya. Terlihat bahagia sekali perempuan itu. Dan Alvi rasanya benar-benar geram atas apa yang sedang ia saksikan saat ini.

"Rahma!"

Gadis yang disebut namanya itu menoleh. "Alvi!" ucap Rahma dengan mata terbelalak tak menyangka ia akan bertemu Alvi.

"Kamu jangan salah paham dulu, ini nggak seperti yang...."

"Cukup Rahma!"

Alvi menahan napas agar tidak emosi.

"Ini sudah jelas! Nggak ada yang perlu kamu jelaskan lagi." Alvi benar-benar tidak habis pikir, selama ini Alvi kira Rahma perempuan baik-baik. Tapi sudahlah toh ini semua juga hanya untuk menjalankan perjodohan yang sama sekali tak Alvi inginkan.

Alvi berlalu pergi meninggalkan Rahma yang mencoba mengejarnya tapi dicegah lelaki yang sedang bersama Rahma.

Rasanya Alvi benar-benar muak dan napsu makannya seketika hilang.

"Lih, lu makan sendiri ya. Gua mau balik lagi ke RS."

Galih menghela napas, ia jadi menyesal sudah memberitahu sahabatnya itu. "Oke deh." Balas Galih seadanya, sementara sahabatnya Alvi sudah pergi begitu saja.

Sesampainya Alvi di rumah sakit ia langsung menuju ruang kerjanya. Namun baru beberapa saat memeriksa berkas laporan, tiba-tiba cacing diperutnya berteriak minta jatah, ya ia merasa lapar dan akhirnya ia memutuskan makan di kantin.

Saat Alvi memasuki kantin tak sengaja pandangannya menemukan sosok yang sudah sebulan ini membuatnya uring-uringan.

"Boleh aku gabung?" tanya Alvi pada dua gadis cantik yang sedang asyik menikmati makan siangnya.

Fara memutar bola matanya jengah, kenapa harus lelaki itu lagi. Membuat napsu makannya hilang seketika.

Raina tersenyum. "Silakan dok," ucap Raina antusias yang malah membuat Fara risih dan tak nyaman.

Mereka makan dengan suasana yang sedikit canggung. Sesekali Alvi melirik Fara yang terlihat tidak nyaman berada satu meja makan dengannya.

"Makasih ya dok selama ini udah rawat Mama," celoteh Raina pada Alvi yang ada disampingnya.

Alvi tersenyum tipis. "Sudah sepatutnya saya melakukan itu Adik manis," balas Alvi seraya mengusap kepala Raina, ia sudah beberapa kali mengobrol dengan Adik Fara saat ia memeriksa keadaan Bu Aina. Alvi merasa Raina adalah anak yang baik dan menyenangkan berbeda sekali dengan Fara.

Fara yang melihat pemandangan aneh di depan matanya segera beranjak dan berlalu begitu saja. Rasanya canggung berada di dalam situasi seperti itu. Lagi pula makanannya juga sudah habis.

"Maafkan sikap Kakak saya ya dok. Dia memang susah bersosialisasi dengan cowok khususnya," jelas Raina merasa tak enak pada dokter Alvi atas sikap Fara barusaja.

Alvi menggeleng. "Tidak apa."

--

Fara tersenyum melihat Mamanya sudah mulai pulih kembali. Sudah dua hari Mamanya siuman dan itu membuat beban pikiran Fara berkurang sedikit. Kebahagiaan Fara ada pada Mamanya, jangan bertanya tentang Papa Fara. Lelaki itu sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu, dengan meninggalkan luka untuk Mama, Fara, dan Raina.

"Fara!"

Fara yang sedang melamun langsung tersadar Mamanya menanggil. "Iya Ma, Fara disini." Jawab Fara lalu memegang tangan Bu Aina.

"Ada yang ingin Mama sampaikan."

Fara mendengarkan dengan serius. "Sebenarnya kamu memiliki Kakak tiri. Dia seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun, seorang CEO di salah satu perusahaan."

"Kakak tiri?" tanya Fara tak percaya dengan apa yang barusaja ia dengar.

"Iya dia Kakak tirimu dan Raina, anak sah dari Papamu, Nak," jelas Bu Aina secara pelan.

Fara diam seribu bahasa. Ia tak menyangka Mamanya menyembunyikan rahasia sebesar ini. Ini seperti mimpi, tak mungkin.

"Maafkan Mama."

Fara diam. Rasanya ia belum bisa menerima apa yang barusaja diucapkan Mamanya. Itu tidak mungkin!

Setalah lima menit berlalu datanglah Raina.

"Kak Fara kenapa sama dokter Alvi keliatan nggak suka banget?" tanya Raina yang sudah memasuki ruangan lalu berdiri di samping Kakaknya itu.

Fara masih diam.

"Kak Fara!!!"

Fara terlonjak. "Kamu teriak-teriak?" tanya Fara kaget.

"Ya abisnya bengong aja," keluh Raina, "tadi itu kenapa Kak Fara keliatan nggak suka sama dokter Alvi?"

"Nggak ada apa-apa, Kakak cuma nggak enak aja dia kan dokter," jawab Fara sekenanya.

Raina mengerutkan keningnya tanda bingung. "Emangnya kenapa kalau dokter?" tanya Raina, "apa dokter Alvi suka sama Kak Fara?" tebak Raina asal.

"Bukan, udah ah nyebelin banget kamu. Kakak mau keluar sebentar. Jagain Mama!" Fara beranjak meninggalkan Adiknya yang super kepo.

Tempat paling nyaman bagi Fara saat ini adalah di atap gedung, ia bisa menikmati udara sejuk dari atas gedung rumah sakit. Fara memejamkan mata mencoba menerawang hidupnya, perjalanan hidupnya semua terasa pahit, yang tadinya manis berubah menjadi pahit. Sungguh miris, namun itulah faktanya. Dan sekarang ia harus menerima fakta baru.

Tiba-tiba Fara tertawa. Ia tertawa mengingat perjalanan hidupnya yang tidak ada manis-manisnya sama sekali.

Ia tertawa lepas namun tawa renyah itu lama kelamaan berubah menjadi tawa yang diikuti air mata.

Fara bahkan sudah menangis tersedu-sedu dengan posisi sudah terduduk sambil menangis. Rasanya masalah datang terus menerus dalam hidupnya, kapan ia akan merasakan hidup normal seperti orang lain?

Ternyata sejak tadi ada seseorang yang memperhatikan Fara dari sudut atap gedung, tepatnya depan pintu atap gedung.

"Sesakit itukah penderitaanmu?"

Alvi pun melangkah lalu ikut duduk. Tangannya ragu untuk menyentuh Fara yang menunduk menangis. Setelah pertimbangan akhirnya Alvi merengkuh tubuh rapuh itu. Memeluknya. Memberikan kekuatan. Fara masih menangis, tangisan yang begitu menyayat hati. Bahkan kini Alvi ikut menangis, ia merasakan apa yang perempuan ini rasakan.

"Aku merasa manusia paling menderita di dunia ini," lirih Fara masih menangis dalam pelukan hangat Alvi.

Alvi menggeleng lemah lalu melepaskan pelukannya dan menatap Fara yang sudah penuh air mata. "Kamu salah Fara. Semua manusia punya masalah namun mereka percaya Allah, serahkan saja semuanya pada Allah." Ujar Alvi menatap mata sayu didepannya.

"Terkadang yang baik menurut kita belum tentu baik dimata Allah, serahkan pada Allah yang penting kita sudah berusaha," baru kali ini Alvi bicara panjang lebar setelah sepuluh tahun yang lalu tidak pernah bertemu Fara.

Fara diam memperhatikan lelaki berjas putih, rambut rapi, dan berkacamata terlihat begitu manis dimata kaum hawa. Alvi sama sekali tidak berubah, ia tetap hangat dan baik pada Fara. Rasanya ia ingin kembali memeluk sosok lelaki yang sempat mengisi hatinya. Ia rindu, ia rindu!

"Ku mohon jangan menangis lagi!" tutur Alvi dengan tangan yang sudah menyentuh pipi Fara, menghapus sisa air mata di wajah Fara.

Mereka diam. Keduanya saling menatap. Menyelami tatapan intens dari keduanya. Cukup lama mereka dalam posisi tersebut, sampai akhirnya...

Tidak Fara, tidak! Dia jahat, dia tak pantas untukmu lagi! Sadarlah.

Fara tersadar dan ia langsung bangkit diikuti Alvi. "Terima kasih," ujar Fara langusung pergi begitu saja.

Alvi diam membeku ditempatnya. Ia hanya ingin melihat perempuan itu tersenyum kembali, walau ia juga menjadi salah satu penyebab luka yang dideritanya.

-----

"Manisnya pas Rahma, ternyata kamu pintar masak ya," seru Icha yang kini sedang menikmati chocolate cuke dan cheese cake yang diberikan Rahma padanya.

Rahma tersenyum lega. "Alhamdulillah kalau Kak Icha suka. Semoga Alvi juga suka sama chocolate cake yang aku buat."

"Dia mah apa pun yang berbau coklat pasti dia suka." Terang Icha-- Kakak kandung Alvi.

Mereka pun mengobrol mengenai berbagai hal yang sesekali membuat mereka tertawa.

"Assalamualaikum." Salam Alvi memasuki ruang keluarga.

"Waalaikumsalam," jawab Rahma dan Icha. Barusaja dibicarakan Alvi sudah datang.

Alvi yang melihat kedatangan Rahma sudah melongos begitu saja. Tidak ada niatan menghampiri Rahma ataupun Icha. Ia masih tidak habis pikir dengan apa yang ia lihat tadi siang, ia melihat dengan kedua matanya sendiri.

"Alvi!!! Ada Rahma," tegur Icha saat ia melihat Adiknya itu berlalu begitu saja menuju kamarnya tanpa sepatah katapun pada Rahma.

"Alvi capek Kak, perempuan itu suruh pulang saja."

Rahma diam. Ia merasa canggung saat menatap Icha yang sudah meminta maaf atas perkataan Alvi kepadanya.

"Iya Kak, Alvi pasti lelah. Lebih baik aku pulang saja."

Icha menggeleng. "Yaudah kamu temuin dulu gih Alvi di kamar. Biar dia bisa baikan." Saran Icha yang membuat Rahma mengangguk lalu melangkah menaiki anak tangga menuju kamar Alvi.

Rahma memegang kenop pintu dan ternyata tak dikunci. Membuat Rahma bisa membuka pintu dan masuk.

"Ku bilang pulang!" usir Alvi yang melihat kedatangan Rahma di kamarnya.

Namun Rahma menghiraukan dan ia malah mendekati Alvi yang masih merebahkan diri. "Maafkan aku Alvi." Ujar Rahma merebahkan diri disebelah Alvi lalu dengan perlahan memeluk tubuh kekar Alvi

Alvi kaget dan langsung mendorong tubuh Rahma. "Sudahlah Rahma, aku sudah melupakan semuanya demi keluarga kita."

"Terima kasih Sayang." Rahma mengecup pipi Alvi dan berlalu meninggalkan Alvi yang sudah mengusap pipinya.

-----

"Fara, bagaimana keadaan Tante Aina?"

Fara yang sedang fokus mengoreksi jawaban langsung menoleh. "Alhamdulillah sudah siuman sejak tiga hari yang lalu." jawab Fara pelan lalu membereskan setumpuk buku siswa dan beranjak dari meja kerjanya.

Sudah sebulan lebih akhirnya Mama Fara alias Bu Aina sudah sadar juga dari masa kritisnya, dan itu membuat Fara sedikit lega dan bahagia walau Mamanya belum pulih.

"Syukurlah, gue kaget ngeliat hari ini Lo udah lagi." Ucap Windi lega. "Aku boleh ikut Ra, aku ingin menengok Mama mu." Ujar Windi seraya mengangkat parcel yang berisikan buah-buahan segar.

Ya, Fara adalah seorang guru biologi di Sekolah Menengah Pertama. Ia hanya guru pegawai negeri yang tak seberapa. Tapi ia selalu menjalankan profesinya dengan senang hati dan tentunya profesional. Menjadi guru memang sudah cita-citanya sejak kecil, ia terbilang guru yang baik kepada murid-muridnya.

Sebelum pergi Fara menerima panggilan dari Adiknya Raina. Membuatnya bingung kenapa Adiknya menelpon.

"Iya Dik. Ada apa?"

"........"

"Kakak segera ke sana." Tegas Fara mematikan sambungan telepon.

Fara sudah tidak menghiraukan sekelilingnya. Ia pergi begitu saja dengan sangat tergesa-gesa. Tentunya itu membuat Windi bingung, dan ikut berlari kecil menyusul sahabatnya itu.

Tak butuh waktu lama Fara dan Windi sudah sampai di rumah sakit. Keduanya sudah berlari kecil menuju ruangan rawat inap Bu Aina.

Karena tak menghiraukan apapun dihadapannya Fara tersandung dan terjatuh. Namun ia segera bangkit, lalu kembali berlari.

Windi yang melihat semuanya sangat bangga pada Fara, ia begitu kuat dan tangguh. Sungguh tidak bisa membayangkan jika Windi diposisi Fara.

"Kak Faraaa...." Raina memeluk Fara yang sudah sampai di ruangan.

Disana sudah ada beberapa perawat dan dokter Alvi yang sedang menangani Bu Aina. Alat-alat medis sudah terpasang ditubuh Mamanya, membuatnya menutup mulut tak percaya. Berulang kali ia menyaksikan dokter Alvi menekan-nekan dada Mamanya dengan menggunakan alat-alat medis namun hasilnya tetap sama.

"Maaaa!!! Ini Fara. Mama nggak bisa ninggalin Fara, jangan Ma." Fara sudah memegang tangan Mamanya, semua orang yang menyaksikan Fara sudah ikut sedih.

"Fara mohon, jangan tinggalin Fara, Ma. " Fara sudah memeluk tubuh dingin Mamanya.

Sementara Raina sudah ikut menangis dan memeluk Mamanya juga. Keduanya menangis ditinggal oleh orang yang begitu berarti dalam hidup mereka. Padahal sudah tiga hari Mamanya siuman dan mulai pulih, tapi kenapa Mamanya harus pergi begitu cepat. Kenapa Tuhan tidak adil!!!

Fara berlari sekuat tenaga. Hidupnya sudah selesai. Ia tidak bisa tanpa Mamanya, orang yang selalu menjaga dan melindunginya sedari kecil.

Sementara Alvi yang melihat Fara berlari pergi ia juga sudah ikut berlari mengejar Fara. Ia takut terjadi apa-apa pada Fara! Ia takut perempuan itu akan melakukan hal yang diluar dugaan. Dan benar saja ternyata Fara berlari menuju atap gedung.

Fara berdiri diatap gedung paling pinggir. Mungkin jika ia mati ikut Mamanya, hidupnya tidak akan pahit lagi. Ia bisa ikut Mamanya. Daripada hidup di dunia yang kejam ini.

"Fara! Apa yang kamu lakukan?"

Fara menoleh. "Jangan coba halangi aku!!!" teriak Fara.

Alvi berjalan perlahan, ia tidak akan membiarkan Fara mati. Ia sangat mencintai Fara, masih. Ya rasa itu masih ada sampai saat ini. Tidak ada yang bisa menggantikan Fara dihatinya.

"Fara dengarkan aku itu berbahaya," nasihat Alvi pelan dengan langkah yang mulai mendekati Fara.

"Jangan mendekat atau aku akan loncat." Ancam Fara.

Satu kali lagi Fara melangkah...

Selesailah sudah masalahnya di dunia ini.

Namun apakah masalah terselesaikan dengan jalan bunuh diri.

"FARAAA!!!"

Teriak Alvi berlari dan langsung menarik Fara sedangkan Fara yang terkejut tak sengaja malah mendorong Alvi orang yang menariknya.

Fara terkejut karena sekarang Alvi sudah berada diambang kematian. Alvi sekuat mungkin berpegangan pada tangan Fara yang tidak sengaja mendorongnya.

"Jangan liat kebawah!!!"

Perintah Fara saat ia melihat Alvi mulai lemas dan melihat kebawah.

"Bertahanlah!!!" teriak Fara mengumpulkan kekuatannya dan menarik Alvi sekuat tenang.

Satu tetes darah mengalir dari lengan Fara karena gesekan dengan semen akibat ia menarik Alvi. Kini tetes demi tetes terus mengalir.

Tiba-tiba satu tangan membantu memegang lalu menarik tangan Alvi.

"AAAAHHHHH!!!"

Akhirnya Alvi jatuh diatas tubuh Fara yang sudah berhasil menariknya. Fara akhirnya bisa bernapas lega. Hampir saja ia membunuh Alvi!

"Kau tak apa?" tanya Fara masih dalam posisi Alvi yang berada diatasnya.

Alvi bangkit. "Tangan kamu luka Fara." Sentuh Alvi pada lengan Fara yang makin mengeluarkan darah banyak.

"Enggak apa-apa." Tepis Fara.

"Alvi, tolong kamu jangan ganggu aku lagi! Cukup." Fara berujar dengan serius. "Jangan dekati aku lagi!!!" tegas Fara.

"Fara...." tahan Alvi mencekal tangan Fara yang mencoba pergi.

Fara melepaskan cekalan tangan Alvi dengan kasar.

"JANGAN DATANG LAGI, JANGAN HADIR LAGI DALAM HIDUPKU!!!"

Fara bangkit, berlalu meninggalkan Alvi yang tidak bisa berkata-kata lagi.

Ini memang salahnya!

-----